Diego Maradona Abadi, Karena Karya Seni Tak Pernah Mati

Satu kata dalam bahasa Indonesia yang paling menyebalkan buat saya adalah “andai”. Ia hadir dengan dua konsekuensi: (1) memberikan harapan, sekaligus (2) penegasan bahwa ia cuma harapan, bukan kenyataan; setidaknya saat kata tersebut diucapkan.

Zen RS di akun Twitternya mengunggah foto harian Daily Star dengan gambar ikonik Diego Maradona tengah “menyundul” bola dengan tangannya melewati jangkauan kiper Peter Shilton. Judul yang digunakan Daily Star adalah “Where was VAR when we need it most?” atau kira-kira “Di mana VAR saat kita betul-betul membutuhkannya?”.

Harian lain di Inggris, seperti dikutip dari BBC, juga mengangkat foto dan berita kematian Diego Maradona. The Sun dan Daily Mirror memasang gambar yang sama dengan Daily Star. The Sun menggunakan judul “In the hands of God” sementara Daily Mirror “He’s in the hands of God”.

Judul yang digunakan Daily Star memberikan ruang bagi para pembacanya untuk berandai-andai:

Andai saja dulu ada VAR, gol Maradona pasti dianulir.
Andai gol Maradona dianulir, tidak akan ada istilah “Tangan Tuhan”.
Andai gol Maradona dianulir, mungkin gol kedua Argentina tidak akan terjadi.
Andai gol kedua Argentina tidak terjadi, mungkin Inggris tidak akan kalah.
Andai gol kedua Argentina tidak terjadi, mungkin Inggris yang akan ke semifinal.
Andai Inggris ke semifinal, mungkin saja Inggris juara Piala Dunia 1986.

Begitu terus sampai kita dihadapkan pada kenyataan, bahwa bertualang ke masa lalu adalah omong kosong belaka. Apa yang sudah terjadi adalah realita yang akan berjalan terus seperti itu selamanya.

Pengandaian bisa menimbulkan kesenangan sesaat lewat realita alternatif yang kita reka sendiri jalan ceritanya. Judul Daily Star di atas adalah salah satu contohnya.

Namun, kalau bicara Maradona, ada satu hal yang tabu untuk diandaikan: Kalau Maradona tidak mencetak dua gol ke gawang Inggris, apakah ia akan dikenang sebagai legenda?

Maradona Sebagai Legenda

Sebagai penonton yang tidak pernah menyaksikan Maradona bertanding secara langsung, saya sukar untuk merasakan sebesar apa daya magis Maradona ketika ia membawa bola. Seterpukau apa saya ketika melihatnya melewati setiap pemain lawan. Apalagi, kalau sekadar melihat jumlah trofi yang ia berikan buat klub.

Akan tetapi, Maradona jauh lebih besar dari sekadar jumlah trofi. Ada satu hal yang membuatnya begitu diagung-agungkan. Sampai-sampai, ia punya gerejanya sendiri: Iglesia Maradoniana.

Salah satu pendirinya, Alejandro Veron, pernah bilang ke The Guardiankalau agamanya adalah sepakbola, dan seperti semua agama, ia harus punya Tuhan. “Kami tak akan pernah lupa keajaiban yang ia tunjukkan di lapangan dan semangat yang ia bangun dalam diri kita, para fanatiknya,” kata Veron.

Yang menarik dari Iglesia Maradoniana bukanlah karena kemegahan bangunannya, atau apa yang ada di dalamnya. Menurut salah seorang pendirinya, Hernan Amez, gereja ini bukanlah berpusat pada tempat, tapi pada para pengikutnya, yang loyal pada Maradona.

Buat sebagian orang, Maradona bukan cuma pesepakbola. Lebih dari itu, ia adalah legenda yang ceritanya tak pernah mati. Ia adalah pribadi yang dicintai. Nyawanya memang menghilang dari bumi, tapi kenangannya tetaplah abadi.

Kecintaan terhadap Maradona tidak tiba-tiba ada. Ia lahir dari keindahan yang luput dari mata sebagian orang. Terkadang, keelokannya harus dijelaskan, untuk menunjukkan sisi lain kita memandang.

