Namanya mungkin tak sebesar Alessandro Del Piero atau Gianluigi Buffon, dua legenda besar dari Juventus di era 2000-an. Namun, soal cintanya kepada ‘Si Nyonya Tua’, jelas tidak kalah besar dari kedua pemain tersebut. Nama klub itu pun sepertinya sudah mengalir di dalam darahnya, bahkan saat dia belum hadir di dunia.
Dia adalah Claudio Marchisio, lahir di kota Turin, Italia, di mana klub tersebut bermarkas. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu pun tumbuh dalam keluarga Juventini dan pemegang tiket musiman, serta sempat jadi ball boy di Delle Alpi, stadion Juventus masa itu.
Ketertarikannya pada sepakbola kemudian membawa Marchisio kecil bergabung dengan tim anak-anak klub olahraga satelit Fiat, Sisport, hingga dia masuk akademi Juventus pada usia tujuh tahun. Sejak itu, perjalanan karier pria kelahiran 19 Januari 1986 itu bersama klub kebanggaannya pun dimulai hingga berjalan selama 25 tahun.
Sempat ‘disekolahkan’ ke klub kecil Italia, dan juga terdampar di Rusia pada musim 2018/2019 lalu, akhir pekan lalu Marchisio kembali ‘pulang’ ke Turin untuk mengkakhiri petualangan sebagai pesepakbola profesional. Dia telah gantung sepatu!
Kehidupan Marchisio memang tak bisa dilepaskan dari sejarah Juventus. Dia memulai pengabdian di tim akademi selama 12 tahun sebagai trequartista atau penyerang lubang. Namun, Marchisio remaja kemudian diberi peran lebih berat sebagai jenderal lapangan tengah.
Dengan modal visi membaca permainan yang baik, dia terus mengembangkan kemampuan taktikal demi bisa berlaga untuk Juventus, sekaligus tampil bersama pemain idolanya, Del Piero. Allenatore Juventus saat itu, Fabio Capello akhirnya memanggilnya berlatih dan mendaftarkannya di skuat musim 2005/2006.
Saat itu Marchisio yang masih 18 tahun memang belum mendapatkan debut, karena lini tengah La Vecchia Signora sendiri masih dihuni pemain-pemain papan atas sekelas Emerson, Patrick Vieira, hingga Pavel Nedved.
Namun, skandal pengaturan skor Calciopoli 2006 akhirnya mendatangkan keberuntungan baginya, meski Juventus harus menderita karena dihukum degradasi ke Serie B dan dua Scudetto terakhir dicabut. Didier Deschamps yang menangani tim saat itu, mulai memberi kepercayaan kepada Marchisio muda, seiring dengan hengkangnya sejumlah pemain bintang.
Namun, setelah ikut berperan membantu I Bianconeri kembali ke Serie A dengan menjuarai Serie B, Marchisio malah dipinjamkan ke klub kontestan lain, Empoli. Musim berikutnya, pelatih Claudio Ranieri akhirnya memberi kesempatan padanya, hingga perjalanan menjadikannya sebagai salah satu tulang punggung di lini tengah La Fidanzata d’Italia. Dia juga berperan penting selama tujuh musim ketika klub kembali melanjutkan dominasinya sebagai jawara Serie A sejak 2011/2012, dan ketangguhan Juventus meraih scudetto beruntun terus berlanjut hingga delapan kali di musim lalu.
Kerja sama Marchisio dengan Arturo Vidal dan Andrea Pirlo pun sempat dikenal sebagai lini tengah terbaik di Italia dengan julukan ‘Trio MVP’. Perannya seolah tak tergantikan dan dijuluki sebagai Il Principino alias ‘Pangeran Kecil’.
Namun, cedera lutut parah yang dialaminya di musim 2015/2016 mulai menggerogoti performa pemain ‘pemilik’ nomor punggung ‘8’ ini. Perlahan, Marchisio mulai tergantikan, hingga akhirnya dia memilih mengalah dengan mengakhiri kontraknya yang masih tersisa satu tahun pada akhir musim 2018/2019, dan lalu pindah ke Zenit St. Petersburg di Rusia.
Pekan lalu, setelah kontraknya di Rusia tak lagi berlanjut, Marchisio memutuskan ‘pulang’ ke Turin, dan ternyata dia memilih untuk mengakhiri karier di usia yang terbilang belum terlalu tua; masih 33 tahun.
“Saya berjanji pada anak yang bermimpi menjadi pemain sepakbola, ‘saya akan bermain sampai saya merasakan keajaiban melangkah ke lapangan’. Saya tak memenuhi janji saya lagi, itu sebabnya saya lebih suka berhenti. Jadi, terima kasih, mimpimu, kamu memberi saya kekuatan, kesuksesan, dan kegembiraan,” ungkap Marchisio saat itu, seperti yang dikutip dari Football Italia.
Marchisio memilih untuk mengumumkan keputusan pensiunnya di markas Juventus, karena ingin mengawali dan mengakhiri kariernya bersama La Zebre; dengan catatan 389 penampilan, 37 gol dan 43 assist, serta 15 trofi dan dua kali membawa tim masuk ke final Liga Champions. Kegagalan di Liga Champions itu pun sekaligus jadi salah satu dari dua hal yang disesali sepanjang kariernya.
“Penyesalan saya adalah tidak memenangkan trofi Liga Champions bersama Juventus dan Piala Eropa bersama tim nasional Italia,” pungkas pemilik 55 caps dengan lima gol di tim nasional senior dan pemenang Toulon Tournament 2008 bersama tim nasional Italia U-21 itu. Grazie, Il Principino!