Pembinaan Usia Muda Inggris dan Pengembangan Pemain ala Bundesliga

Keberhasilan timnas Inggris menembus semifinal Piala Dunia 2018 memang mengejutkan. Salah satu alasannya karena susunan pemain yang diracik Gareth Southgate. Mereka terbilang minim jam terbang bersama tim nasional senior. Mereka yang berangkat ke Rusia, umumnya pernah bekerja sama dengan Southgate di tim Inggris U-21.

“Aku pernah bermain untuk Gareth beberapa kali di tim U-21, jadi aku tahu bagaimana filosofinya. Dia memilih banyak pemain yang bisa memainkan sepakbola yang bagus, sepakbola yang menyerang, dan itu penting. Itu menarik buat kami,” kata Dele Alli.

Pemilihan pemain sesuai dengan filosofi pelatih memang hal yang umum. Namun, apakah benar Southgate memilih para pemain itu karena mereka bisa bermain menyerang? Atau karena memang Southgate tak punya pilihan lagi?

Memang sejumlah pemain muda memang sudah layak masuk timnas, tapi ada beberapa yang bikin publik bertanya-tanya. Apa benar Ruben Loftus-Cheek lebih bagus dari Jack Wilshere? Apa benar tidak ada bek lain sebagus Phil Jones? Malah semua kiper Inggris belum ada yang tampil lebih dari 10 kali.

Di skuat racikan Southgate, hanya ada tiga pemain yang berusia di atas 30 tahun. Pemain tertua di skuat adalah Gary Cahill dengan usia 32 tahun yang memang layak mendapatkan satu tempat di pos bek tengah. Ada pula Ashley Young dengan usia yang sama, yang menjadi bek kiri utama setelah bermain bagus bersama Manchester United. Nama Jamie Vardy (31 tahun) pun masih menjadi pilihan untuk melapis Harry Kane.

Meskipun demikian, para pemain muda Inggris terhitung sering bermain untuk kesebelasannya masing-masing. Sebut saja Harry Maguire bersama Leicester City, Alli dan Kane bersama Spurs, juga Jordan Pickford bersama Everton. Capaian ini sebenarnya menjadi durian runtuh buat Southgate mengingat 66 persen menit bermain di Premier League justru dicatatkan pemain non-Inggris.

Keterbukaan Premier League dan klub-klubnya terhadap pemain asing memang bikin pusing pelatih timnas mereka. Para pemain asli Inggris terpinggirkan karena para pelatih (yang juga asing) lebih percaya pemain non-Inggris. Beruntung Kane dan Alli menjawab kepercayaan Spurs sehingga selalu menjadi pemain utama. Pun dengan Pickford yang mengawal gawang Everton.

Southgate sendiri, dikutip dari BBC, berkata jujur dengan mengakui kalau Inggris belum bisa disebut sebagai kesebelasan top four, meski mampu menjejakkan kaki ke semifinal. Ini memang benar mengingat para pemainnya sebenarnya belum cukup berpengalaman untuk tampil di kompetisi sepenting Piala Dunia.

Secara normal, untuk mencapai tim senior, seorang pemain dipoles terlebih dahulu di klub. Saat pemain mulai matang, baru mereka dipertimbangkan untuk dipanggil ke tim nasional. Sayangnya, sejumlah pemain tidak mendapatkan menit bermain yang cukup di tim utama.

Ini yang terjadi di tim Inggris U-21 saat berlaga di Piala Eropa U-21 pada 2015. Ketimbang kesebelasan negara lain, agaknya tim Inggris U-21 kala itu merupakan kesebelasan dengan pemain yang jarang dimainkan di klub. Malah, ada beberapa yang dipanggil dari kesebelasan di Divisi Championship.

Hal ini bisa berdampak buruk buat pemain itu sendiri karena karier sepakbolanya mandek di level bawah. Oleh karena itu, muncul ide untuk memindahkan para pemain Inggris ini ke liga yang lebih bersahabat yakni di Bundesliga Jerman.

Kepindahan Jadon Sancho ke Borussia Dortmund

Secara mengejutkan, Borussia Dortmund mau mengangkut Jadon Sancho senilai 10 juta paun dari Manchester City. Ia bahkan diberikan nomor “7”. Nama Sancho sendiri memang tidak begitu terdengar karena ia masih berusia 18 tahun dan pernah memenangi Piala Dunia U-17 bersama Inggris.

