Filosofi Daniel Farke bersama Norwich City

“Kesederhanaan adalah kejahatan,” ungkapan klasik dari komedian asal Norfolk, Stephen Fry. Sebuah ungkapan yang menjelaskan bagaimana Daniel Farke bisa menyulap Norwich City, dari kesebelasan papan tengah Championship Division dua musim lalu, menjadi tim kejutan Premier League musim ini.

Daniel Farke adalah manajer pertama Norwich yang bukan dari Britania Raya. Kedatangannya pada awal musim 2017/2018 penuh dengan kontroversi. Manajemen mendatangkan Farke yang saat itu sedang bernegosiasi dengan Dortmund yang berniat mempepanjang kontraknya sebagai pelatih tim cadangan. Farke nyaris memperpanjang kontraknya sebelum Norwich datang dan memberikan tantangan sebagai Manajer tim.

Kedatangan Farke saat itu tidak lepas dari Norwich yang merekrut Stuart Webber, Sporting Director yang membawa Huddersfield Town unjuk gigi di Premier League dua musim sebelumnya. Filosofi Webber sangat jelas. ”Saya ingin merekrut orang yang paham dan punya filosofi permainan, terbuka di bursa transfer dan mempromosikan pemain muda,” ujar Webber di Training Ground Guru.

Webber memiliki kedekatan dengan Dortmund, itulah yang membuatnya saat itu merekrut David Wagner menjadi Manajer Huddersfield Town, dimana Wagner adalah pelatih tim U-23 Dortmund. Kedekatan itulah yang membawa Webber menunjuk Farke sebagai Manajer Norwich.

Kedatangannya ke Norfolk tidak mudah, gelombang pemain Jerman yang dibawa oleh Farke sempat mendapatkan penolakan. Farke membawa Christoph Zimmermann, Marcel Franke, hingga Marco Stiepermann. Tidak mendongkrak permainan Norwich dan hanya membuat The Cannaries finish di posisi ke-14.

Semusim setelahnya, Norwich mendatangkan beberapa pemain yang diprediksi akan gagal membawa Norwich berbicara jauh di Championship. Pun Norwich harus kehilangan James Maddison yang bergabung ke Leicester.

Farke tidak peduli. Di bursa transfer ia menerapkan apa yang menjadi filosofinya dan Webber, mencari pemain muda dengan rasa lapar untuk terus berkembang dan sesuai kebutuhan taktikal. Moritz Leitner didatangkan dari Augsburg, Akin Famewo dari klub antah berantah bernama Baeccles Town, Emi Buendia dari Getafe, hingga wonderkid Finlandia yang pernah dianggap flop di Bundesliga, Teemu Pukki.

“Saya tidak ingin tim saya hanya kompak dan reaktif, saya suka tim yang mengambil inisiatif. Tim harus menguasai bola, seimbang dalam menyerang dan bertahan, menguasai bola selama 90 menit. Penguasaan bola adalah segalanya,” ujar Farke di Independent pada 2017.

Apatisme menggelora dan menganggap Norwich hanya akan bertahan dan sulit masuk keempat besar. Daniel Farke menjawab apatisme tersebut, Norwich dibawanya berbicara jauh di Championship Division, mereka mengalahkan Leeds yang sangat diunggulkan sebagai juara hingga Aston Villa yang sangat berambisi kembali ke Premier League.

Di Championship Divison, Norwich akan menggunakan pakem 4-2-3-1. 4 pemain belakang akan diisi oleh Zimmermann, Ben Godfrey, Mac Aarons dan Jamal Lewis. Dua pivot di lini tengah akan dihuni Kenny McClean dan Tom Trybull, dengan Emi Buendia, Stiepermann dan Onal Henandez di belakang striker tunggal Teemu Pukki.

Menekan lawan menjadi tugas dari Onal Hernandez dan Emi Buendia untuk mendampingi Teemu Pukki, formasi akan berubah menjadi 4-3-3 dengan Stiepermann akan bermain kedalam melapis dua pivot dalam mengantisipasi serangan balik.

Norwich benar-benar menekan dengan cukup tinggi. Pertandingan menghadapi Swansea adalah contoh bagaimana Farke berani menekan hingga kotak penalti lawan saat kehilangan penguasaan. Dan ketika bertahan, transisi cepat menjadi kunci dengan mengubah formasi menjadi 4-4-2, Emi Buendia yang memiliki kemampuan bertahan dan menciptakan kekacauan kala lawan mendapatkan bola.

Nama yang juga menjadi buah bibir saat ini, Teemu Pukki juga memiliki peran yang cukup krusial, ia adalah pemain pertama yang akan menghentikan transisi lawan ketika kehilangan bola dengan menjadi defensive striker, namun juga menjadi pemain yang pertama membagi bola kala tim melakukan transisi menyerang. Pukki juga tidak segan bermain melebar dan menciptakan ruang bagi para gelandang untuk masuk ke dalam.

Yang menarik adalah peran Tim Krul, mantan pemain Newcastle United ini didatangkan bukan tanpa sebab, olah bolanya cukup apik meskipun berposisi sebagai penjaga gawang, ketika serangan buntu, maka Zimmermann ataupun atau Emi Buendia akan membagi bola dengan penjaga gawang asal Belanda ini. Tugas Krul adalah memancing lawan melakukan pressing dan meninggalkan penjagaan kepada pemain Norwich.

Norwich City tidak berhenti menghadirkan kejutan, di laga pembuka menghadapi Liverpool, mereka tidak segan bermain terbuka dan menyerang, The Cannaries kalah 5-1, tapi Daniel Farke mendapatkan sanjungan atas keberanian dan pilihan taktiknya yang tetap bermain terbuka meladeni Liverpool.

Di laga kedua, sorotan datang bagi Pukki, mencatatkan hattrick kala menghadapi Newcastle United, secara permainan, Norwich juga dominan atas tim tamu. 64 persen bola dikuasai dengan mencatatkan 604 kali umpan plus akurasi mencapai 87 persen.

Menghadapi Chelsea, hanya kualitas pemain yang memebedakan hasil, Norwich memberikan perlawanan sebelum tumbang 2-3 dari The Blues. Namun filosofi Daniel Farke jelas, ia ingin membangun tim dengan penguasaan bola dan mengambil inisiatif bukan hanya reaktif seperti permainan pragmatis.

Namun, tidak perlu berharap banyak kepada Norwich dan Daniel Farke untuk memberikan kejutan lebih jauh. Norwich masih menjadi favorit degradasi Bersama dengan Sheffield United dan Birghton. Tetapi apapun yang terjadi dengan Norwich di akhir musim, keberanian Daniel Farke dengan bermain terbuka dan menyerang adalah aplikasi dari filosofi permainan yang dibawanya sejak  hari pertama menjadi Manajer.