Perjuangan Aliou Cissé Bangkit dari Kegagalan

Kegagalan adalah satu dimensi tersendiri yang hadir pada diri manusia yang punya fungsi untuk menciptakan dua dampak berbeda. Dampak pertama, kegagalan dapat menciptakan sebuah motivasi bagi manusia untuk bangkit, dan ini merupakan dampak positif. Sedangkan dampak kedua, kegagalan dapat menciptakan rasa frustasi yang mengantarkan manusia pada kejatuhan, dan ini merupakan dampak negatif.

Tampaknya Aliou Cisse paham betul tentang hal positif dari kegagalan. Buktinya, ia lebih memilih untuk berada pada dampak yang pertama. Setelah ia gagal mengeksekusi penalti di final 2002, Cissé akhirnya dapat memiliki kesempatan untuk memimpin negaranya (lagi) menuju kemenangan Piala Afrika pertama di final nanti melawan Aljazair sebagai pelatih Senegal.

Aliou Cissé pun langsung mengatakan sesuatu yang berharga bagi masyarakat Senegal, dan perkataan ini adalah sebuah harapan yang patut sekali diwujudkannya pada final yang dihelat hari Sabtu nanti (20/7).

“Generasi tim nasional Senegal kali ini lebih baik daripada generasi saya di tahun 2002. Saya sudah memotivasi para pemain sejak awal kompetisi ini dimulai dengan mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan lebih baik daripada saya, dan mereka melakukannya,” ungkal Cisse dilansir dari The Guardian.

Sebenarnya harapan itu masih bisa diperdebatkan meskipun, jika Senegal mengalahkan Aljazair di final Piala Afrika nanti, itu akan tetap menjadi hal yang sangat luar biasa. Seandainya Cissé sendiri tidak gagal mengeksekusi penalti yang menentukan 17 tahun yang lalu kala melawan Kamerun di Bamako, maka di pekan ini, ia mungkin akan menghabiskan waktunya untuk berusaha mengulang cerita yang sama daripada menciptakan cerita baru.

Namun, dengan pemain seperti Sadio Mané, Idrissa Gueye dan Ismaila Sarr, di mana mereka adalah “jelmaan baru” dari El Hadji Diouf, Henri Camara, dan Khalilou Fadiga, mungkin akan mebuat Cissé sedikit berinovasi. Ketiga pemain asuhannya itu telah membuat kemajuan besar pada tahun ini. Bahkan mereka bertiga memang sudah layak membawa Senegal ke final Piala Afrika.

Motivasi bangkit dari kegagalan sangat kental sekali di tim nasional Senegal. Mané misalnya, ia merasakan kegagalan menyakitkan ketika kalah dari Kamerun pada 2017, yang akhirnya mengirim Senegal pulang setelah masuk delapan besar. Namun, momen ini justru berhasil dijadikan Mane sebagai motivasi saat berusaha menhentikan Tunisia di semifinal.

Tunisia pun akhirnya tumbang, dan pasca pertandingan semifinal itu, Mane akhirnya bisa berlutut dalam kegembiraan (sementara) bersama rekan senegaranya dan bereuforia atas kemenangan yang mengesankan. Malam itu, menjadi malam yang penuh badai bagi Tunisia berkat gol bunuh diri dari pemainnya, Dylan Bronn, yang membuat papan skor berubah menjadi 1-0 untuk Senegal.

Para jurnalis dari kedua negara (Senegal dan Tunisia) mulai berhamburan ke atas lapangan setelah peluit berakhirnya pertandingan dibunyikan, namun para petugas keamanan kamudian dikerahkan untuk memulihkan ketertiban. Mereka, para jurnalis itu, ingin mengambil keterangan dari para pemain Tunisia yang marah ketika VAR menyangkal klaim penalti mereka menjelang akhir pertandingan.

Sementara itu, Senegal tetap merasa tenang, dan sekarang, mereka harus bersiap menghadapi Aljazair di final. “Ini adalah buah dari persiapan yang lama. Saya sudah memikirkan dan mengharapkan hasil seperti ini jauh sebelum hari ini,” kata Cissé setelah pertandingan semifinal.

Aliou Cisse sendiri telah bertugas sebagai pelatih Senegal sejak 2015, dan telah melewati kekecewaan sejak tahun 2017, di mana sejak saat itu ia gagal melewati delapan besar Piala Afrika dan gagal melewati kualifikasi Piala Dunia. Semua pihak frustasi, dan tidak sedikit yang menyesalinya. Namun sekarang, semua itu berubah menjadi harapan baru, dan ini adalah merupakan motivasi sempurna untuk Senegal guna mengalahkan Aljazair di final nanti.

Di sisi lain, Senegal sebenarnya hanya memiliki populasi sekitar 15 juta orang, akan tetapi menurut angka terbaru dari lembaga observasi CIES, mereka memiliki 203 pemain sepakbola yang bermain di 147 liga berbeda di belahan dunia. Bahkan, menurut lembaga yang sama, Senegal adalah pengekspor pemain sepakbola terbesar ke-16 di dunia. Angka tersebut merupakan rekor fenomenal di tengah minimnya jumlah warga negara dan status negara miskin.

Dikutip dari The Guardian, ternyata terdapat beberapa budaya sepakbola yang sangat kental di setiap penjuru Senegal. Selain itu, terdapat pula beberapa akademi terbaik bernama Diambars dan Generation Foot, yang keduanya merupakan dua akademi yang telah mengembangkan beberapa talenta sepakbola Senegal. Generation Foot misalnya, mereka berhasil menghasilkan Mané dan Sarr.

Maka tak heran mengapa Senegal berhasil melahirkan pemain-pemain terbaik. Mungkin, kali ini mereka bisa membuktikan kualitas para pemainnya itu dengan raihan gelar kontinental pertama mereka, dan jika itu benar terjadi, maka raihan tersebut akan menjadi kemenangan yang sangat berarti. Masyarakat Senegal pun mungkin akan merayakan kemenangan itu dengan tulus dan gembira.

Di satu sisi, meski semisal Senegal kalah di final, Aliou Cissé sempat mengatakan bahwa kemenangan atas Tunisia akan “tetap menjadi sejarah sepakbola Afrika.” Karena, mereka berhasil menundukkan permainan Tunisia yang dinamis dengan sebuah skema permainan yang cepat dan berani. Skema ini mungkin merupakan taruhan terbaik mereka ketika melawan Aljazair nanti. Yang jelas, Senegal akan selalu menemukan jalannya sendiri.

Ya, semoga saja Senegal bisa merealisasikan harapan besarnya itu. Mengutip perkataan Cisse yang belajar banyak dari kegagalan; “Filosofi kami adalah menjadikan kegagalan sebagai permainan, yang sekaligus akan menjadi motivasi kami untuk menghapus kekecewaan tahun 2002.”