Keterkejutan lainnya adalah dengan diberikannya menit bermain yang lebih banyak ketimbang saat ia di Inggris. Sancho bermain 685 menit bersama Dortmund, padahal ia belum pernah mencicipi atmosfer Premier League.

Selain Sancho, ada sejumlah pemain Inggris lain yang juga mendapatkan pengalaman serupa. Sebut saja Reece Oxford yang dipinjamkan West Ham United ke Borussia Moenchengladbach. Oxford bermain 463 menit musim lalu, lebih banyak ketimbang saat ia bermain untuk The Hammers dengan 215 menit.

Beda Sudut Pandang Premier League dengan Bundesliga

Dikutip dari BBC, sejumlah pemain muda Inggris sebenarnya tidak begitu percaya dengan sistem pembinaan di Premier League. Soalnya yang ada di benak kesebelasan umumnya adalah soal uang. Mereka pun mencari kesuksesan dengan cara yang instan ketimbang lewat jangka panjang.

Salah satunya adalah Kevin Danso pemain yang lahir di Austria dari orang tua berkebangsaan Ghana. Pada usia sembilan tahun, Danso bergabung dengan Akademi MK Dons. Enam tahun berselang, sejumlah kesebelasan Premier League ingin mendapatkannya. Akan tetapi, pamannya, Manny Manso, tak yakin kalau keponakannya itu bisa berkembang di Premier League.

“Kami ingin tahu dari sisi edukasinya. Aku ingin dia ada di level A. Masalahnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan ketika ada rata-rata satu pemain dari sistem akademi yang naik ke tim utama setiap tahun, tak ada garansi kalau itu dari grup Anda,” tutur Manny.

Menurut Manny, biasanya klub melihat pemain dalam jangka tiga tahun, atau biasanya lima tahun. Karena itu, peluang untuk naik ke tim utama amatlah kecil.

Kesebelasan semenjana Premier League agaknya tak masalah mereka tak juara. Yang paling terpenting, mereka jangan sampai terdegradasi. Soalnya, uang dari keterlibatan mereka di Premier League amatlah besar, bahkan untuk kesebelasan yang nantinya terdegradasi sekalipun.

Perbedaan ini yang barangkali hadir di Jerman. Salah satunya Augsburg. Manny Danso menganalisis pendekatan sejumlah kesebelasan di Jerman terkait dengan pengembangan pemain muda. Ia pun akhirnya menyarankan ponakannya untuk bermain untuk Augsburg.

Ponakannya sebenarnya tak tahu di mana itu Augsburg. Manny sampai-sampai harus bermain gim FIFA untuk menunjukkan seragam Augsburg. Kevin pun akhirnya memutuskan untuk bermain di Augsburg yang hingga kini terhitung sudah empat tahun.

Pada Maret 2017, di usia 18 tahun 165 hari, Kevin menjadi pemain termuda yang bermain untuk Augsburg di liga. Ia bahkan mencatatkan caps pertamanya untuk timnas Austria ketika menghadapi Wales pada September di tahun yang sama.

Bundesliga Memberi Sudut Pandang Baru

Bundesliga sebenarnya sadar dengan tren kesebelasan Premier League ini. Mentalitas mereka jadi berubah dengan hanya mencari kejayaan dalam waktu singkat. Direktur Olahraga DFB, Joti Chatzialexiou, merasa kalau mestinya ini menjadi keuntungan buat kesebelasan Bundesliga.

Tingginya gaji membuat pemain kelas dunia tertarik bergabung ke Premier League. Di sisi lain, para pemain non-Inggris yang berusia 23-24 tahun sudah mendapatkan pengalaman bertanding lebih banyak di liganya masing-masing. Ini yang bikin pemain asli Inggris justru tersingkir.

“Ini adalah prospek yang menarik buat sejumlah pemain muda untuk meninggalkan Inggris dalam hal mendapatkan pengalaman dengan bermain di liga dengan kualitas yang bagus. Kesebelasan Jerman selalu tertarik pada pemain berbakat yang bisa dikembangkan menjadi aset berharga,” kata Joti.

Apa yang dilakukan kesebelasan Bundesliga merupakan contoh bagaimana profit didatangkan dengan benar. Kesebelasan Premier League mendapatkan pemasukan dari hak siar televisi. Di kemanakan uangnya? Dibelikan pemain yang diimpor dari Bundesliga. Dari mana pemain Bundesliga berasal? Dari Akademi Inggris!

Sumber: BBC.com, Ozy.com.