Mourinho dan Inter yang (Pernah) Saling Membutuhkan

Jose Mourinho mungkin mengklaim kalau musim terbaik dalam kariernya adalah ketika membawa Manchester United ke peringkat kedua Premier League pada musim 2017/2018. Namun, dalam hati kecilnya siapa yang tahu? Apalagi, ia punya prestasi yang belum bisa ia ulangi lagi: meraih treble bersama Inter Milan.

Malam yang Indah di Madrid

Mourinho tiba di Estadio Santiago Bernabeu dengan banyak pikiran yang melintas di kepalanya. Bukan cuma memikirkan strategi di laga final, tapi juga hari-harinya ke depan. Soalnya, Santiago Bernabeu adalah tempat yang pasti akan selalu ia datangi hampir setiap pekannya.

22 Mei 2010 adalah tanggal yang tak akan dilupakan para penggemar Inter Milan. Di final Liga Champions, mereka mengalahkan Bayern Munich dengan skor 2-0. Gelar juara Liga Champions melengkapi trofi Serie A serta Coppa Italia yang sudah diraih sebelumnya. Gelar itu menjadikan Inter sebagai satu dari sedikit klub yang berhasil meraih treble.

Usai laga, Mourinho akan meninggalkan klub dengan mobil. Belum jauh, ia melihat Marco Materazzi tengah menanti bus yang akan mengangkut para pemain Inter. Pelatih berkebangsaan Portugal ini buru-buru turun dari mobil. Ia mendatangi bek Italia tersebut lalu memeluknya.

Mereka saling bicara, dan ketika Mourinho beranjak pergi, matanya basah. Mereka tahu kalau sebuah era kesuksesan akan segera berakhir. Enam hari kemudian, Mourinho diumumkan sebagai pelatih baru Real Madrid.

Karena Ambisi Mourinho

Kalau dari apa yang dia bilang, alasan utama Mourinho ke Madrid adalah karena ambisi. Ia ingin menjadi manajer pertama yang menjuarai liga di tiga negara: Inggris, Italia, dan Spanyol.

Ambisinya tersebut berhasil tercapai ketika El Real meraih trofi La Liga musim 2011/2012. Namun, setelahnya hal-hal buruk kerap menimpanya. Kalau diandaikan sebagai kapten kapal, badai memang selalu menerjang. Bedanya, setelah melatih Inter, tantangan itu justru hadir dari anak buahnya sendiri–yang tidak sedikit justru malah membangkang.

Di Inter, Mourinho punya pemain yang beroperasi secara harmonis. Ditambah lagi, mereka ada di puncak mental dan kemampuan fisiknya. Para pemain Inter punya hubungan emosional yang kuat dengan Mou serta punya kepercayaan kepadanya.

Javier Zanetti, kapten Inter saat itu, bersaksi kalau dirinya mendapatkan kepercayaan yang amat besar dari Mourinho. Ia pun membalas dengan bersedia untuk ditempatkan di posisi manapun kalau Mou membutuhkan.

“Sebelum laga final, Mourinho bilang pada kami bahwa kami selangkah lagi untuk membuat sejarah. Itu adalah pidato yang kuat dan emosional. Kami masuk ke lapangan dengan fokus yang luar biasa. Malam itu adalah pertandingan ke-700 ku untuk Inter,” cerita Zanetti.

Sebelum laga itu, Zanetti sudah menebak kalau Mourinho akan pergi. Pun dengan beberapa temannya yang lain. Namun, mereka terlalu khawatir untuk membicarakan itu. Mereka takut itu akan merusak atau menghentikan Inter mencapai tujuan yang mereka perjuangkan.

Pemain yang Cocok untuk Mourinho

Setelah dari Inter, rasanya Mourinho tak pernah tak dikabarkan berhubungan buruk; dengan siapapun: staf, pelatih, media, sampai dokter tim!

Ini yang mungkin jarang dibicarakan soal bagaimana para pemain Inter memahami karakter Mourinho. Zanetti adalah salah satu pemain terbaik di era modern. Namun, namanya jarang dimasukkan ke dalam 11 terbaik versi para penggemar. Pun dengan Wesley Sneijder yang di tahun itu main di final Piala Dunia. Ia cuma menempati peringkat keempat dalam voting Ballon d’Or!

Ada pula Thiago Milito yang mencetak dua gol di final melawan Bayern. Samuel juga jarang diapresiasi. Padahal, ia adalah bek tengah yang tangguh yang harusnya jadi rebutan tim-tim top di Premier League.

Dari starting line-up di malam itu, publik barangkali cuma menganggap Samuel Eto’o yang punya status sebagai bintang dunia, yang ketenarannya bisa menyaingi sang pelatih. Namun, justru inilah yang bikin Mourinho dengan Inter bekerja dengan sangat baik. Para pemain yang low profile bikin segalanya berjalan dengan harmonis.

Kecuali Zlatan Ibrahimovic, seringkali terdapat friksi antara Mourinho dengan pemain bintang. Sebut saja Sergio Ramos, Cristiano Ronaldo, Paul Pogba, sampai Dele Alli. Mereka tampak tak cocok dengan gaya manajerial Mourinho yang kerap mengandalkan kemampuan psikologis.

Mourinho memilih para pemain semacam Thiago Motta, Esteban Cambiasso, dan Goran Pandev, ketimbang Mario Balotelli, misalnya. Meski punya kemampuan yang cukup baik, tapi kepribadian Balo tidak cocok buat Mou.

Saling Merindukan

Mourinho memang masih memberikan trofi Premier League buat Chelsea. Pun trofi Europa League untuk Manchester United. Namun, selepas dari Inter, masalah kerap menghampirinya. Trofi pun kian sulit untuk didapatkan. Ia keluar dari Chelsea dan United sebelum tahun baru. Di Spurs ia mencatat rekor buruk dalam kariernya sendiri dengan tak meraih satu pun trofi.

Hal senada juga dirasakan Inter. Usai meraih treble tersebut, Inter mengalami penurunan dengan hanya meraih satu trofi Coppa Italia. Soalnya, Juventus kembali datang dan menancapkan pengaruhnya sebagai klub terkuat di Italia.

Baru pada 2020/2021 lalu, Inter meraih Scudetto di tangan Antonio Conte.

Pada akhirnya, semua sudah terjadi. Mourinho juga masih menyesali mengapa ia pergi.

“Aku pergi untuk meraih tujuanku, bukan untuk bahagia. Faktanya, aku lebih bahagia di Milan ketimbang di Madrid,” kata Mourinho.

Sumber: Dailymail