Pontus Jansson, Korban Pertama Marcelo Bielsa di Leeds

Foto: Football League World

Usai gegap gempita bergabungnya Helder Costa dari Wolverhampton Wanderers, pendukung Leeds United dikejutkan dengan berita hengkangnya bek favorit mereka, Pontus Jansson, pada awal musim panas ini.

Jansson resmi bergabung dengan kesebelasan ibukota, Brentford dengan nilai yang dirahasiakan. Namun, mengutip dari berbagai media kenamaan Inggris, nilai transfer bek timnas Swedia ditaksir 5,5 juta paun saja.

Pemain yang sudah memperkuat Leeds selama 3 musim tersebut juga mengunggah kata-kata perpisahannya terhadap klub yang ditukangi Marcelo Bielsa tersebut lewat akun instagramnya.

https://www.instagram.com/p/Bzr79QQocib/

Ditengah ancaman pelanggaran Financial Fair Play yang dihadapi Leeds United, menjual pemain sekaliber Pontus Jansson patut dimaklumi sekaligus dipertanyakan. Leeds sebelumnya kedatangan bek muda asal klub Brighton and Hove Albion, Ben White. Usai berita kepindahan Jansson awal Juli ini, barulah publik berspekulasi kalau White-lah yang akan menjadi suksesor Jansson di lini belakang.

Publik tentu bertanya-tanya ada apa di balik penjualan yang cenderung terburu-buru ini, apalagi dengan nilai transfer yang cukup rendah untuk sekelas bek tim nasional senior seperti Jansson.

Bielsa yang hilang kesabaran

“Si Gila” Bielsa dikenal sebagai pelatih yang brilian dan tentunya memiliki standar kedisiplinan tinggi. Saking disiplinnya metode kepelatihan Bielsa, pemain tengah Leeds, Mateusz Klich, menggambarkan Leeds di bawah Bielsa tak ubahnya seperti kamp militer.

“Ia sangat strict, ini seperti berada di (pelatihan) militer. Kami berlatih di gym setiap hari, sebelum latihan, sesudahnya barulah kita turun berlatih ke lapangan. Setiap makan, baik sarapan, makan siang, makan malam, semuanya bersama-sama sebagai tim,” terang pemilik nomor pungung 43 ini.

Di bawah arahan Bielsa, tak ada waktu untuk berleha-leha. Melihat apa yang diungkapkan para pemainnya, salah satunya Klich yang semenjak ditangani Bielsa performanya langsung menonjol.

“Tak ada waktu untuk santai. Ini paling sulit daripada yang pernah saya lalui sebelumnya (bersama tim terdahulu), tapi kita menikmatinya. Semua percaya bahwa dia (Bielsa) akan membuat kita lebih baik lagi, karena itulah semua menurutinya,” tutur gelandang timnas Polandia ini.

Maka tak heran, salah satu perkiraan paling masuk akal mengapa Jansson dilepas ke Brentford adalah karena ia bersikap indisipliner. Dan baru-baru ini, media lokal, LeedsLive, menyingkap alasan sebenarnya di balik penjualan Jansson. Bielsa habis kesabaran saat bek andalannya tak hadir saat hari pertama latihan pra-musim pada 24 Juni lalu.

Pontus Jansson dikabarkan telah mengabari Bielsa tentang alasannya mangkir latihan dan meminta perpanjangan libur, karena dirinya baru saja memperkuat Swedia pada 10 Juni.

Menanggapi hal tersebut, Bielsa mengalah untuk memberikan waktu libur yang lebih lama. Namun, agaknya Bielsa hilang kesabaran melihat kehadiran dua pemainnya yang juga memperkuat timnas masing-masing pada laga kualifikasi Piala Eropa, Egzjan Alisoki (Macedonia)dan Stuart Dallas (Irlandia Utara) bisa hadir tepat waktu sementara Jansson masih belum terlihat batang hidungnya di Thorp Arch.

