Attilio Lombardo termasuk salah satu legenda Italia dari era 1990-an. Namanya mungkin memang tak sepopuler Roberto Mancini, rekannya di Sampdoria dan Lazio, atau Gianluca Vialli ketika sama-sama membela Sampdoria dan Juventus, atau Angelo Peruzzi, Ciro Ferrara, Angelo Di Livio, dan Antonio Conte yang bermain bersamanya di Juventus. Tapi, kariernya terbilang cukup sukses di Negeri Pizza.
Bermain sebagai gelandang kanan, Lombardo pernah memenangkan tiga trofi Scudetto Serie A Italia bersama Sampdoria, Juventus dan Lazio. Dia juga menjuarai Liga Champions 1995/1996, serta dua Piala Winners. Namun, dalam kariernya yang mentereng sepanjang 1990-an itu, ternyata terselip pula kisah perjalanannya selama 18 bulan bersama Crystal Palace di Inggris yang sering terlupakan.
Juara Italia dan Eropa
Lombardo memulai karier di Pergocrema setelah dipromosikan ke tim utama di Serie C2 Italia pada 1983, saat masih berusia 17 tahun. Dua tahun kemudian, dia direkrut klub Serie B Cremonese, hingga dikenal sebagai pemain muda berbakat. Saat usia 23 tahun, kesempatan lebih besar akhirnya datang, setelah dia dipinang Sampdoria yang saat itu menjadi salah satu kekuatan besar di Italia dan Eropa.
Di Il Samp, pemain kelahiran 6 Januari 1966 itu bermain bersama Mancini dan Vialli, serta Gianluca Pagliuca, dan Ruud Gullit dari Belanda. Bersama beberapa pemain itulah Lombardo meraih Piala Winners 1989/1990 dan Scudetto 1990/1991, hingga menembus final Liga Champions 1991/1992, serta memenangkan tiga trofi domestik lainnya, sebelum dia menyeberang ke Juventus pada 1995.
Bersama tim Turin, meski lebih jarang bermain karena cedera, tapi dia sempat merasakan kesuksesan besar menjuarai Liga Champions 1995/1996 dan kembali ke final musim berikutnya. Dia juga meraih Scudetto 1996/1997 dan satu trofi domestik lain, serta Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental 1996. Tapi, karena gagal kembali ke performa terbaiknya, Lombardo pun dibuang musim panas 1997.
Bersama Crystal Palace
Dari Juventus, dia terbang ke Inggris untuk gabung ke klub promosi, Crystal Palace. Kedatangannya saat itu turut dipicu investasi besar yang baru saja diterima klub-klub Premier League atas hak siar pertandingan. “Lombardo adalah rekrutan besar musim panas dan 1,6 juta paun adalah sesuatu yang murah, bahkan saat itu,” kata Jim Daly, pembawa acara podcast Crystal Palace, The Five Year Plan.
Padahal, saat tampil di Premier League tiga musim sebelumnya, Palace hanya menghabiskan kurang dari 2 juta paun untuk transfer pemain. Namun, jika dibandingkan dengan rekrutan mereka yang lain di musim 1997/1998 itu, nilai Lombardo memang lebih murah. Meski begitu, pemain internasional Italia itu mampu memberikan performa lebih baik, dengan mencetak gol di laga debutnya saat itu.
Tak perlu menunggu lama, dia pun menjadi bintang di London. Bahkan, sempat kembali dipanggil ke timnas Italia. “Dia terlalu bagus untuk Palace. Pemandangan melihat Lombardo menari melewati tiga bek dan memainkan bola ke ruang yang seharusnya dimasuki Bruce Dyer, tapi terlalu terpesona oleh keterampilan rekan setimnya untuk disadari, tak akan pernah meninggalkan saya,” kenang Daly lagi.
Sayangnya, penampilannya kala itu kembali dibatasi cedera. Sejak itu, The Eagles yang di awal musim sempat bersaing di papan atas, akhirnya terus turun hingga dasar klasemen. Rekannya di Juventus, striker Michele Padavono yang didatangkan pada November 1997 juga tak banyak membantu. Ketika dia kembali dari cedera pada Maret 1998, kondisi tim sudah semakin sulit hingga akhirnya degradasi.
Kembali ke Italia
Dari juara Italia dan Eropa, Lombardo kemudian menjalani periode terburuk ketika harus bermain di divisi dua Inggris. Hanya setahun setelah golnya di semifinal Liga Champions 1996/1997 ke gawang Ajax di Turin, dia tiba-tiba menemukan dirinya mencetak gol melawan tim antah berantah seperti Torquay, Oxford dan Bury, setelah pilihannya untuk bertahan bersama Palace musim 1998/1999 itu.
Klub memang membutuhkan Lombardo ketika itu. “Rasanya lebih seperti ayah temanmu membantu tim kecilmu karena tak ada orang lain yang dapat diganggu daripada sikap gagah orang Italia itu. Saya masih belum yakin secara besar-besaran dia tahu apa yang disetujuinya saat itu,” ucap Daly.
Karena, sejujurnya pilihan Lombardo bertahan saat itu tampak tak lebih dari hutangnya kepada fans London.
Namun, krisis keuangan yang parah hingga menyebabkan pemotongan gaji pemain besar-besaran, pada akhirnya memaksanya untuk pergi juga pada Januari 1999. Dia pindah ke Lazio yang ditangani Sven-Göran Eriksson, dan menariknya mereka meraih Scudetto musim berikutnya. Lombardo juga ikut memenangkan dua trofi domestik lainnya, serta juara Piala Winners dan Piala Super Eropa 1999.
Mengenang perjalanan Lombardo, periode 18 bulan di London itu tampak seperti jalan memutar yang tak dapat dijelaskan dalam kariernya yang dipenuhi trofi. Tapi, itu tak berarti penggemar Palace tidak menikmatinya. Pada 2005, Lombardo terpilih menjadi anggota Palace’s Centenary XI, meski hanya dengan 49 penampilan, menunjukkan betapa tingginya apresiasi fans terhadap The Bald Eagle. Lombardo sendiri pensiun pada 2002 di Sampdoria, dan kini menjadi asisten pelatih timnas Italia.
Sumber: Planetfootball