Nicolas Anelka, Islam, dan Aljazair

Nicholas Anelka lahir di Le Chesnay, Prancis. Kedua orang tuanya adalah imigran dari Martinique yang pindah ke Paris, empat tahun sebelum Anelka lahir. Namun, sepanjang masa remajanya, ia lebih dekat dengan komunitas Afrika-Utara, khususnya Aljazair. Yang pada akhirnya menjadi salah satu alasan mengapa ia memutuskan untuk memeluk agama Islam.

“Aku memiliki kesamaan dengan Aljazair, karena aku tumbuh bersama banyak teman-teman keturunan Aljazair di pinggiran kota Paris,” kata Anelka kepada Al Arabiya.

Salah satu kesamaannya adalah soal agama. Di negara dengan ibukota Aljir tersebut, sebanyak 99 persen masyarakatnya memeluk agama Islam. Islam begitu mengakar dalam budaya Aljazair. Negara tersebut pernah menjadi bagian Kerajaan Ottoman sampai akhirnya dikolonialisasi oleh Prancis.

“Kami punya banyak kesamaan, termasuk Islam. Faktanya, orang-orang terus bilang padaku kalau aku punya karakter Aljazair. Aku sangat tersentuh oleh itu karena mereka adalah orang-orang yang bangga. Aku bangga tapi tak arogan,” tutur Anelka.

Anelka memeluk Islam saat usianya 16 tahun. Namun, Anelka tak merasa ada yang berubah dari dirinya usai mengucap syahadat.

“Di luar aspek persaudaraan, pindah agama tidak mengubah hidupku. Aku tetap hidup dengan prinsip yang sama, menjadi orang yang adil, punya nilai-nilai. Aku terbiasa berpuasa di bulan Ramadan karena aku mengagumi orang-orang yang shaum di sekitarku,” ucap mantan pemain Chelsea tersebut.

Satu hal yang membuat Anelka akhirnya memeluk Islam adalah keyakinannya bahwa Islam memanglah untuknya. “Saya merasakan hubungan ini dengan Tuhan, dan itu mencerahkan hidup saya. Saya memiliki keyakinan di hati saya bahwa Islam adalah agama saya.”

Diskriminasi di Prancis

Meski lahir dan besar di Prancis, tapi Anelka tetaplah putra seorang imigran. Warna kulitnya juga berbeda dengan warga Prancis kebanyakan. Anelka pun mengaku kalau diskriminasi di Prancis cukup kental. Padahal, orang-orang Prancis dengan latar belakang Afrika-Utara mulai berasimilasi dengan masyarakat setempat.

“Orang Prancis berlatar belakang Afrika Utara mencoba membuat segala sesuatunya berjalan dengan baik untuk mereka, tetapi masyarakat Prancis membatasinya. Banyak kendala dalam perjalanannya,” ujarnya.

Anelka memberi contoh, bahwa di Prancis wajar jika pelamar menyembunyikan nama, foto, bahkan alamat mereka agar bisa dipanggil kerja. Soalnya kalau berasal dari daerah tertentu dengan nama seperti orang Muslim, maka kemungkinan besar sang pelamar tidak akan dipertimbangkan untuk bekerja.

“Hanya di Prancis Anda perlu menyembunyikan nama dan foto Anda dengan harapan mendapatkan pekerjaan. Tingkat diskriminasi itu tidak bisa diterima.”

Proyek di Aljazair

Usai membela Mumbai City FC di India pada 2015, Anelka dirumorkan akan kembali ke Inggris untuk bermain bola. Namun, ia menyebut kalau ia lebih berkonsentrasi ke Aljazair. Soalnya, ia menjabat sebagai konsultan di tim sepakbola NA Hussein Dey.

“Saya terpesona dengan sejarah kolonial antara Prancis dan Aljazair dan selalu ingin mengunjungi negara itu. Aljazair adalah tempat yang selalu membuat saya terkesan. Bekerja untuk NA Hussein Dey adalah kesempatan besar buat saya!”

Bersama Hussein Dey, Anelka ingin mengembangkan sepakbola di Aljazair. Sebelumnya, sepakbola Aljazair berkembang karena orang-orang Prancis keturunan Aljazair yang main di Prancis, Belanda, dan Inggris.

“Aku ingin membuat akademi kepelatihan di Aljazair. Tantangan terbesarnya adalah melatih pemain muda dan membangun dasar sepakbola. Saat fondasinya sudah terbentuk, sisanya akan mengikuti,” tutur Anelka.

Anelka menyebut kalau pemain Aljazair sebenarnya punya kualitas yang bagus terutama soal teknik. Aljazair ada di atas rata-rata saat bicara teknik, tapi ada beberapa hal yang harus dibenahi.

“Saya hanya ingin menyebarkan pengetahuan saya tentang sepakbola kepada anak-anak muda Aljazair dan menginspirasi mereka. Sepakbola Aljazair mengingatkan saya pada gaya sepakbola Brasil,” tutur mantan pemain Arsenal ini.

Sumber: Al Arabiya.