Moise Kean Tidak Akan Jadi Korban Terakhir Rasisme di Italia

Foto: SI.com

Setelah mencatat sejarah di kualifikasi Piala Eropa 2020 kontra Finlandia (24/3), sebagai pencetak gol termuda Italia dalam 60 tahun terakhir, nama Moise Kean terus meroket. Liechtenstein, Empoli, dan terakhir Cagliari menjadi korban Kean.

Untuk pertama kali sepanjang karier profesionalnya, Kean mencetak gol di empat laga beruntun. Sayang, performa Kean itu tidak dihargai suporter Cagliari. Sorakan berbau serangan rasial keluar dari mulut mereka.

Kean yang mengunci tiga poin Juventus di kandang Cagliari membalas serangan suporter tuan rumah itu dengan selebrasi tepat di depan mereka. Menurut Kean, selebrasinya itu merupakan cara terbaik untuk membalas suporter Cagliari yang menyebut dirinya sebagai seekor monyet.

Setelah pertandingan, Presiden Cagliari, Tomasso Giulini, membatah bahwa pendukung setia Isolani –julukan Cagliari- telah melakukan serangan rasial pada Kean. “Jika Bernardeschi melakukan selebrasi seperti itu, ia juga akan mendapat perlakuan serupa,” kata Giulani.

“Saya hanya mendengar siul dan teriak-teriakan. Tapi andaikan Anda mendengar ucapan rasial, mungkin saya salah,” lanjut Giulani.

Selebrasi Kean disebut sebagai penyebab serangan suporter Cagliari. Hal itu juga diamini oleh bek Juventus, Leonardo Bonucci. “Blaise [Matuidi] mendengar teriakan-teriakan yang menyerang ras. Dirinya juga ikut tersinggung dengan hal itu,” buka Bonucci. “Sejatinya ini adalah kesalahan bersama, kami sebagai profesional tidak boleh memprovokasi dan para suporter seharusnya tidak mengatakan hal-hal itu,” katanya.

Nakhoda Juventus, Massimiliano Allegri, juga melihat hal serupa. Namun ia memaklumi sikap Kean. “Selebrasi itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Tapi Kean masih muda, dia akan belajar dari hal ini,” kata Allegri. Kepala Pelatih Si Nyonya Tua juga menyarankan larangan ke stadion seumur hidup jika ada suporter yang terbukti melakukan serangan rasial.

Selebrasi Kean dilihat sebagai sesuatu yang salah di Italia. Bukan berarti tidak ada yang membela dirinya. Penyerang Inggris yang mendapatkan perlakuan serupa dari suporter Montenegro, Raheem Sterling, membela Kean. Begitu juga dengan agen super, Mino Raiola.

“Anda tidak bisa jadi warga Italia namun masih melakukan hal seperti itu. Rasisme adalah bentuk ketidakpedulian dan tidak boleh diberi pemakluman. Saya tetap bangga pada Kean dan Matuidi” kata Raiola.

Dimaklumi Pemerintah

Masalah rasisme di sepakbola Italia bukanlah cerita baru. Mulai dari ‘Nazi Salute’ di era Paolo Di Canio hingga hinaan kepada bek Napoli, Kalidou Koulibaly, rasisme hidup di tribun Italia. Bahkan tidak hanya di sepakbola, rasisme merupakan isu Italia sebagai negara.

Sejak masa pemilihan umum Italia pada 2018, paham fasis dan isu rasisme sering muncul di Italia. Ketika Asosiasi Sepakbola Italia (FIGC) ingin memerangi rasisme, mereka sampai wakil perdana menteri Negeri Pizza, Matteo Salvini.

“Menghentikan pertandingan hanya karena ucapan-ucapan berbau rasial membuat pertandingan jadi berantakan. Jangan membuat kami tertawa,” ungkap sosok yang juga menjabat sebagai menteri dalam negeri Italia itu.

“Kami hanya bisa bergerak dalam lingkup kekuasaan yang ada. Wasit harus melaporkan apabila ia mendengar teriakan-teriakan yang menyerang ras. Namun keputusan untuk menghentikan pertandingan sepenuhnya ada di tangan pihak keamanan yang juga bekerja di bawah menteri dalam negeri,” kata Kepala Relasi FIGC, Roberto Coramusi, menanggapi kritik Salvini.

Butuh Kesadaran Personal

Menyerang seseorang bedasarkan ras memang tidak pernah benar. Namun masalah ini selalu ada di dunia sepakbola. Sayangnya, sekalipun asosiasi sering kali membantu para pemain yang jadi korban, rasisme tak akan hilang. Luther Blissett, pemain kulit hitam pertama di tim nasional Inggris, bahkan merasa perlakuan asosiasi tidak mengubah situasi.

“FIFA mungkin bisa berkata mereka telah memberantas rasisme. Tapi itu omong kosong. Apa yang mereka lakukan hanyalah mengakui bahwa tindakan seperti itu benar adanya. Dulu FIFA tidak mengakui hal itu,” kata Blissett.

“Hal yang membantu saat ini adalah perkembangan zaman dan kesadaran tiap individu bahwa mereka akan dilabeli rasis jika melakukan tindakan seperti itu,” jelasnya.

Rasisme adalah masalah yang terjadi di seluruh dunia. Sejarah membuktikan bahwa ada masanya masyarakat sebuah negara dikategorikan bedasarkan warna kulit. Mental seperti itu masih hidup di Prancis, Jerman, Inggris, lebih lagi Italia.

Selama pemerintah masih memberikan toleransi terhadap hal-hal seperti ini, tidak heran apabila warganya juga bertindak demikian. Seperti perkataaan Luther Blissett, kuncinya adalah kesadaran, peka. Mengubah kebiasaan dari dalam diri sendiri.

Khusus untuk Italia, rasanya butuh waktu cukup lama menjadikan rasisme sebagai sesuatu yang tabu. Apalagi pemerintah mereka meremehkan tindakan-tindakan yang diupayakan untuk mengatasi hal tersebut.

Padahal dengan memiliki pemain-pemain keturunan non-Italia seperti Moise Kean, Mario Balotelli, Jorginho, Stephen El Shaarawy, dan lain-lain, tidak ada alasan bagi publik sepakbola di Italia menilai seseorang dari ras mereka. Apalagi menjadikannya cemoohan.