Emiliano Martinez tidak bisa menahan tangisnya saat diwawancarai oleh BBC setelah berhasil membawa Arsenal mengalahkan Chelsea dengan skor 2-1 pada final Piala FA. Meski ada Pierre Aubameyang di sebelahnya, namun Emi tidak bisa mengendalikan emosi yang terlanjur memuncak tersebut.
Air mata yang tidak sekadar bermakna kalau timnya kembali meraih piala. Bagi Martinez, tangis tersebut seperti sebuah bentuk kelegaan dari semua kerja keras yang sudah ia berikan selama karier sepakbolanya yang nyaris berjalan satu dekade tersebut.
Piala itu ia peluk dengan erat sepanjang perjalanan pulang. Setidaknya itu yang tergambar dalam akun Instagram pribadinya. “Come home baby” begitu caption yang ia tulis menandakan rasa puas sekaligus rasa senangnya bisa meraih piala yang jauh lebih bergengsi dari sekadar Community Shield yang sebelumnya pernah ia raih bersama Meriam London. Persetan orang yang menyebut kalau Piala FA hanya piala chiki, bagi Martinez piala ini tetaplah sesuatu yang harus dirayakan.
Sebelum meraih trofi Piala FA yang ke-14, Arsenal sebenarnya sudah tiga kali juara Piala FA saat Emi sudah berstatus sebagai pemain di sana. Kejadiannya pada 2014, 2015, dan 2017. Namun dari tiga final tersebut, dia tidak bermain sama sekali. Baru pada musim 2019/2020 saja Piala yang ia pegang bersatu dengan keringat yang sudah ia keluarkan selama 90 menit. Sebelumnya, Emi hanya menjadi penonton dan sekadar ikut suka cita yang telah dibuat oleh rekan setimnya.
Emi bukannya tidak layak main di final. Hanya, saat itu masih ada yang jauh lebih baik dibanding dirinya. Sembilan musim bermain untuk Arsenal, kariernya selalu berada di balik bayang-bayang penjaga gawang lainnya. Entah itu kiper Polandia yang namanya susah diketik, Lukasz Fabianski, David Ospina, Manuel Almunia, Vitoo Mannone, Petr Cech, hingga terakhir Bern Leno, semuanya menutup kesempatan bagi Emi bisa bermain bersama Arsenal.
Hanya pinjaman yang saat itu bisa menyelamatkan kariernya. Tidak tanggung-tanggung, enam kali Emi coba diberikan kesempatan bermain. Oxford United, Sheffield Wednesday, Roterham United, Wolverhampton Wanderers, Getafe, dan Reading adalah tempat “sekolah” Emi sebelum ia kembali ke London. Tujuannya hanya satu yaitu demi mendapat kesempatan.
“Dalam karier saya, saya pernah mengatakan, ‘Mengapa saya tidak bisa mendapatkan kesempatan di klub yang saya sukai?’ Tetapi Tuhan selalu menempatkan Anda di tempat dan waktu yang tepat. Saya telah bekerja keras selama bertahun-tahun dan sabar. Sekarang, saya mendapat hadiahnya,” katanya kepada Sky Sports.
Setidaknya, ada dua opsi yang bisa dipilih oleh pria asal Argentina ini. Bertahan dengan risiko tidak dimainkan, atau pergi dengan peluang untuk bermain rutin setiap pekan terbuka lebar. Emi akhirnya memilih opsi pertama. Jikalau ia nantinya tetap tidak dimainkan, toh Arsenal juga pasti melepasnya. Namun, ia tetap mempertahankan asa untuk bisa bermain secara rutin dengan selalu bekerja keras.
“Selama lockdown, istri saya berkata ‘kenapa saya terus latihan?’ Saya hanya berpikir kalau kesempatan itu ada. Dan lihat, saya memilikinya,” ujar Martinez.
Kerja keras tidak akan mengkhianati hasil. Kesempatan itu pada akhirnya datang juga kepada Emi ketika Leno mengalami cedera. Segala kerja keras, kesabaran, dan kemauan untuk menunggu membuahkan hasil. Kepercayaan yang kemudian dibayar dengan catatan sembilan kali nirbobol dari 24 pertandingan. Tidak buruk untuk seorang kiper yang sebelumnya tidak pernah dianggap menjadi kiper utama.
Martinez tentu tidak mau mengecewakan siapa pun yang sudah mendukungnya termasuk keluarganya yang sudah ia tinggalkan sejak usia 17 tahun. Masih ingat dalam benaknya sebelum ia terbang jauh ke Inggris. Kala itu, ada momen ketika keluarganya enggan melepaskan Emi untuk meninggalkan mereka. Namun di sisi lain, ia punya kesadaran penuh ingin membantu keluarganya keluar dari jerat kemiskinan.
“Ibu dan saudara lelaki saya, Alejandro, menangis ketika saya pergi ke London dan meminta untuk jangan pergi. Tetapi, saya juga melihat ayah saya, Alberto, menangis pada larut malam karena tidak bisa bayar tagihan. Saat saya masih bermain untuk Independiente, saya hanya bisa melihat keluarga saya sebulan dua kali karena mereka tidak punya uang buat beli bensin untuk berangkat dari rumah di Mar Del Plata. Jadi, ketika Arsenal ingin membeli saya, saya harus berani untuk bilang ‘iya’ karena demi orang tua saya,” ujarnya.
Cedera Leno seolah memberi berkah tersendiri bagi Emi. Beruntung, kesempatan itu tidak pernah ia sia-siakan. Sebaliknya, ia menjadi penjaga gawang yang penampilannya cukup konsisten dalam beberapa pertandingan terakhir yang dimainkan Arsenal. Ini semua berkah dari kesabaran yang sudah dipupuk sejak bertahun-tahun yang lalu.
Entah apa jadinya jika Emi meminta Arsenal untuk melepasnya ke klub lain. Bisa saja dia tidak memiliki momen seperti yang baru saja ia rasakan pada hari Minggu lalu, meski bermain lebih sering dari sebelumnnya.
Emi masih punya kontrak bersama Arsenal hingga 2022. Kontrak yang ia gunakan untuk mempertahankan statusnya sebagai penjaga gawang utama. Keberhasilan mengawal Arsenal pada final Piala FA membuat rasa percaya dirinya lebih meningkat lagi untuk minimal kembali membawa mereka finis pada papan atas musim depan sembari menunggu kelayakan mereka untuk kembali menjadi penantang gelar juara seperti tahun-tahun sebelumnya.
Namun sebelum berpikir ke sana, Emi sudah pasti ingin merayakan terlebih dahulu keberhasilannya membawa Arsenal menjadi juara Piala FA. Trofi yang menjadi hadiah terbaiknya sepanjang kariernya yang penuh dengan ketidak pastian.