22 September 2013 menjadi tanggal yang paling membahagiakan bagi para pendukung timnas Indonesia. Ketika itu, Indonesia berhasil menjadi juara pada ajang tingkat Asia Tenggara. Mengalahkan Vietnam 7-6 dalam drama adu penalti, timnas menjadi yang terbaik pada ajang Piala AFF U-19 yang digelar di stadion Gelora Delta Sidoarjo.
Meski level gelar ini hanya level junior, namun keberhasilan anak asuh Indra Sjafri ini disambut meriah. Maklum, inilah kali pertama nama Indonesia menjadi yang terbaik sejak medali emas Sea Games 1991 di Manila. Momen ini pula yang membuat penggemar bola negeri ini mulai rutin menyaksikan kiprah timnas kelompok umur setelah sebelumnya terpinggirkan.
Pencapaian ini tidak membuat mereka puas. Evan Dimas dan kawan-kawan memasang target yang lebih tinggi lagi yaitu masuk putaran final Piala Asia U-19 yang diselenggarakan di Myanmar. Sudah empat turnamen Garuda Muda absen dari kompetisi tersebut. Syaratnya sederhana, mereka harus mengalahkan Laos, Filipina, dan Korea Selatan.
Dua lawan berhasil dilewati dengan mudah. Laos kalah dengan skor 4-0. Sempat mendapat kesulitan ketika bertemu Filipina, beruntung saat itu mereka bisa menang dengan skor 2-0.
Meroketnya timnas U-19 tidak serta merta karena keberhasilan mereka menjadi juara AFF, namun juga karena permainan cantiknya. Pe-Pe-Pa atau Pendek Pendek Panjang saat itu menjadi identitas dari gaya main Indra Sjafri yang sukses dieksekusi dengan manis oleh para pemainnya di atas lapangan. Selain itu, kisah Indra Sjafri yang blusukan mencari pemain juga memberi nilai tersendiri.
Namun, yang akan dilawan oleh Indonesia ketika itu adalah Korea Selatan. Negeri yang sudah lama sekali tidak bisa mereka kalahkan. Korsel bahkan 12 kali sudah menguasai Asia pada kategori ini. Inilah yang membuat pendukung sulit untuk optimis. Sang lawan juga jauh lebih superior karena memiliki selisih gol yang lebih banyak dari timnas. Akan tetapi, Indra mencoba untuk tidak gentar.
“Kami lebih besar dari Korea Selatan. Sampaikan kepada Korsel kala kami akan mengalahkan mereka pada 12 Oktober nanti,” kata Indra seperti dikutip dari majalah edisi khusus terbitan BOLA, “Piala Dunia Bukan Mimpi”.
Optimisme Indra membuahkan hasil. Di tengah guyuran hujan deras dan Stadion Gelora Bung Karno yang becek, mereka menang dengan skor 3-2. Evan Dimas membuka keunggulan pada menit ke-30 sebelum Seol Taesoo menyamakan kedudukan tiga menit kedudukan melalui eksekusi penalti.
Empat menit babak kedua berjalan, Evan membuat gol keduanya memanfaatkan penetrasi Maldini Pali di sisi kanan penyerangan timnas. Gol ini membuat Korea Selatan memaksa melakukan perubahan yang salah satunya adalah mengganti penjaga gawang mereka. Akan tetapi, perubahan ini tidak berjalan dengan baik. Evan bahkan memperbesar keunggulan pada menit ke-87. Tiga gol dari Evan dengan tiga proses yang sama persis yaitu cut back dari sisi sayap.
Keberhasilan ini membuat Indonesia lolos otomatis dengan poin 9. Meski kalah, Korea Selatan masih berhak lolos sebagai salah satu dari enam runner-up terbaik. Hasil ini kembali meningkatkan pamor timnas U-19 di mata masyrakat.
Tudingan Curi Umur Hingga Nasib yang Berbeda Jauh
Perseteruan antara dua negara ini ternyata berlanjut hingga ke luar lapangan. Pihak Korea Selatan menuduh kalau usia Evan Dimas sudah melebihi batas. Sebuah tuduhan yang pada akhirnya tidak terbukti.
Sebaliknya, Korea Selatan menjadi bahan tertawaan pendukung timnas Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa pemain Korea Selatan kedapatan bedaknya luntur. Penyebabnya adalah hujan deras yang turun sepanjang pertandingan. Sontak hal ini membuat beberapa pemain menjadi bahan meme bagi penggemar timnas.
Akan tetapi, kemenangan melawan Korea Selatan tampak menjadi akhir dari hegemoni timnas U-19 asuhan Indra Sjafri. Pada ajang sesungguhnya, timnas babak belur dan kalah dalam tiga pertandingan menghadapi Uzbekistan, Australia, dan Uni Emirat Arab. Eksploitasi dengan label “Tur Nusantara” dianggap menjadi penyebab kegagalan mereka di Piala Asia. Ketika itu, timnas menjadi sirkus dengan selalu bermain berpindah-pindah di setiap kota yang ada di Indonesia alih-alih pemusatan latihan jangka panjang.
Tujuh tahun sudah berlalu sejak kejadian tersebut, para penggawa yang bermain saat itu sudah menapaki jalan kariernya masing-masing. Sayangnya, tidak banyak yang berhasil saat itu. Meski begitu, nasib para pemain Korea jauh lebih baik ketimbang pemain Indonesia.
Hwang Ki-Wook sempat bermain di Belgia bersama AFC Tubize. Selain itu, Kim Young-Gyu bahkan memulai karier sepakbolanya di Spanyol meski klub yang ia perkuat hanya klub kecil. Yang fenomenal tentu saja Hwang Hee-Chan yang sukses bersama Salzburg dan musim ini memperkuat RB Leipzig.
Dari kubu Indonesia, Evan Dimas, Ilham Udin, dan Hansamu Yama mungkin menjadi beberapa pemain yang kariernya sedikit lebih baik meski tidak sampai bermain ke Eropa. Evan dan Ilham hanya sebatas melakukan trial. Sedangkan nama-nama lain seperti Fatchurohman, Ravi Murdianto, Sahrul Kurniawan, Maldini Pali, Hendra Sandi, hingga Muchlis Hadi Ning Syaifulloh tenggelam seiring berjalannya waktu.