Piala Dunia 2019 resmi dibuka di Parc des Princes, Paris, dengan mempertemukan tuan rumah Prancis dengan Korea Selatan. Prancis merumput sebagai unggulan. Bukan hanya pada laga pembuka tapi sebagai calon juara.
Belum genap 10 menit pertandingan berjalan, Eugenie Le Sommer berhasil mencetak gol pertama dalam turnamen. Memaksimalkan umpan tarik dari kapten Les Bleues, Amadine Henry. Itu adalah gol ke-empat Le Sommer di ajang Piala Dunia setelah tiga kali membobol gawang lawan di edisi sebelumnya.
Pemain kelahiran 18 Mei 1989 itu memang sudah diakui sebagai salah satu penyerang terbaik Prancis sejak masih muda. Berhasil mencetak empat gol di Piala Dunia U-20 2008, dirinya diberikan penghargaan Bronze Ball oleh FIFA. Hanya kalah dari Alex Morgan (Silver) dan Sydney Leroux (Golden).
Membela Olympique Lyon sejak 2010, Le Sommer mungkin adalah pemain yang paling ditakuti oleh pertahanan klub lain. Entah itu di Prancis ataupun Eropa. Namanya bahkan sudah tercatat sebagai topskorer D1 sejak masih bermain untuk Stade Briochin. Mencetak 19 gol sepanjang musim 2009/2010, Le Sommer mengalahkan Eva Lotta Schelin, Katia da Silva, dan Lara Dickenmann yang menjuarai liga saat itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, nama Le Sommer mulai tertutup oleh Ada Hegerberg di Lyon. Apalagi setelah Hegerberg memenangkan Ballon d’Or pada 2018. Tapi hal itu tidak bisa terjadi di Prancis. Sekalipun Les Bleues memiliki Kadidiatou Diani dan Viviane Asseyi, Le Sommer tetap menjadi tumpuan utama di lini depan.
Dengan berbagai piala dan penghargaan yang ia miliki, Le Sommer sudah menjadi nama besar di sepakbola. Padahal, ia hampir tidak menjadi pesepakbola karena ketakutan Sang Ibu.
Pengalaman Buruk Sang Ibu
Foto: OL.fr
“Awalnya cukup rumit. Walaupun ibu saya adalah pesepakbola. Dia cukup takut ketika saya mengatakan ingin ikut menjadi pesepakbola profesional,” ungkap Le Sommer. “Ibu bahkan berusaha membuat saya lupa dengan sepakbola. Dirinya berusaha mengganti obsesi saya dari sepakbola ke judo. Saya suka judo, tapi tetap saja tidak bisa melupakan sepakbola,” lanjutnya.
Sang Ibu, Claudine, punya alasan tersendiri mengapa ia ragu mendukung anaknya menjadi pesepakbola. “Saya tidak pernah mendapatkan kesempatan bermain sepakbola di sekolah. Hal ini hanya bisa terjadi saat saya dihukum,” akunya.
Membela berbagai kesebelasan seperti AS Cannes, Lorient, dan Paris Saint-Germain (PSG), Claudine bermain saat kompetisi masih amatir. “Masa-masa itu membuka kembali memori kelam. Saya tidak mendapatkan kompensasi, bantuan finansial ataupun sponsor. Kami tak memiliki pemasukan dan tidak disaksikan banyak orang,” kata Claudine.
“Saya beberapa kali mengatakan ke dia [Eugenie], saat kita masih kecil sepakbola memang menghibur. Tapi tidak ada apapun yang bisa diberikan olahraga itu kepada kita,” aku Sang Ibu.
Le Sommer tahu dan paham akan hal ini. “Saya selalu meminta untuk masuk ke akademi. Tapi ibu melarang karena sepakbola saat itu memiliki pandangan negatif,” kata Le Sommer.
Keras Kepala Le Sommer
Sikap Le Sommer yang tak pernah menyerah untuk bermain sepakbola akhirnya membuat Claudine luluh. Sebagai ibu yang main di sepakbola hingga usia 47 tahun dan pengalaman seperti itu, wajar Claudine ragu ketika Eugenie Le Sommer ingin menjadi pesepakbola. Tapi Le Sommer adalah satu-satunya dari tujuh anak Claudine yang ingin bermain sepakbola.
“Tidak ada yang memiliki niatan sebesar dia soal sepakbola. Sejak kecil, mereka semua selalu berlatih, menggiring bola, melepaskan tembakan. Tapi Eugenie adalah sosok yang paling menikmati hal itu. Saat itulah saya sadar bahwa dirinya memiliki niat yang lebih besar dibandingkan anak-anak lain”.
“Saya sendiri selalu ingin bermain. Saya berhenti bukan karena usia. Tapi karena sepakbola sudah jadi terlalu cepat. Hamstring saya robek dan itu adalah tanda untuk berhenti,” kata Claudine.
Piala Dunia Terakhir (?)
Bergabung dengan Lyon membuat Le Sommer merasakan apa yang tidak pernah didapat oleh ibunya. Ia didukung menjadi pesepakbola dengan fasilitas latihan, stadion, dan uang sebagai bukti bahwa dirinya adalah seorang profesional. Lyon merupakan kesebelasan yang paling peka tentang hal ini di Prancis. Itu adalah kunci kesuksesan mereka.
Dijuluki ‘serial buteuse’ atau mesin gol, Le Sommer kini mengincar gelar Piala Dunia di turnamen ketiganya. Ia tahu usianya sudah tidak muda lagi dan harus mulai siap-siap untuk pensiun. “Saya harus menunggu sampai gantung sepatu untuk mulai berpikir soal keluarga. Mungkin saat usia saya sudah 36 atau 37,” kata Le Sommer.
Bedasarkan ucapannya tersebut, 2019 mungkin akan menjadi ajang Piala Dunia terakhir dia. Mengangkat gelar juara dunia di Stade de Lyon adalah akhir yang sempurna baginya. Tapi, juara atau tidak, yang jelas Le Sommer sudah bisa berbangga. Kariernya berhasil membuat Sang Ibu berhenti khawatir. Ia bahkan menjadi inspirasi bagi anak-anak muda.