Jarang sekali kita melihat sebuah klub melakukan pembelian mahal terhadap pemain yang kualitasnya belum diketahui banyak orang. Apalagi kalau transfer tersebut memecahkan rekor klub. Akan ada beban bagi si pemain terutama ekspektasi dari penggemar yang menginginkan dia untuk selalu tampil bagus setiap pekannya. Inilah yang dirasakan Davinson Sanchez ketika direkrut Tottenham Hotspur.
Sanchez mungkin tidak akan menyangka ketika hanya dalam waktu empat tahun ia menjelma dari remaja yang berasal dari Caloto menjadi pemain termahal sepanjang masa Tottenham Hotspur. Berawal dari stadion Atanasio Girardot, kini ia bermain di Wembley yang merupakan stadion paling legendaris di dunia.
Sanchez mengawali karir sepak bola Eropanya dari panggung Eredivisie bersama Ajax Amsterdam 2016 lalu setelah direkrut dari Atletico Nacional. Karirnya bisa saja meredup apabila ia lebih memilih Barcelona ketimbang Ajax. Pada 2015 lalu surat kabar Catalan mengatakan bahwa terjadi kesepakatan antara Barcelona B dengan Atletico Nacional senilai empat juta Euro untuk mendatangkan Sanchez. Beruntung kontrak tersebut ditolak si pemain yang menginginkan bermain di tim utama.
Bersama Ajax, ia mulai menunjukkan sinarnya ketika di usia yang baru 20 tahun ia dipercaya oleh Peter Bosz mengawal lini belakang Die Godenzonen sebanyak 43 laga. Ia juga melengkapi catatan apiknya dengan mencetak enam gol.
Nama Sanchez melesat ketika ia turun 12 kali dalam kampanye Ajax di Liga Europa musim lalu. Meski harus takluk dari Manchester United namun ia beberapa kali mampu menunjukkan permainan bertahan yang sangat apik. Salah satunya adalah ketika ia berhasil menghalau upaya Jesse Lingard meski ia sempat tertinggal jauh ketika melakukan sprint. Ia bahkan keluar sebagai pemain terbaik Ajax musim lalu.
Atas apiknya penampilan Sanchez tersebut manajemen Tottenham dengan berani mengeluarkan uang 42 juta pounds untuk pemain yang belum berpengalaman main di level tertinggi. Mereka seolah tidak berkaca pada pengalaman ketika Spurs tidak bisa mengeluarkan kemampuan Vincent Janssen yang sama-sama datang dari kompetisi negeri Kincir Angin tersebut.
Ada ancaman tersendiri ketika Spurs menjadikan Sanchez sebagai rekrutan termahal mereka. Sebelum kedatangannya, tiga pembelian tertinggi Spurs adalah Erik Lamela, Moussa Sissoko, dan Roberto Soldado. Menariknya ketiga pemain tersebut bukanlah andalan bagi juara Piala FA 1991 tersebut. Nama terakhir bahkan sudah terbuang sejak 2015 lalu. Jelas hal ini akan menimbulkan tekanan bagi Sanchez mengingat ia datang di usia yang masih sangat muda.
Akan tetapi ancaman tersebut tidak terlihat di musim ini. Perlahan-lahan Sanchez mulai menunjukkan diri sebagai andalan Mauricio Pochettino di lini belakang mereka. Bersama Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld, ia bahu mebahu dalam skema tiga bek milik Pochettino. Kehadirannya memudahkan Eric Dier untuk menguasai lini tengah bersama Victor Wanyama.
“Saya sangat senang kepadanya. Dia bermain sangat-sangat baik. Dia baru berusia 21 tahun tapi dia sudah terlihat matang. Dalam beberapa bulan, dia menunjukkan penampilan yang fantastis bagi klub ini,” ujar Pochettino memuji anak asuhnya tersebut.
Salah satu kemampuan Sanchez adalah ia mampu memenangi duel satu lawan satu dengan sangat baik. Dalam laga melawan Arsenal pekan lalu, ia bahkan membuat Alexis Sanchez sedikit kerepotan ketika berduel melawannya. Meski hasil akhir tidak berpihak kepada mereka, namun Sanchez disebut-sebut menjadi pemain terbaik Spurs dalam laga tersebut.
“Anda melihat ketika melawan Dortmund berapa kali dia memenangi duel satu lawan satu melawan Aubameyang. Atau ketika melawan Tammy Abraham (Swansea) atau Real Madrid dengan Cristiano Ronaldo. Berapa banyak bek tengah mampu berduel satu lawan satu dan meloloskan diri sebaik dia? Berapa banyak pemain yang bisa menekan sambil berpikir ‘Jika kamu lari, saya ikut lari’ karena dia begitu percaya diri ketika berlari? Tidak banyak bek tengah yang bisa melakukan ini,” ujar Pochettino menambahkan.
Selain duel satu lawan satu, salah satu keunggulan lain dari Sanchez di musim ini adalah kemampuannya dalam menguasai bola dan mengirimkan umpan. Dia adalah cerminan dari seorang ball playing defender dimana ia dituntut untuk mendistribusikan bola ke lini tengah sebaik mungkin. Akurasi umpannya di musim ini pun mencapai 90% atau terbanyak kedua di bawah mousa Dembele.
Secara tidak langsung gaya permainannya tersebut mengingatkan para penggemar sepak bola terhadap sosok bek legendaris Franco Baresi. Bek Italia tersebut juga dikenal sebagai pemain yang kuat dalam bertahan serta pandai mendistribusikan bola sekaligus. Sanchez sendiri mengaku bahwa pemain yang terkenal dengan nomor enamnya tersebut merupakan pemain idolanya.
Sejauh ini, Sanchez sudah turun sebanyak sembilan kali di Premier League. Catatan bertahannya pun cukup baik dimana ia mencatat rata-rata 5 sapuan, 1,2 tekel, dan satu cegatan setiap pertandingannya. Memang catatan tersebut terbilang kecil namun merunut apa kata Pochettino, Sanchez masih berusia mudah dan kemampuannya masih bisa berkembang lagi kedepannya. Bukan tidak mungkin apabila di masa yang akan datang ia bisa menjelma seperti idolanya, Franco Baresi.