Endoh Tsubasa dari Tokyo untuk Fukushima

Foto: SBI Soccer

 

Maret 2011, tepatnya tanggal 11, gempa bumi dengan kekuatan sembilan sampai 9,1 skala ritcher mengguncang daerah Tohoku, Jepang. Menurut laporan yang dibuat kepolisian pada 2015, gempa tersebut memakan 15.000 korban jiwa dan 2.500 lainnya dinyatakan hilang.

Gempa tersebut bukan satu-satunya bencana yang dialami Jepang pada hari itu. Selepas gempa berdurasi enam menit berakhir, salah satu area sumber tenaga nuklir di Fukushima mengalami gangguan. Gangguan itu memancing tsunami dan meratakan daerah tersebut.

Ketika Tohoku berguncang, talenta-talenta muda dari akademi asosiasi sepakbola Jepang (JFA) tengah melakukan tes fisik di Fukushima. Mereka memang hidup di kompleks JFA yang ada pada daerah tersebut. Gempa bumi bukanlah hal baru di sana.

Ketika merasakan bumi bergetar, para pemain muda itu langsung berkumpul di tengah lapangan. Ada rasa takut yang menghantui mereka. Namun latihan fisik yang melelahkan memenuhi kepala mereka.

“Kami berkumpul di tengah lapangan sebelum meninggalkannya ke bis. Memasuki bis ada rasa takut, namun perasaan kami juga merasakan semangat, entah kenapa,” kata Endoh Tsubasa, salah satu pemain dari akademi JFA cabang Fukushima.

“Kami membicarakan latihan fisik yang melelahkan. Bertanya-tanya apakah hal yang sama akan dilakukan lagi minggu depan. Bagi kami saat itu semuanya menyenangkan dan lucu. Tik ada yang menyangka hal itu memakan korban seperti sekarang. Radiasi nuklir memberi efek kemana-mana dan tidak terlihat,” lanjutnya.

Tsubasa sudah meninggalkan keluarganya sejak berusia 12 tahun untuk memulai kariernya sebagai pesepakbola. Ia tahu apa yang harus dan akan ia lakukan. Gempa dan tsunami tak menghalanginya untuk melakukan hal itu.

Sekitar satu tahun setelah bencana memakan korban, Tsubasa melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat. Lewat program JFA, Tsubasa dikirim ke Universitas Maryland. Ia tetap melanjutkan kariernya sebagai pesepakbola dan membela kesebelasan Maryland Terrapin di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa.

Membela Terrapin selama tiga tahun, Tsubasa akhirnya direkrut Toronto FC pada 2015. Jadi pilihan pertama Toronto di Major League Soccer (MLS) SuperDraft, Tsubasa digadang akan menjadi talenta besar di Amerika Serikat.

“Selama pra-musim, Tsubasa memperlihatkan sikap profesional. Dirinya menyatu dengan baik dengan tim dan memberikan kontribusi,” kata General Manajer Toronto saat itu, Tim Bezbatchenko.

“Bagi saya, Tsubasa merupakan pemain terbaik yang ada dalam SuperDraft. Ia memiliki pengetahuan yang luar biasa tentang sepakbola, peka dengan keadaan sekitarnya saat di lapangan, dan memiliki teknik bagus. Kami sudah mengincar dirinya,” kata Pelatih Toronto sekaligus mantan pemain tim nasional Amerika Serikat, Greg Vanney.

Foto: Chat Sport

Jalan Berbatu Menuju Toronto

Ekspektasi besar menunggu Tsubasa di Toronto FC. Tsubasa sendiri tak menyangka dirinya dinilai begitu besar oleh kesebelasan MLS. “Saya tidak percaya dipilih pada ronde pertama. Ronde dua atau tiga, mungkin normal. Saya senang dengan hal ini, namun terpilih di ronde pertama SuperDraft membuat gugup,” katanya.

Meski gugup, Tsubasa tetap ingin membuat dampak dan membuktikan kualitasnya di MLS. “Toronto FC adalah satu-satunya kesebelasan yang menjelaskan bagaimana mereka akan menggunakan saya di tim. Itu menarik. Tidak ada kesebelasan lain yang melakukannya,” kata Tsubasa. “Saat ini mungkin sulit untuk masuk ke tim utama, namun saya akan terus berusaha untuk jadi lebih baik,” lanjutnya.

Vanney memastikan Tsubasa akan bermain bersama Michael Bradley dan kawan-kawan. Namun, ia juga mengakui bahwa ada beberapa hal yang perlu dipelajari terlebih dulu oleh Tsubasa.

“Kami tidak memilihnya setinggi ini [No.9 dalam keseluruhan SuperDraft 2016] untuk menaruhnya di Toronto II. Tapi, dia harus beradaptasi,” kata Vanney.