Marcelo Bielsa dan kontroversi pencoretan pemain senior

Bukan tanpa alasan pubik sepakbola Argentina menjulukinya Madman Bielsa. Selain karena filosofi taktikalnya yang bisa dibilang inovatif, ia juga memiliki idealisme sendiri yang kadang berakhir kontoversial.

Penjualan Jansson yang notabene pemain senior dan tulang punggung tim, tentu menghadirkan pertanyaan besar. Sebenarnya hal ini pernah ia lakukan kala masih melatih Lille, klub sebelumnya yang ditangani Bielsa.

Saat itu pendukung Lille menganggap Bielsa tidak memperlakukan pemain senior dengan layak. Kala itu pemain-pemain senior seperti kiper Lille, Vincent Enyeama, bek Marko Basa, bek sayap dan kapten  Franck Béria, juga Eder dan 7 pemain lainnya semuanya dipecat Bielsa begitu saja selama pra-musim. Padahal mereka bisa digunakan  di musim transisi untuk membimbing dan membantu rekan-rekan muda mereka.  Kesebelasan Lille besutan Bielsa tak ubahnya kumpulan pemain muda berbakat yang kehilangan mentor pemain senior.

Kecemasan suporter Lille kala itu terbukti. Lille berada di zona degradasi, tanpa kemenangan sekalipun dan hanya mencetak 1 gol saja. Seusai pemecatan Bielsa, Direktur Olahraga Lille, Luis Campos mengatakan bahwa didepaknya pemain-pemain senior Lille oleh Bielsa menjadi kunci kegagalan mereka kala itu.

Leeds yang (sebenarnya) lebih baik tanpa Jansson

Kepergian Jansson ke salah satu rival mereka di Championship tentu masih menjadi topik hangat di kalangan penggemar Championship, apalagi bagi pendukung Leeds. Jansson menjadi salah satu pemain yang paling passionate di atas lapangan. Tak lama bagi Jansson untuk menjadi kesayangan dan namanya dinyanyikan ketika The Whites berlaga.

Suporter terbelah menjadi dua: kubu pro-Jansson dan kubu pro-Bielsa. Kubu pertama menengarai kalau sebenarnya alasan Pontus adalah pemain indisipliner adalah isu yang dikarang oleh public relation klub agar memaklumi kepergian Jansson. Sementara kubu lainnya mengangap kalau Jansson tak sebegitu berharganya bagi klub. Bahwa tak ada pemain yang lebih besar daripada klub, apalagi Bielsa.

Benarkah Jansson sebegitu vital bagi tim? Faktanya, Leeds ternyata tampil lebih baik tanpa diperkuat Jansson pada musim lalu (2018/2019).

Menurut data Nestor Watach dari Leeds United Live, dalam 37 laga tampil sebagai starter musim lalu, Jansson mencatatkan 18 kemenangan, 6 kali imbang, dan 13 kali kalah. Itu berarti rataan poin 1,62 per laga, dengan rasio kemenangan 48,64 persen. Dengan Pontus sebagai bek, Leeds mencatatkan 29 persen nirbobol dan rataan 1,21 gol kebobolan per laga.

Bandingkan dengan performa Liam Cooper dkk., ketika tidak diperkuat Jansson sama sekali: Leeds mencatatkan 8 kemenangan, 2 imbang, dan 1 kali kekalahan dari 11 laga. Dengan persentase kemenangan 72 persen, persentase nirbobol 54 persen.

Manajemen Leeds United dan Marcelo Bielsa tentu sudah mempertimbangkan penjualan penting ini secara matang. Tentang bagaimana siasat mereka di musim ini untuk terus memperkuat tim, menghilangkan kelamahan, serta mengakali permasalahan keuangan mereka yang terbatas dikala masih berambisi untuk lolos ke Premier League musim depan.

Jadi, apakah penjualan Jansson adalah keputusan tepat bagi Leeds dan juga Bielsa? Jawabannya klise: hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun satu hal yang pasti, pendukung Leeds harus  pandai-pandai mengatur ekspektasi, karena Bielsa bukan tipikal pelatih yang menganggap trofi sebagai prestasi.