Pada 15 Juni 2008, Stade de Geneve di kota Geneva nyaris membuat sejarah yang apabila terjadi, mungkin akan menjadi satu-satunya sejarah yang pernah terjadi sepanjang gelaran Piala Eropa. Ketika itu, stadion berkapasitas 31 ribu penonton tersebut nyaris menggelar babak adu penalti pada laga fase grup.
Grup A Piala Eropa 2008 ketika itu diisi oleh Portugal, Swiss, Republik Ceko, dan Turki. Dua kemenangan yang diraih Portugal membuat mereka sudah memastikan diri lolos ke babak 8 besar. Di sisi lain, dua kekalahan yang didapat Swiss membuat mereka harus tersingkir meski menjadi tuan rumah turnamen.
Siapa yang akan menemani Portugal harus ditentukan hingga pertandingan terakhir. Satu tiket tersisa diperebutkan oleh Turki dan Ceko yang akan saling berhadapan. Kedua kesebelasan ini sama-sama memiliki satu kemenangan yang diraih atas Swiss dan satu kekalahan yang didapat dari Portugal.
Namun yang menarik, laga ini punya potensi untuk berakhir dengan drama adu penalti jika pertandingan berakhir imbang. Hal ini tidak lepas dari kedua kesebelasan yang memiliki catatan identik. Turki dan Ceko sama-sama punya tiga poin, sama-sama mencetak dua gol, dan sama-sama kebobolan tiga gol.
Sebenarnya, UEFA sudah memiliki format tersendiri untuk menentukan siapa yang lolos dari babak grup jika memiliki poin yang sama. Yang pertama adalah head to head, jumlah gol yang dicetak antara kedua kesebelasan, dan selisih gol kedua kesebelasan. Akan tetapi, regulasi ini gugur jika dua tim yang memiliki poin sama tersebut bertemu pada pertandingan grup terakhir mereka dan tidak ada kesebelasan di grup yang sama yang selesai dengan poin yang sama.
Kejadian seperti ini sebelumnya pernah terjadi pada Piala Eropa Perempuan U-19 pada 2003. Ketika itu, Swedia dan Italia harus bertanding dalam adu penalti pada babak grup karena memiliki poin sama (4), dan selisih gol yang sama (6-6). Pertemuan keduanya pada laga terakhir juga berakhir imbang 3-3. Swedia akhirnya yang memastikan diri lolos setelah menang adu penalti 1-4.
Dalam kasus ini, penentuan siapa yang lolos bisa ditentukan melalui adu penalti jika pertandingan berakhir dengan skor imbang. Penulis The Guardian, John Ashdown, bahkan berharap pertandingan berakhir dengan skor 3-3 yang bisa menambah menarik babak adu penalti dan kemudian menjadi sejarah. Meski begitu, kedua kesebelasan tidak mau laga ini berakhir imbang dan berlanjut hingga adu penalti. Sebisa mungkin mereka ingin menang pada waktu normal.
“Penalti bukan menjadi bagian penting dari persiapan kami. Kami tidak mau bermain imbang melawan Turki dan lolos karena penalti. Prioritas kami adalah menang 90 menit,” kata pelatih Ceko saat itu, Karel Bruckner. Ucapan serupa juga dikeluarkan oleh kiper Turki, Volkan Demirel, yang ingin memastikan laga tidak diselesaikan dengan adu penalti.
Namun, ucapan Demirel tampaknya tidak diaplikasikan dengan baik oleh rekan setimnya. Hingga menit ke-75, skuat asuhan Fatih Terim ini masih tertinggal dua gol yang dicetak oleh Jan Koller dan Jaroslav Plasil. Ceko berada dalam pole position untuk lolos ke babak 16 besar.
Namun Turki tampak belum mau menyerah sepenuhnya. Arda Turan memperkecil kedudukan memanfaatkan umpan Hamit Altintop. Gol ini membuka kembali peluang Turki yang sejak babak kedua terus menekan Ceko. Sayangnya, beberapa peluang Turki masih belum membuahkan hasil.
Petaka datang bagi Ceko ketika pada menit ke-87, Petr Cech luput menangkap bola crossing Altintop yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Nihat Kahveci. Skor 2-2 membuka peluang untuk munculnya adu penalti pada babak grup. Namun dua menit setelah mencetak gol penyeimbang, striker yang saat itu bermain untuk Villarreal tersebut mencetak gol kemenangan setelah melepaskan tendangan yang mengecoh Cech. Turki pada akhirnya menang dengan skor 3-2 dan menemani Portugal pada perempat final.
“Pada saat gol ketiga, saya hanya berpikir untuk menembak ke tempat saya bisa melihat dan itu akhirnya berjalan dengan baik dan masuk. Terima kasih Tuhan. Melihat bola di dalam jaring dan mengetahui kalau gol itu membawa kemenangan dan tiket ke perempat final, maka itu adalah perasaan yang luar biasa,” kata Nihat.
Kemenangan atas Ceko saat itu menjadi bukti kalau Turki tidak bisa diremehkan. Pada awalnya, memang tidak ada yang menjagokan Turki mengingat mereka hanya berada di pot keempat. Namun Fatih Terim membuktikan kalau Turki merupakan tim yang bagus dan bisa bersaing dengan kesebelasan kuat lainnya.
“Kami menunjukkan kepada dunia tentang tim macam apa yang kami punya saat ini. Kami datang kemari untuk bertanding sampai akhir pertandingan dan berusaha mencetak gol,” ujar mantan pelatih AC Milan tersebut.
Sepanjang sejarah sepakbola mereka, Ay Yildizlilar telah empat kali bermain pada kompetisi Piala Eropa. Turnamen 2008 menjadi penampilan terbaik mereka karena berhasil lolos hingga babak semifinal sebelum dikalahkan oleh Jerman. Sepanjang Turnamen yang digelar di Austria dan Swiss tersebut, Turki juga dikenal sebagai raja comeback. Mereka selalu bangkit dari ketertinggalan atas lawan-lawannya.
Mereka tertinggal 1-0 dari Swiss sebelum menang 2-1, tertinggal dua gol sebelum menang 3-2 atas Ceko, dan yang paling epik terjadi pada perempat final ketika melawan Kroasia. Turki yang tertinggal 1-0 melalui gol Ivan Klasnic pada menit ke-119, berhasil menyamakan kedudukan pada menit 120+2 melalui Semih Senturk yang membuat laga harus ditentukan melalui adu penalti. Mereka keluar sebagai pemenang setelah menang 3-1 berkat kegemilangan Rustu Recber di bawah mistar.