“Sepakbola yang dimainkan pada masa-masa kuliah memiliki tempo cepat dan terkadang berantakan. Itu bukan gaya yang sesuai untuk dirinya. Bersama Toronto dia harus main dengan kemampuan dan gaya terbaiknya, memiliki bentuk yang jelas serta terorganisir,” jelasnya.

Beberapa bulan pertama di Toronto FC, Tsubasa terlihat sesuai ekspektasi. Terlibat dalam penciptaan gol, bermain selama 90 menit penuh, ia bahkan mendapat penghargaan ‘Rookie of the Month’ dari SBI Soccer.

Namun performanya perlahan-lahan menurun. Memasuki Agustus 2016, Tsubasa lebih sering duduk di bangku cadangan. Saat dipercaya untuk masuk, pertandingan pun sudah tinggal menyisakan 15-20 menit.

“Saya berbicara dengan Tsubasa tentang apa yang harus ia lakukan agar bisa berkembang. Kami sempat mengubah sistem permainan agar menyesuaikan dirinya. Namun kini Toronto kembali ke sistem semula dan Tsubasa harus berlatih keras agar bisa masuk ke dalamnya,” kata Vanney pada Oktober 2016.

Musim 2016 MLS berakhir, Vanney pun meminjamkan Tsubasa untuk Toronto II. Tsubasa turun kelas setelah bermain selama 1.387 dari total 3.060 menit yang tersedia.

Foto: Sportnet

Menunggu Tsubasa Berikutnya

Karier Endoh Tsubasa di Toronto FC mungkin tidak seterang yang diharapkan. Namun dia mungkin satu-satunya alumni akademi JFA Fukushima yang berhasil menembus tim utama di liga ternama.

Angkatan Tsubasa, kelas 2011 merupakan generasi pertama dari JFA Fukushima. Berbagai pemain dikirim ke berbagai penjuru dunia untuk melanjutkan pendidikan dan karier mereka sebagai pesepakbola. Bukan hanya Amerika, tapi juga sampai ke Cologne, Jerman. Namun, hanya Tsubasa yang namanya dikenal sebagai jebolan JFA Fukushima 2011.

Satu nama yang mengangkat kepekaan dunia terhadap pengelolaan talenta-talenta Jepang rasanya sudah cukup bagi JFA. Pasalnya, setelah Tsubasa menjalani musim pertamanya di MLS, JFA memutuskan untuk ikut membantu pembangunan di Fukushima.

Fukushima sudah menjadi pusat pengembangan JFA sebelum Tsubasa bermain di Toronto. Namun baru setelah nama Tsubasa dikenal di Amerika Serikat mereka turun tangan. “Kami rasa ini waktu yang tepat untuk kembali membuat dorongan besar,” ungkap eksekutif JFA, Ueda Eiji. Padahal saat itu, bencana gempa dan tsunami sudah belalu selama enam tahun.

Ikut membantu pembangunan kota, JFA membuat J-Village, sebuah pusat pengembangan terpusat untuk talenta-talenta lokal. Sama seperti saat Tsubasa masih berstatus murid JFA. Namun kali ini, mereka akan fokus untuk mengirim pemain ke tim nasional dan membela Jepang di Olimpiade 2020.

Kesempatan Kedua

Tsubasa menghabiskan dua tahun di Toronto II. Menjadi pilihan utama Michael Rabasca di sana, Tsubasa beberapa kali kembali dipanggil Vanney untuk membela Toronto FC. Total, ia mencatat 11 gol dan tiga asis dari 28 pertandingannya dalam dua musim. Jauh lebih baik dari raihannya pada musim pertama di Toronto FC.

Penampilan ini pun membuatnya kembali dipanggil ke MLS pada 2019. “Tsubasa sudah berjuang dan layak mendapatkan kontrak bersama tim utama,” ungkap General Manajer Toronto FC Ali Curtis.

Dipanggil bersama Jordan Hamilton, pemain tim nasional Kanada yang lebih dulu turun kelas dari Toronto FC pada 2015, Tsubasa disebut sudah memperlihatkan perkembangan dalam permainannya. “Baik Tsubasa dan Hamilton terlihat memiliki perkembangan dan kini mereka siap untuk membela tim utama di MLS,” jelas Curtis.

Memiliki posisi yang sama dengan Sebastian Giovinco, MLS 2019 jadi ajang pembuktian sesungguhnya bagi Tsubasa. Selama ini dirinya diposisikan sebagai sayap kanan atau kiri, diminta untuk bermain sepeti David Beckham.

Tapi tanpa Giovinco di BMO Field, Tsubasa berpeluang untuk tampil sesuai gaya permainan terbaiknya. Menusuk dan merusak pertahanan lawan dengan giringan yang tajam sembari mencoba tendangan jarak jauh jika peluang datang.

Sejak awal Vanney ingin Tsubasa bermain dengan gayanya dalam sistem 4-4-2 permata Toronto FC. Jika diberi kesempatan yang cukup, bukan tidak mungkin harapan Vanney itu akan menjadi realita di 2019.