Mohamed Salah hanyalah pemuda dari desa kecil yang terletak di antara kota Alexandria dan Kairo di Mesir. Desa tersebut bernama Nagrig dengan jumlah penduduk sekitar 15 ribu orang. Mayoritas penduduknya bertani. Agak sulit membayangkan kalau seorang megabintang sepakbola lahir di desa ini.
Lantas, bagaimana Salah akhirnya bisa tembus ke Eropa?
Kala itu, Salah tengah membela sekolahnya dalam sebuah kompetisi dan bermain di Tanta ketika usianya 14 tahun. Di sana, pemandu bakat dari Arab Contractors FC (El Mokawloon) melihat bakat Salah. Mereka pun mengundang Salah untuk berlatih di Kairo.
Jarak antara Nagrig dengan Kairo mencapai 120 kilometer dengan jarak tempuh sekitar dua setengah jam.
Setiap pagi, Salah selalu berangkat. Tepat pukul tujuh pagi, ia akan berjalan sejauh satu kilometer, lalu mengendarai sepeda ke Basyoun. Ia kemudian naik angkutan lain ke Tanta, untuk kemudian kembali naik angkutan ke Kairo. Dari Kairo, perjalanan belum usai. Ia harus naik bus menuju tempat latihan. Hari-hari panjang dan perjalanan yang melelahkan ini tak membuat semangat Salah merosot. Tak lama kemudian, Salah diundang untuk menetap di Cairo.
Arab Contractors sebenarnya punya tawaran menggiurkan bagi salah yang datang dari dua kesebelasan terbesar di Mesir: Zamalek dan Al-Ahly. Namun, Arab Contractors dikenal sebagai kesebelasan yang percaya pada pemain muda.
Di Kairo, Salah tinggal di asrama. Uniknya, asrama ini dibangun tepat di tribun utama Stadion Osman Ahmed Osman. Tujuannya adalah untuk memotivasi para pemain muda agar bisa bermain di level teratas.
Selama di Kairo, Salah tak banyak tingkah. Ia dijuluki “Hadi” atau “pendiam”. Ia adalah tipe orang yang melakukan pekerjaannya, lalu beristirahat setelah menyantap makanan favoritnya: sup, barbekyu ayam, dan salad hijau.
Yang membuat Salah menonjol adalah kemauannya bekerja keras tapi selalu memberikan jawaban yang sopan ketika ditegur pelatih. Salah satunya pelatih Salah di El Mokawloo, Hamdi Nooh.
“Saat dia datang, dia telalu banyak menggunakan kaki kirinya. Aku bilang padanya, ‘Kamu harus menggunakan kaki kananmu. Dia menjawab, ‘OK, sir!’ Selalu jawaban yang sama, selalu sopan,” kata Nooh.
Keesokan paginya, Salah langsung berlatih dan berlatih. Nooh pun memberi tahu Salah bagaimana mengubah dari pesepakbola amatir ke profesional, dan bagaimana caranya mencapai level tertinggi. Untuk itu, berlatih adalah suatu keharusan karena semakin berlatih, semakin terkenal pula ia, semakin banyak pula uang yang dihasilkan. Namun, yang terpenting adalah menjaga rutinitas meski tak di tempat latihan.
“Aku memanggil ayahnya ketika Salah pulang ke rumah. Aku minta pada ayahnya untuk menjaga jadwal: tak tidur larut malam menonton TV. Tidak bangun telat. Dia tak melakukan itu semua,” kata Nooh.
“Dia tinggal seperti yang seharusnya. Dia akan bersembahyang dan tidur lebih cepat. Saya bukan orang yang ‘membuatnya’ tapi saya tahu dia mendengarkanku. Dia mendengarkan semua orang.”
Setelah berangsur-angsur berperilaku menjadi pemain profesional dan kemampuannya kian tinggi, tawaran dari klub lain datang dengan begitu serius. Salah satunya, Zamalek yang kemudian ditolak Salah pada 2011. Setahun kemudian, tawaran tersebut datang lagi.
Pemilik El Mokawloon, Ibrahim Mahlab, memang satu pikiran dengan Salah. Pria yang menjadi Perdana Menteri Mesir tersebut dianggap tak akan menjual Salah ke sesama tim Mesir. Pasalnya, Mahlab merasa kalau Salah sudah pantas bermain di Eropa. Salah memang sempat merasa gelisah kalau meninggalkan Mesir. Namun, Mahlab terus meyakinkan Salah karena ia tahu Salah bisa melakukannya.
Salah pada akhirnya ditransfer ke FC Basel di Swiss pada 2013. Sejak awal kedatangannya, ia sudah menarik perhatian pemandu bakat Liverpool yang menyaksikannya bermain di semua pertandingan penting, terutama ketika menghadapi Tottenham Hotspur dan Chelsea di Europa League.
Lalu, Chelsea mendatangkannya pada 2014, untuk kemudian pindah ke Fiorentina dan Roma. Kepala Pemandu Bakat Liverpool, Barry Hunter dan Dave Fallows, serta Direktur Sepakbola Liverpool, Michael Edwards bersikeras kalau Liverpool harus bergerak kalau ada peluang untuk mendatangkan Salah.
Keinginan Liverpool mendatangkan Salah juga senada dengan si pemain yang merasa kalau ia merasa punya urusan yang belum selesai di Premier League. Kehadiran Jurgen Klopp di Liverpool juga membuat The Reds langsung menjadikan Salah sebagai target utama.
Hasilnya? Salah main begitu superior di musim pertamanya bersama The Reds. Popularitasnya di Mesir juga meningkat drastis. Apalagi, penaltinya di penghujung petandingan menghadapi Kongo pada Oktober 2017, mengirim Mesir ke Piala Dunia pertama mereka sejak 1990.
Musim ini, Salah tak sesuperior musim lalu. Akan tetapi, melihat senyumnya yang mengembang usai Liverpool menang, seolah tak memperlihatkan hari-hari beratnya semasa berlatih dulu. Senyumnya pula yang memperlihatkan kalau Salah kini tengah menikmati masa-masanya sebagai pesepakbola.