Ongkos Mahal Tuan Rumah Piala Dunia

Langsung lolos ke babak utama adalah salah satu motif sejumlah negara ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia. Akan tetapi, makin hari banyak negara maju yang mulai mempertimbangkan ulang keinginan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Pasalnya, ongkos yang dikeluarkan kelewat mahal dan punya dampak sosial yang tinggi pula.

***

Empat tahun setelah Olimpiade Athena, masyarakat dunia dikejutkan dengan terbengkalainya venue tempat berlangsungnya cabang olahraga. Grafiti memenuhi tembok stadion utama, sementara gelanggang renang sudah terkuras airnya. Hal ini diperparah dengan resesi ekonomi yang mendera Eropa, dan paling keras menghantam Yunani.

Jelang Piala Dunia 2014, kabar tak sedap juga menimpa Brasil. Demi membuat negaranya terlihat indah dan rapi, Kepolisian Brasil dikabarkan menculik dan membunuh anak jalanan. Laporan dari jurnalis Denmark, Mikkel Johnson, pun sontak membuat dunia terkejut. Pemerintah Brasil seperti berusaha menghilangkan kesan kumuh dengan penggusuran paksa, kehadiran aparat bersenjata dan tentara, sampai dugaan korupsi yang merajalela.

Brasil memang tidak cuma mempersiapkan Piala Dunia, tapi juga Olimpiade yang digelar pada 2016 di Rio de Janiero. Maka wajar apabila Pemerintah Brasil juga terus menjaga kondisi maupun tata kota utamanya Rio de Janiero hingga berakhirnya Olimpiade.

Ongkos Mahal Tuan Rumah Piala Dunia

Berdasarkan Investor Daily, biaya menjadi tuan rumah Piala Dunia kian membengkak setiap edisinya. Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan menghabiskan 2,7 miliar USD. Angka ini melonjak drastis di Piala Dunia 2014 di Brasil dengan 15 miliar USD. Namun, angka di atas masih belum setara dengan pembangunan yang dilakukan Qatar yang menghabiskan 200 miliar USD termasuk untuk infrastruktur penunjang.

Pertanyaan besar pun muncul utamanya terkait kelanjutan dari penggunaan venue pertandingan yakni stadion. Qatar akan membangun 12 stadion berteknologi tinggi. Kalau digabungkan, kapasitasnya mencapai 700 ribu kursi. Di sisi lain, penduduk Qatar hanya 300 ribu orang dengan dua juta ekspatriat. Lantas, setelah Piala Dunia, bagaiamana cara Qatar memenuhi stadion berkapasitas besar ini?

Keheranan ini tak lain mengingat terbengkalainya sejumlah stadion di Brasil setelah Piala Dunia. Yang paling populer adalah Stadion Maracana. Awal tahun lalu, CNN membuat judul yang menarik: “Stadion Ikonik Maracana, Kini Seperti Stadion Berhantu”.

Wajar rasanya kalau disebut sebagai stadion berhantu. Pasalnya, setelah Piala Dunia, stadion ini memang tak berpenghuni. Awalnya, stadion ini digunakan oleh sejumlah kesebelasan seperti Fluminense, Botafogo, Vasco da Gama, hingga timnas Brasil. Akan tetapi, karena utang yang mencapai 1 juta USD kepada perusahaan energi belum dibayar, listrik di Maracana pun dimatikan. Tak lama setelah Olimpiade Rio de Janiero, Stadion Maracana pun terbengkalai.

Setelah Tuan Rumah Piala Dunia, Apa Selanjutnya?

Berdasarkan laporan CNN, rumput lapangan rusak karena hama, sejumlah jendela dan pintu rusak. Selain itu hampir 10 persen dari kursi yang berjumlah 78 ribu hilang.

Padahal, sebagai stadion milik negara, Stadion Maracana dibangun dari uang pajak masyarakatnya. Terbengkalainya fasilitas milik warga ini jelas menghadirkan suatu kesadaran: ketimbang mengeluarkan 150 triliun rupiah untuk Piala Dunia, mengapa uangnya tidak untuk mengentaskan kemiskinan?

Banyak yang bilang kalau menjadi tuan rumah Piala Dunia atau event besar lainnya adalah untuk mengangkat ekonomi negara tersebut. Pertanyaannya? Seberapa kuat?

Qatar lewat Menteri Keuangannya, Ali Sharif al-Emadi, menggambarkan kesiapan Qatar dengan menyelesaikan semua proyek maksimal satu tahun jelang Piala Dunia. “Kami tak ingin sibuk mengecat sementara wisatawan datang ke negara kami,” tegas Al-Emadi.

Al-Emadi memprediksi bahwa Piala Dunia akan membantu meningkatkan ekonomi Qatar sebesar 3,4 persen pada 2017. Emadi juga menyatakan kalau peningkatan ini 70 persen lebih banyak dari negara Timur Tengah lain. Emadi menyiratkan bahwa Qatar ingin Piala Dunia ini memegang prinsip berkelanjutan dan tak berhenti di tengah jalan.

Agaknya Piala Dunia menjadi momentum buat Qatar untuk membenahi infrastruktur. Bayangkan, menurut The GuardianQatar menghabiskan 500 juta USD dalam sepekan untuk pengerjaan infrastruktur. Tujuannya mengarah untuk jangka panjang mungkin masyarakatnya, mungkin juga untuk pengembangan turisme ke depannya.

Namun, bagaimana dengan negara lainnya yang terkesan sekadar menjaga gengsi negara dengan menyelenggarakan event besar yang sukses dan negaranya masuk Piala Dunia? Mungkinkah mereka menjadi seperti Yunani dan Brasil? Mengapa tidak.

Siapkah Merawat Warisan Tuan Rumah Piala Dunia?

Yunani dan Brasil menjadi contoh kegagalan negara merawat venue untuk event besar. Hal ini juga amat mungkin terjadi di Rusia dan Qatar setelah Piala Dunia. Apa masalahnya? Sejumlah stadion dibangun di tempat yang bukan kekuatan sepakbola. Stadion punya kapasitas puluhan ribu sementara pertandingan klub lokal hanya dihadiri oleh beberapa ribu penonton.

Stadion yang besar membutuhkan biaya yang tak kalah besar. Lantas, bagaimana caranya pihak klub lokal atau penyewa mampu membayar uang perawatan kalau stadionnya saja tidak pernah penuh?

Kesadaran ini memang tak banyak hinggap di kepala para birokrat. Namun, sejumlah gerakan terjadi di Amerika Serikat. Pemerintah Kota Chichago, Minneapolis, Vancouver, dan Glendale, menyatakan pada FIFA kalau mereka tak akan ambil bagian di Piala Dunia. Padahal, Amerika Serikat sudah memasukkan empat nama tersebut dalam pencalonan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026.

Alasannya? Walikota Chicago, Rahm Emanuel, menyatakan kalau requirement yang diperlukan untuk menggelar Piala Dunia dianggap tidak masuk akal. Salah satu keinginan FIFA adalah membuat dome di Soldier Field yang direncanakan menjadi tuan rumah di Piala Dunia 2026. Besarnya biaya penyelenggaraan dikhawatirkan memberatkan para pembayar pajak. Selain itu, terdapat sejumlah dampak sosial yang mungkin bisa dipersoalkan di kemudian hari. Salah satunya soal perbudakan yang kini menimpa Qatar.

Jadi, masih mau jadi tuan rumah Piala Dunia?