Banyak yang bilang kalau kiper adalah pekerjaan paling sunyi di dunia. Jawaban ini memang tidak salah, tapi kurang tepat. Karena pekerjaan paling sunyi di dunia adalah menjadi kiper ketiga.
Ada banyak pesepakbola yang menjadi kiper ketiga sepanjang kariernya. Ada pula kiper bagus yang menjadi kiper ketiga di akhir kariernya seiring dengan menuanya usia. Banyak pemikiran untuk menjadi kiper ketiga. Pertama, mereka bertahan karena membela tim besar. Kedua, mereka sudah tak lagi mengejar karier. Ketiga, sepakbola memang bukan untuknya.
Kiper pilihan ketiga terbilang unik. Mereka berlatih keras bersama tim utama, ikut perjalanan ke luar kota, tapi tahu kalau peluang mereka bermain amat terbatas. Ini berbeda dengan kiper kedua, misalnya, yang bisa bermain kapan saja, mengingat cedera atau kartu merah amat mungkin menghampiri kiper pertama. Kiper kedua juga berpeluang diturunkan di kompetisi yang levelnya lebih rendah atau di kompetisi yang tidak menjadi prioritas.
Hal ini yang dirasakan Sergio Romero di Manchester United. Statusnya adalah kiper kedua, tapi ia adalah kiper utama timnas Argentina. Artinya, Romero punya kualitas yang tak perlu diragukan untuk mengawal gawang United. Sialnya, sudah ada David De Gea yang hampir sulit untuk digeser siapapun, karena ia adalah penjaga gawang terbaik dunia.
Di musim pertama Jose Mourinho di United, ia menurunkan Romero di kompetisi Piala FA dan Piala Liga. Karena MU juga bermain di Europa League, secara normal De Gea yang akan diturunkan, tapi Mourinho memilih Romero. Hasilnya memuaskan: MU juara Europa League untuk pertama kalinya.
Musim lalu, MU punya Joel Casto Pereira di pos kiper ketiga. Karena hampir mustahil menembus kiper utama, Pereira dipinjamkan. Anehnya, MU justru mendatangkan Lee Grant, yang berusia 36 tahun, untuk menggantikan Pereira sebagai kiper ketiga. Lebih aneh lagi, Grant mau datang ke United, padahal tahu kalau ia hampir mustahil diturunkan di Premier League.
Lantas apa yang mendasari mengapa sejumlah kiper memilih bertahan sebagai kiper ketiga?
Situasi yang Berubah
Dalam wawancara dengan BBC, kiper ketiga Chelsea, Rob Green, menjelaskan kalau menjadi kiper ketiga bukanlah sesuatu yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia tak pernah berpikir untuk menjadi kiper ketiga. “Namun, situasi Anda mengubah sebagaimana karier Anda berlanjut,” tutur Green.
Green bergabung dengan Chelsea pada Juli 2018 di usia 38 tahun. Ia dikontrak selama satu tahun setelah meninggalkan Huddersfield Town, yang mana ia juga menjadi kiper ketiga, di akhir musim 2017/2018.
Hingga saat ini, Green belum pernah diturunkan. Pelatih Chelsea, Maurizio Sarri, jelas memilih kiper termahal dunia, Kepa Arrizabalaga sebagai pilihan pertama. Apabila Kepa absen, pilihannya langsung diberikan pada mantan kiper Manchester City, Willy Caballero. Green tak pernah mengeluh menjadi kiper ketiga. Ia sudah sadar sedari awal: kalau semua kiper fit, maka kiper ketiga adalah peran yang harus ia emban.
Buat Green, uang bukanlah faktor utama mengapa ia bergabung dengan Chelsea. Ketika ada yang menawarinya pindah ke Chelsea pun, ia tak pernah membahas berapa banyak Chelsea akan membayarnya.
“Anda ingin dibayar. Itu pekerjaanmu. Ini seperi seseorang bekerja. Itu membantu memberi makan keluargamu, tapi tak dalam satu halpun uang menjadi faktor yang memotivasiku,” ungkap kiper yang dibesarkan Norwich City tersebut.
Menurutnya, ia bergabung dengan Chelsea karena ingin merasakan sepakbola papan atas di Premier League. Karena sepanjang hidupnya, selain Norwich, Green hanya bergabung dengan West Ham United, Queens Park Rangers, Leeds United, dan Huddersfield. Ini adalah musim pertama di mana Green tak mengejar 40 poin sepanjang musim dan bersyukur meraihnya, dengan tak terdegradasi.
Kiper Ketiga yang Berbeda
Rob Green berbeda dengan kiper ketiga lain yang bermain di Premier League. Pasalnya, ia adalah kiper berpengalaman yang menjadi pilihan utama di Norwich, West Ham, dan QPR. Ia bahkan pernah menjadi pilihan pertama Fabio Capello di timnas Inggris untuk Piala Dunia 2010, meski kemudian digeser David James.
Menjadi kiper ketiga merupakan pengalaman yang berbeda ketimbang saat menjadi kiper pertama. Ia kini lebih sering menjadi kiper lawan yang akan dihadapi oleh tim utama Chelsea. Untuk itu, ia perlu mencari hal yang menjadi motivasinya untuk tetap berlatih, karena tahu tak akan bermain, dan bahkan tak dimasukkan ke bench.
Saat menjadi kiper kedua, ia mungkin akan tetap berlatih bersama kiper pertama di hari pertandingan. Meski duduk di bangku cadangan, ia harus tetap siap mengingat risiko cedera atau kartu merah bisa datang kapan saja. Namun, tidak dengan kiper ketiga.
Saat bertanding, biasanya ada 18 pemain yang masuk ke lapangan: 11 pemain utama dan tujuh pemain cadangan. Namun, Chelsea biasanya melibatkan 25 pemain dan mengikutkan mereka ke setiap pertemuan taktikal juga ke pertandingan tandang.
“Aku menghadiri semua rapat, melakukan semua pre-match, melakukan pemanasan dan membantu dengan cara apapun yang kamu bisa, apakah itu mengumpulkan bola, menahan tendangan, atau memberikan umpan silang,” ucap kiper kelahiran 18 Januari 1980 tersebut.
Saat pemain bersiap-siap, ia pun bisa beristirahat. Green kemudian membuat teh dan duduk santai di tribun. Namun, ini pun dipandang positif oleh Green yang merasa punya perspektif berbeda dengan melihat pertandingan dari tribun. Ia pun biasanya memberikan tanggapan kepada para pelatih di analisis setelah pertandingan.
Dengan segala yang ia lakukan, apakah ia masih merasa bagian dari Chelsa?
“Secara harfiah Anda di sana seperti orang lain, tapi secara realistis tidak. Anda tak punya motivasi yang sama. Tidak ada klimaks yang sama di akhir pekan. Tidak ada pula komitmen yang sama dalam hal fisik maupun mental.”
“Anda kecewa saat tim kalah dan senang saat mereka menang, tapi itu bukan Anda. Itu sesuatu yang di mana Anda menjadi bagiannya, tapi bukan Anda yang menahan tendangan,” tutup Green.