Sekitar enam tahun lalu (2013), Harry Redknapp menulis sebuah kolom di Daily Mail. Membahas tentang Cardiff City dan kondisi mereka di Premier League. Bagaimana terlalu banyak drama mempengaruhi the Bluebirds di dalam ataupun luar lapangan. Meski demikian, Redknapp melihat sebuah titik cerah. Sosok yang tetap bersinar di bawah awan kelabu yang menyelimuti area Lechwith.
“Dari segala kegilaan yang sedang dialami Cardiff, Jordon Mutch terlihat bersinar. Dia adalah gelandang yang rajin mengalirkan bola dan memiliki sikap positif di atas lapangan. Malky Mackay [nakhoda Cardiff saat itu] mungkin dikritik karena mendatangkan Mutch. Tapi ia hanya memakan dana dua juta Pauns, di usia 22 tahun dirinya bisa menjadi sesuatu yang spesial,” kata Redknapp.
Ketika kolom Redknapp diterbitkan, dirinya sudah dikenal sebagai salah satu manajer terbaik di Inggris. Membuat Tottenham menjadi kesebelasan yang kembali diperhitungkan dan menjuarai Piala FA dengan Portsmouth. Dia juga yang mengorbitkan talenta-talenta berkelas seperti Joe Cole, Rio Ferdinand, Frank Lampard, dan Michael Carrick.
Bahkan Redknapp telah mengubah hidup Gareth Bale di White Hart Lane. Dari pemain muda yang gagal menjalankan tugasnya di lini belakang dan sering memberi kesialan pada Tottenham jadi bintang utama the Lilywhites. Mengantarkan klub London Utara itu hingga perempat-final Liga Champions 2010/2011.
Bila Redknapp mengakui potensi Mutch, tidak ada salahnya mulai memantau dan memasang mata pada pemain yang disebut talenta spesial oleh salah satu nakhoda terbaik Inggris. Potensi Mutch sebenarnya juga sudah terlihat sejak lama. Jauh sebelum kolom Redknapp tentang Cardiff muncul.
Potensial Sejak Masih Sekolah
Foto: BCFCFollowers
Bahkan saat dirinya masih bermain untuk akademi Birmingham, Mutch merupakan salah satu anggota Inggris U17. Tampil enam kali di bawah arahan John Peacock, pelatih legendaris yang menangani U17 Inggris selama 12 tahun. Memberikan fondasi bagi banyak pemain dari Aaron Lennon hingga Raheem Sterling. Mutch terus membela tim nasional hingga U21 dan talentanya selalu diakui.
“Mutch jelas pemain dengan potensi tinggi dan punya masa depan cerah. Tapi kita tak bisa meminta terlalu banyak kepada dirinya. Ia masih muda. Saya akan sangat senang untuk terus memantau dirinya. Untuk saat ini, dirinya belum masuk ke pilihan utama, beri dia waktu,” kata Manajer Birmingham City Chris Hughton pada 2011.
Malky Mackay yang mengangkut Mutch dari Birmingham juga melihat hal serupa. “Mutch adalah talenta berkualitas. Dia harus pelan-pelan dijaga dan dirinya juga terus belajar setiap harinya. Saya tahu potensi yang ia miliki. Suatu saat nanti dirinya akan menjadi talenta kelas dunia,” kata Mackay.
Meski Cardiff tidak bicara banyak di Premier League, performa Mutch tetap menarik perhatian. Sampai mendapat pujian dari Harry Redknapp. Ole Gunnar Solskjaer yang menggantikan Mackay awalnya ingin mempertahankan Mutch di Cardiff City Stadium. Tapi Mutch ingin tetap di Premier League. Datanglah Queens Park Rangers (QPR) dan Redknapp menyelamatkan Mutch dari Championship.
Hanya setengah musim di QPR, Redknapp kemudian terpaksa menjual Mutch ke Crystal Palace. Tapi ia tidak lupa melempar pujian lagi ke pemain kelahiran Alvaston tersebut. “Mutch bagus dan potensial. Tapi kami butuh uang untuk membeli pemain lain,” aku Redknapp.
Alan Pardew yang menangani Crystal Palace mengikuti jejak pelatih Mutch lainnya dengan memuji mantan pemain akademi Derby County sebagai pemain potensial. Sesuatu yang sudah nampak sejak dirinya masih duduk di bangku sekolah.
Petualangan Singkat di Korea Selatan
Foto: The-AFC
Total, Mutch menjalani empat musim penuh di Premier League bersama tiga kesebelasan berbeda. Dirinya selalu disebut pemain potensial. Tapi tak pernah benar-benar meledak. Februari 2019, Mutch memutus kontraknya dengan Crystal Palace dan pergi ke Korea Selatan.
“Saya punya banyak opsi. Namun saya mendengar banyak orang mengatakan sepakbola Asia sedang berkembang. Banyak pemain pindah ke Uni Emirat Arab, Saudi, dan Jepang. Saya kemudian berbicara dengan Lee Chung-Yong. Dia alasan utama saya ke Korea Selatan,” kata Mutch.
“Saya tidak mendapat kesempatan menjadi pilihan utama di Crystal Palace. Padahal saya sudah pernah membuktikan kualitas Premier League bersama Cardiff. Itu membuat saya frustasi. Saya butuh waktu bermain yang konsisten dan hal itu bisa terjadi di sini [Korea Selatan],” akunya kepada FourFourTwo.
Setelah tampil 13 kali bersama Gyeongnam FC, Mutch kembali menemukan dirinya tanpa klub. Hanya lima bulan setelah keputusannya pergi meninggalkan Inggris untuk mencoba kompetisi di Asia. Menurut laporan JoongAng Daily, cedera hamstring menjadi masalah utama Mutch selama di Korea Selatan.
Cedera membuatnya gagal mendapat jam terbang yang diinginkan dan sebenarnya hal itu sudah terjadi sejak lama. Bersama QPR dirinya sempat dua kali dipaksa absen karena cedera. Ketika membela Crystal Palace dirinya absen hampir dua bulan, langsung kehilangan tempat. Cardiff merupakan satu-satunya kesebelasan yang ia bela tanpa gangguan cedera. Oleh karena itulah the Bluebirds menjadi titik tertinggi dari kariernya.
Namun masalah ini sudah muncul sejak masih berseragam Birmingham. Mutch cedera saat tampil lawan Derby County di awal musim 2011/2012. Memaksa dirinya absen 138 hari dan harus menggunakan kursi roda untuk bergerak.
Setelah pulih pun, Mutch mengakui dirinya tak sama lagi. “Itu adalah kejadian yang aneh. Saya sekarang masih merasa berbeda setiap kali bergerak,” akunya. Tidak semua pemain terpaksa pensiun dini karena cedera. Tapi bukan berarti cedera itu gagal mematikan karier mereka. Karier Mutch bisa dibilang sudah mati sebelum dimulai.