David Wagner, Pahlawan yang Menyulap Huddersfield

Media asal Inggris, Independent, menyebut David Wagner adalah ahli sulap. Pendapat yang sepenuhnya benar, jika melihat kondisi Huddersfield Town pada awal musim 2015/2016.

Dengan kondisi tim yang carut-marut, ditambah lagi kondisi keuangan yang sangat tidak baik, Huddersfield sama sekali tidak dijagokan untuk bisa promosi ke Premier League dalam waktu cepat. Di Divisi Championship saja, mereka megap-megap dalam bersaing. Jangankan naik ke Premier League. Tidak terdegradasi ke League One saja sudah untung.

Namun, saat momen sulit itulah, David Wagner hadir. Ia direkrut oleh Dean Hoyle untuk mengangkat performa Huddersfield, minimal di ajang Divisi Championship. Memang, hal itu ia lakukan. Cara yang ditempuh juga unik, seperti mengajak semua awak tim melakukan kegiatan “survival” di Swedia, sampai menerapkan gaya main yang mirip seperti Liverpool-nya Juergen Klopp.

Dengan segala keterbatasan yang ada, Wagner sukses mengangkat derajat Huddersfield jadi lebih baik. Maka, ketika sekarang ia memutuskan hengkang dari Huddersfield, seharusnya ia dilepas layaknya pahlawan. Apakah Huddersfield melakukan hal itu?

***

Musim 2018/2019 berlangsung buruk bagi Huddersfield. Ini merupakan buah dari sulitnya mereka bersaing pada musim sebelumnya, yakni musim 2017/2018, musim perdana mereka di Premier League. Ketika itu, dengan modal seadanya, mereka bertanding dengan gagah berani di ajang Premier League.

Salah satu kenangan yang bisa diingat Huddersfield musim itu ada satu. Itu terjadi saat mereka mampu mengalahkan Manchester United pada pekan lesembilan di Stadion John Smith. Sisanya mungkin adalah kenangan yang tidak begitu baik, dan pada akhirnya berujung pada finisnya Huddersfield di posisi 16, mencatatkan poin 37. Mereka lolos satu strip di atas zona degradasi.

Melanjutkan perjalanan pada musim 2018/2019, Huddersfield sebenarnya tidak lagi melanjutkan budaya mereka yang lama: meminjam pemain. Tercatat, hanya dua pemain yang hadir dengan status pinjaman di skuat, mereka adalah Isaac Mbenza dan Jason Puncheon. Sisanya, pemain-pemain seperti Terence Kongolo, Ramadhan Sobhi, Erik Durm, serta Jonas Loessl adalah pemain yang sukses mereka beli.

Namun, sedari awal musim, Wagner tampaknya sadar bahwa situasi Huddersfield memang sudah tidak beres. Alhasil. mereka sampai saat ini masih terjerembab di dasar klasemen Premier League, dengan raihan poin hanya 11 saja. Dari 22 pekan yang sudah dijalani, mereka hanya meraih dua kemenangan saja. Sisanya hanya lima hasil imbang dan 15 kali kekalahan.

Apakah buruknya penampilan Huddersfield musim 2018/19 ini memang sepenuhnya salah Wagner? Merujuk pada tulisan di laman Independent, nyatanya tidak semuanya salah Wagner. Miguel Delaney, sang penulis artikel, malah menyamakan Wagner dengan Herbert Chapman dan Mick Buxton.

Terkhusus Chapman, ia adalah peraih dua gelar Liga Inggris dan satu trofi Piala FA kala masih menjabat Arsenal. Selain dikenal sebagai pemrakarsa sistem penamaan nomor punggung pemain, Chapman juga mampu menyulap Arsenal jadi sedemikian rupa di tengah keterbatasan. Delaney menilai bahwa Wagner juga demikian.

Di musim 2018/2019, Huddersfield menjadi tim dengan kondisi finansial terburuk di Premier League. Meski mampu belanja, namun rata-rata belanja mereka angkanya tidak mencapai puluhan juta poundsterling. Berbeda dengan tim lain, Huddersfield tidak belanja kelewat mahal. Kondisi ekonomi yang serba sulit membuat mereka demikian. Kondisi ini pun diprediksi sudah terjadi sejak musim lalu.

Terus, apa yang membuat Huddersfield tetap bertahan? Sama seperti ketika ia menyulap Huddersfield lolos ke Premier League, Wagner kembali menyulap Huddersfield untuk tetap bertahan di Premier League pada musim 2017/2018 silam. Dengan pemain seadanya, Wagner mampu menciptakan sebuah permainan apik, terutama di akhir-akhir musim.

Namun, sepandai-pandainya Harry Houdini maupun David Copperfield melakukan sulap, magi tetap harus berhenti ketika memang masanya sudah tiba. Nah, bagi Wagner, maginya di Huddersfield berakhir sampai sini. Sekarang, untuk masa depan, Wagner akan mencoba peruntungan baru, mengembangkan diri dan mencari tim dengan modal besar serta kemauan untuk meraih tujuan yang lebih besar.

Sedangknan Huddersfield, di akhir musim 2018/2019 nanti, dengan sisa 15 laga Premier League, degradasi seolah jadi sebuah kepastian tersendiri.

***

Di mata beberapa pihak, sosok Wagner mungkin adalah pesakitan, apalagi ia pergi ketika Huddersfield masih berjuang. Tapi, ia memang sudah tidak ingin menangani Huddersfield lagi sedari awal musim. Ketika menangani tim tidak sepenuh hati, ya, ini risiko yang diterima. Dean Hoyle tidak menyalahkan Wagner.

Malah, bagi sosok yang kerap dianggap sebagai “doppelganger” dari Klopp ini, Wagner sudah memberikan yang terbaik bagi Huddersfield. Akan ada masa metode “survival”–yang ia sebut sebagai cara untuk menyatukan tim–, akan dikenang para pemain. Akan ada masa juga permainan meledak-ledak a la Wagner akan dikenang di John Smith.

Hasil maginya akan tetap terkenang, karena dengan melibas batas ekonomi, batas kewajaran, dan batas realita, Wagner mampu membawa Huddersfield merasakan kompetisi tergila di dunia. Kompetisi bernama Premier League.

Vielen Dank, Wagner!