Diterjemahkan dari tulisan Matt Gault di The Guardian.
Setelah menyukseskan kariernya bersama Juventus dan Italia, Antonio Conte akhirnya menjadi manajer asal Italia keempat yang berhasil memenangkan Premier League dalam delapan musim terakhir. Ia adalah manajer yang sudah belajar dari para pria terbaik menurutnya, lantas siapa sajakah mereka?
Beberapa pemain memiliki hak istimewa untuk bekerja di bawah taktik dan permainan berbakat selama karier mereka, begitu pula dengan seorang pelatih yang mengambil ilmu dari para seniornya. Itulah Antonio Conte, yang sangat berpengaruh dan terpengaruh saat bermain di Juventus. Eks gelandang box-to-box yang gigih itu menghabiskan waktu untuk belajar selama karirenya, dan kerja ‘magang’ dengan jenis pendidikan tinggi yang diharapkannya menjadi bekal untuk memulai karier kepelatihan.
Conte belajar dari kuartet pemikiran manajerial Italia yang terhormat: Giovanni Trapattoni, Marcello Lippi, Arrigo Sacchi, dan Carlo Ancelotti. Ia sangat mengagumi gurunya, dan kekagumannya tidak diragukan lagi menjadi sebuah hal yang saling menguntungkan. Di mata Conte, manajernya selalu memiliki sosok kepemimpinan yang terlahir, sebuah suara berpengaruh di ruang ganti dan tentunya menjadi inspirasi. Conte mewarisi gelandang yang sangat baik yang menjadi pusat permainan Juventus selama lebih dari satu dekade, sementara Conte sendiri menerima panduan tersebut dalam akhir karirnya.
Manajer Chelsea itu selalu percaya bahwa akan menjadi baik dengan atau melawan tim dari ideologi panutannya tersebut telah berhasil membuat kepelatihannya berjalan dengan baik. Conte sendiri sebelumnya menandatangani kontrak untuk bermain di Juventus pada 1991, di mana saat itu Milan naik ke puncak sepakbola Italia. Itu adalah periode yang kaya dan memesona dalam sejarah sepakbola Italia. Milan telah memenangkan Piala Eropa secara back-to-back di bawah taktik revolusioner Sacchi, dan negara tersebut memiliki harapan tinggi untuk amunisi di timnas Azzurri.
Juventus terus bertahan lama dengan permainannya. Juve dipuji oleh Michel Platini di bawah kepemimpinan Trapattoni yang pertama dan menyebut jika mereka telah menjadi klub legenda di Italia. Namun, Conte tidak memenangkan medali perak domestik di Juventus di bawah Trapattoni, tapi ini adalah saat yang penting dalam perkembangannya. Sesampainya di Lecce, yang relatif diterima dengan rendah hati, gelandang yang kala itu berusia 21 tahun merasa terpesona dengan latihan bersama Stefano Tacconi, Totò Schillaci, dan Roberto Baggio, yang sekaligus menjadi pemain yang ia idolakan.
Conte merasa terbebani oleh tantangan untuk membuktikan dirinya layak atau tidak. “Ada Trapattoni yang hebat. Ada Roberto Baggio. Saya sangat emosional. Saya adalah penggemar pemain seperti mereka,” pengakuan Conte saat itu.
Ia telah menjadi komponen fundamental sistem Lecce di bawah Eugenio Fascetti dan kemudian Carlo Mazzone, dan langkahnya semakin maju. Di Lecce, Conte mendapat pelajaran penting dalam kehidupan dan sepak bola dari Lillino Caus dan Carlo Mugo, sepasang pelatih muda terkemuka yang mengajari orang-orang berusia di bawah 15 tahun bagaimana menjadi pemain profesional dan pria terhormat.
Antonio Conte sebenarnya berada di lingkup keluarga yang ketat, bersama orang tuanya yang memastikan bahwa Antonio dan kedua saudara laki-lakinya, Gianluca dan Daniele, tetap fokus pada tugas sekolah terlebih dahulu sebelum bermain sepakbola. Ayah Conte adalah seorang pelatih dan tokoh berpengaruh di Lecce, dan ia menyampaikan hikmat itu kepada putranya. Conte selalu menjadi pendengar yang baik dan unggul di sekolah. Begitu pekerjaan rumahnya selesai, ia akan bermain sepakbola di jalan, di luar rumahnya, dan para pastor akan mengizinkannya menendang bola di halaman gereja.
Bekerja dan fokus menjadi dua aspek mendasar dalam kehidupan Conte yang sangat ditanamkan dalam dirinya sejak usia dini. Di rumah, di sekolah dan saat bermain untuk Lecce, Conte memiliki teladan di sekelilingnya. Jadi, saat Conte tiba di Juventus, ia diintimidasi oleh kepribadian yang menyapanya di ruang ganti. Setiap pesepakbola muda membutuhkan panduan dan, untuk Conte, bantuan itu datang dari Trapattoni. Conte berasal dari Italia selatan, dan ia kala itu pergi ke lingkungan asing di Turin yang terletak di utara.
Rasanya dingin, dan lebih dingin dibandingkan dengan pantai yang direndam matahari di Lecce. “Pada awalnya saya berpikir, mengapa saya melakukan ini, saya menghasilkan lebih banyak kenyamanan, tapi saya jauh dari rumah, dari teman-teman, dari laut. Saya hanya bertahan karena saya tidak ingin kembali sebagai pecundang. Ketika saya tiba, ada kabut, dingin dan pada saat teman-teman di rumah berada di pantai. Sangat sulit untuk menyesuaikan diri dengan itu,” ujar Conte menjelaskan situasi saat sedang beradaptasi di Turin.
Beradaptasi dengan Juventus terbukti sulit, dan penampilan pertamanya bersama tim kaus hitam bergaris terkenal itu membuat segalanya menjadi lebih buruk. Trapattoni sangat memperhatikan Conte dalam latihan. Ia masih mentah, tapi layak disuling, jadi manajer memberi start pertamanya dalam pertandingan persahabatan melawan Bayern Munich. Itu adalah usaha cerdik yang pada akhirnya diputuskan ketika Conte salah menilai umpan baliknya kepada Tacconi, yang memungkinkan Bayern meraih kemenangan dalam situasi terberat bagi Conte.
Namun hampir tidak ada yang bisa bersembunyi di Juventus. Penulis media utama melupakan usia pemain saat tim kalah. Gelandang muda itu sudah berjuang untuk berakulturasi, namun rasa ketidakcukupannya semakin dalam menyusul kesalahan itu. Trapattoni melihat Conte yang cemberut keesokan harinya. “Saya berjalan keesokan harinya dan rasanya seperti dipukuli,” kenang Conte.
“Tiba-tiba, Trapattoni muncul entah dari mana dan sepertinya dia bisa membaca pikiranku. Dia berkata, ‘Anda masih belum memikirkan kesalahan kemarin, bukan? Oh ayolah! Pikirkan masa depan, Anda akan berada di sini selama bertahun-tahun, semuanya baik-baik saja ‘. Jika Trapattoni tidak berada di sana, saya tidak tahu apakah saya masih tinggal di Juventus atau tidak.”
Episode singkat itu menjadii penting pada tahun-tahun formatif Conte. Trapattoni menawarkan simpati, tapi itu membuat Conte sadar bahwa masa lalu tidak bisa ditulis ulang. Pada akhirnya, Trapattoni dan Conte tidak membawa Juventus kembali ke puncak Serie A, namun karakter Trapattoni telah membuat orang Italia itu bangkit dan terus maju.