Ketika Zen RS menulis esai “Grand-Jete ala Maradona“, pandangan saya soal gol kedua Maradona menghadapi Inggris langsung berubah. Saya seketika paham mengapa gol itu disebut-sebut sebagai yang terbaik pada abad ini.

Ada beberapa pemain yang bisa melakukan solo-run serupa. Lionel Messi pernah mereplikasinya. Gol tersebut dicetak ke gawang Getafe pada April 2007. Prosesnya mengingatkan semua orang dengan apa yang dilakukan Maradona ke gawang Inggris. Messi juga melewati lima pemain, termasuk mengecoh kiper lawan.

Son Heung-min juga pernah melakukannya pada Desember 2019 ke gawang Burnley. Ia melakukannya dari jarak yang lebih jauh, sekitar 70 meter, dan beradu cepat dengan setidaknya tujuh pemain. Golnya ini bahkan menjadi Gol Terbaik Premier League musim 2019/2020.

Akan tetapi ada sesuatu yang membuat gol Maradona berbeda. Dalam padangan Zen, Maradona berlari layaknya penari. Dan ternyata, memang ada istilah untuk menamai gerakan tersebut, yang kemudian disematkan Zen pada judul: Grand-Jete.

“Tarian” sulit untuk dilihat pada awalnya. Tapi semua berubah ketika gerakannya diperlambat. Gerakan tubuh Maradona menjelaskan semuanya. Setelah melihat gerakan lambatnya, saya bertanya-tanya. Bagaimana mungkin seseorang menggiring bola dan itu terlihat begitu anggun dan elegan?

Dalam esainya, Zen menjelaskan secara detail bagaimana teknik seperti itu tidak bisa sembarang dilakukan. Bila kaki salah menapak, engkel pun bisa rusak. Hebatnya, Maradona melakukannya sembari mengubah arah bola.

“Grand-jete” hanyalah satu dari sekian banyak momen hebat yang dilakukan Maradona. Bahkan sebelum bertanding, Maradona sudah bikin lawannya tidak fokus.

Beberapa waktu lalu, ada video viral dengan Maradona tengah pemanasan. Kejadian ini terjadi pada 1989 di semifnal leg kedua Piala Champions antara Napoli menghadapi Bayern Munich. Alih-alih pemanasan dengan rekan setimnya, Maradona justru menimbang bola mengikuti irama lagu yang diputar di stadion.

Maradona mengenakan jaket parasit yang entah bagaimana, ia mengikatkan tali di perutnya, dan menarik bagian bawah jaketnya hingga perut. Bagian tangan jaketnya diangkat hingga sikut dan memperlihatkan baju lengan panjang di dalamnya. Saat menimbang bola, terlihat kalau Maradona bahkan tak mengikat tali sepatunya.

Pemanasan ini dilakukan Maradona beberapa kali. Korbannya adalah Jurgen Klinsmann. Ketika itu, Stuttgart berhadapan dengan Napoli.

“Musik diputar, lagunya ‘Live is life, dan mengikuti alunan lagu, Maradona menimbang bola. Jadi, kami menghentikan pemanasan kami. Apa yang orang ini lakukan? Dia menimbang bola dengan pundaknya. Dan kami tak bisa pemanasan lagi karena kami harus menyaksikan orang ini,” kata Klinsmann.

***

Leonardo da Vinci sudah mati, tapi karyanya tidak. Orang-orang masih membicarakan makna lukisan-lukisannya. Buat sebagian orang, “Monalisa” hanyalah perempuan dalam lukisan. Buat pengagum Da Vinci, “Monalisa” lebih dari sekadar itu.

Diego Maradona telah berpulang, tapi seperti kata Messi, ia abadi. Buat para pengagumnya, Maradona lebih dari sekadar legenda. Apa yang ia tunjukkan di atas lapangan, bukan cuma bakat sepakbola, tapi juga mukjizat bagi mereka yang pernah menyaksikannya.

Diego Maradona abadi, karena karya seni tak pernah mati. Ia akan dibangkitkan, dan setiap fragmen yang menyertainya akan selalu dikenang.

Di paragraf awal, saya menulis kalau pengandaian bisa menimbulkan kesenangan sesaat. Namun, tidak berlaku kalau yang mengatakannya adalah Pele: “Suatu hari, saya berharap  kami bisa bermain bola bersama di langit.”

Andai 2020 tidak pernah ada.