Paul Scholes angkat kaki. Menjalani karier sebagai manajer untuk pertama kalinya bersama Oldham Athletic, Scholes memilih pergi. Menjalani enam partai di divisi empat Inggris, ‘the Ginger Prince’ mencatat satu kemenangan dan tiga imbang sebagai nahkoda Oldham.
Hanya kalah dua kali dari enam pertandingan bukanlah hal buruk bagi Scholes. Mengingat Oldham tidak seperti Valencia CF. Ketika rekan seperjuangan Scholes, Gary Neville menjadi nakhoda Los Che di Spanyol, dua kekalahan dari enam laga sudah membuat kelayakannya dipertanyakan.
Sekalipun kekalahan lawan Villarreal merupakan kegagalan pertama bagi Neville di La Liga. Berbagai media menyebut Valencia bermain terlalu bertahan dan tak dapat memanfaatkan peluang mereka.
Bruno Soriano yang menjadi pembeda pada pertandingan itu bahkan juga mengakui hal tersebut. “Valencia bermain terlalu dalam. Kami tahu laga ini akan sulit, tapi itu membuat pemain-pemain percaya ada kesempatan untuk menang,” aku Soriano.
Mengingat Neville akhirnya berjanji tak akan kembali melatih setelah gagal di Valencia, hal serupa saja terjadi pada Scholes. Setidaknya, itulah pikiran pertama yang muncul saat mendengar Scholesy mundur dari Oldham. Namun setelah mengetahui kondisi the Latics, mustahil mantan gelandang Manchester United itu menyerah.
“Sayangnya, setelah menangani kesebelasan ini saya baru sadar bahwa hal yang diinginkan tidak mungkin terjadi. Berbeda dengan saat pertama saya ditawarkan pekerjaan ini,” tutur Scholes menjelaskan keputusannya mundur dari Boundary Park.
Berharap Dampak Instan
Foto: Telegraph
Jauh sebelum Scholes dipercaya menangani Oldham, Abdallah Lemsagam, selaku pemilik klub sudah memiliki citra buruk. Ia dikenal sombong dan tidak memiliki kesabaran yang dibutuhkan untuk mengurus kesebelasan divisi empat.
Dalam waktu 44 bulan (Februari 2015 – Desember 2018), Lemsagam sudah mendepak sembilan manajer dari Boundary Park. Dari sembilan manajer itu, tak ada satupun yang berhasil bertahan selama satu musim di Oldham.
Padahal jika menengok ke belakang, cerita sukses Swansea City dan Southampton yang sempat jadi kuda hitam di Premier League, kesabaran adalah kunci. Southampton dapat mencapai Premier League dari divisi tiga Inggris dengan mengandalkan Alan Pardew dan Nigel Adkins.
Sementara Swansea memiliki Kenny Jackett dan Roberto Martinez saat mulai perjalanan dari League Two. Luton Town, di 2013 status mereka adalah kesebelasan semi-profesional. 2019, mereka bermain di League One, satu divisi di atas Oldham. Selama perjalanan itu, the Hatters hanya menggunakan empat manajer. Sabar.
Kata itu sepertinya tidak ada di kamus Lemsagam. Pasalnya, ia merasa lebih tinggi dari Oldham sendiri. Bagi Lemsagam, tanpa dirinya the Latics mungkin sudah punah.
“Saya tidak bisa mengubah opini seseorang. Tapi saya harap para suporter percayakan masa depan Oldham kepada kami pengurus klub. Tanpa saya, mungkin tidak akan ada Oldham,” kata Lemsagam.
Krisis Kepercayaan dan Finansial
Foto: Oldham Athletic
Abdallah Lemsagam mengakuisisi the Latics pada Januari 2018. Membeli 97% saham the Latics pada Januari 2018, Lemsagam ‘menyelamatkan’ klub dari kasus pajak yang mereka alami beberapa bulan terakhir.
Lampu hijau juga sudah diberikan oleh pemilik terdahulu the Latics, Simon Corney. Corney yang menyelamatkan klub dari pembubaran pada 2004 yakin Lemsagam bisa memberikan arahan baru kepada Oldham. “Lewat keterampilan, sumber daya, dan koneksi yang dimiliki Lemsagam, Corney percaya Oldham akan semakin maju,” tulis pihak klub.
Tapi kenyataannya, melalui pekerjaan lain sebagai agen pemain, Lemsagam memberikan posisi kepada klien-kliennya. Mayoritas pemain-pemain dengan kemampuan bahasa Prancis seperti dirinya. “Saya ingin membuat para suporter berani bermimpi,” katanya meyakinkan pembelian pemain asing sebagai sesuatu yang tepat.
Padahal, lewat pemain-pemain asing ini, Oldham mengalami kerugian. Menurut Daily Mail, gaji yang harus dibayarkan Oldham pada 2017/18 mencapai 2,4 juta pauns. Besar untuk kesebelasan divisi empat. Padahal kesebelasan League Two rata-rata hanya mengeluarkan satu juta pauns untuk gaji pemain. Angka Oldham sudah mencapai batas Financial Fair Play (FFP) liga, yaitu dua sampai lima juta pauns.
Ketika mengakuisisi klub, Lemsagem juga mengatakan bahwa dirinya akan pelan-pelan membangun Oldham. Dirinya bukanlah miliarder yang bisa menghamburkan uang dan harus bersabar. “Saya bukan orang kaya. Kita harus menjalaninya perlahan. Hal paling penting adalah bekerja keras bersama-sama”.
Tapi kenyataannya, ia sudah mengha,burkan uang. Juga tidak memberikan kesempatan pada manajer yang menangani tim. Scholes sekalipun tidak diberi kepercayaan untuk mengubah Oldham.
Agresif dan Menghibur
Foto: Mirror
Saat Scholes masuk ke Oldham, kesebelasan ini sudah seperti kapal pecah. Manajer yang ia gantikan juga sebenarnya merupakan seorang suporter the Latics yang baru memiliki pengalaman di tim amatir. Tapi siapa yang mau menangani klub di bawah Lemsagem?
Para pemain sekalipun merasa gerah dengan kehadiran pemilik klub mereka. “Lemsagem pernah datang ke salah satu pemain saat latihan. Lalu ia mengatakan kepada pemain itu bahwa ia tidak akan bermain saat Oldham bertemu AFC Wimbledon. Moral langsung turun drastis karena hal itu,” kata sumber Daily Mail.
Scholes datang dan ingin membuat perubahan. “Saya ingin para pemain bermain secara agresif. Mungkin kami tidak akan memenangkan semua pertandingan, namun saya ingin membuat para suporter terhibur. Permainan menghibur akan menjadi kunci kami,” tutur Scholes saat diperkenalkan sebagai manajer.
Tapi seperti ucapan Scholes saat mundur, hal itu tidak mungkin terjadi dengan kondisi klub saat ini. Untungnya, Paul Scholes merupakan salah satu pesepakbola terbaik dunia. Meski gagal bersama Oldham, masih banyak tawaran menunggu. Ole Gunnar Solskjaer bahkan disebut ingin membawa Scholes ke Manchester United.
Berbeda dengan Gary Neville, karier manajerial Scholes baru akan dimulai. Oldham hanya sekedar catatan kaki bagi Scholesy.