FK Qarabag, Kisah Klub dari Medan Perang Azerbaijan ke Champions League

Pada 1993 silam, kesebelasan bernama FK Qarabag, dari kota Aghdam ini menjadi juara liga sepakbola tertinggi di Azerbaijan. Namun tidak laiknya klub-klub yang menjadi juara, klub yang berada di Azerbaijan bagian barat ini tak punya perayaan kemenangan.

Lantaran, 10 hari berselang kota Aghdam jatuh ke tangan militer Armenia setelah lima tahun dibombardir lewat udara, sehingga sebagian besar populasi kota tersebut minggat ke daerah timur. Setelah memenangkan liga, para pemain Qarabag langsung pulang ke rumah masing-masing untuk mencari anggota keluarga mereka.

Singkat cerita, 24 tahun berselang Qarabag untuk pertama kalinya menjadi klub sepakbola dari Azerbaijan yang melangkah ke kompetisi Eropa. Di mana ia akan menghadapi laga pertamanya di kompetisi tersebut menghadapi klub raksasa asal Inggris, Chelsea.

Meski sudah lebih dari dua dekade semenjak kejadian okupansi militer Armenia tersebut, kota Aghdam tetap menjadi “kota hantu”. Laga lawan Chelsea pun akan digelar bukan di kota tersebut, melainkan di stadion ibukota Azerbaijan, Azersun Arena.

Kepala bagian komunikasi Qarabag, Nurlan Ibrahimov, menjelaskan bahwa klub Qarabag telah menjadi bagian terpenting dalam hidup masyarakat Azerbaijan.

“Tanah kami direbut, dengan kesuksesan yang diraih Qarabag kami dapat menarik perhatian dunia mengenai masalah di sini,” tutur Ibrahimov.

Konflik Azerbaijan-Armenia

Konflik yang dimaksud oleh Ibrahimov terjadi pada 1988 hingga 1994 antara Azerbaijan dengan Armenia. Korban akibat konflik tersebut sudah merenggut lebih dari 25 ribu jiwa, dengan jutaan orang harus berpindah tempat tinggal.

Kedua negara tersebut saling bertengkar untuk merebutkan sebuah wilayah bernama Nagorno-Karabakh, yang sejatinya banyak dihuni oleh keturunan Armenia. Namun lokasi yang memiliki kontur perbukitan tersebut ada di tangan Azerbaijan. Konflik terus berlanjut meski Rusia sudah menjadi penengah untuk gencatan senjata.

Kini lokasi tempat klub Qarabag berasal menjadi basis militer Azerbaijan untuk menyerang kota Nagorno-Karabakh dan tentara Armenian di Stepanakert, sekitar 6 mil ke arah timur. Selain itu Aghdam kini dijaga oleh penembak jitu dan tidak ada yang pernah menempati kota tersebut lebih dari seperempat abad, begitu juga dengan stadion Qarabag, Imarat Stadium yang sudah tak tersisa.

Eks penyerang Qarabag, Mushfig Huseynov, yang masih berusia 18 tahun ketika perang tersebut datang, tidak percaya bahwa konflik tersebut bisa terjadi.

“Kami tidak pernah percaya bahwa perang itu akan bertahan. Seketika, semua aspek kehidupan menjadi terganggu. Seperti berangkat ke latihan atau pulang dari latihan. Begitu juga dengan latihan itu sendiri dan juga pertandingan. Proyektil-proyektil berjatuhan sepanjang waktu,” kenang Huseynov yang kini berusia 47 tahun tersebut.

Pada periode tersebut pertandingan sepakbola ternyata menjadi penyegaran atau pelarian dari kelam dan kejamnya dampak perang bagi masyrakat. Hal ini disampaikan oleh salah satu pelatih Qarabag saat ini, Gurban Gurbanov bahwa masyarakat meminta Qarabag untuk memberikan permainan terbaik yang dimiliki.

“Pada periode tersebut orang-orang meminta kami untuk bermain lebih baik dari biasanya dan bermain secara atraktif. Kami punya sekitar 15 ribu orang di stadion saat itu, padahal kapasitasnya hanya 10 ribu. Jadi ketika perang, pertandingan Qarabag tak ubahnya menjadi sebuah pertunjukan,” cerita Gurbanov.

Adu Politik Armenia

Semakin intens krisis yang terjadi, kesebelasan tersebut menjadi sebuah simbol harapan bagi masyarakat untuk bertahan hidup. Inilah yang dirasakan oleh kapten Qarabag pada periode tersebut, Shahid Kasanov.

“Sebelum satu pertandingan di tahun 1992, kami (para pemain) harus membawa tanah untuk menambal lubang karena bom di lapangan pertandingan. Saat itu kami tahu bahwa kami sedang dalam perang, pesawat-pesawat tempur hampir tiap hari di atas kepala kami. Namun kami tidak takut untuk mati.”

“Aghdam adalah rumah kami dan sudah menjadi tugas kami untuk bermain di sana, untuk masyarakat lokal, dan mereka yang berjuang untuk kami,” tutur Kasanov.

Hingga akhirnya masyarakat Aghdam harus benar-benar meninggalkan rumah mereka pada 1993. Setelah jatuh ke tangan Armenia, militer tidak memperbolehkan orang-orang Aghdam untuk kembali ke rumah mereka.

Namun di balik kesedihan tersebut, tersimpan sebuah keuntungan tersendiri. Di mana juara lima kali liga Azerbaijan tersebut mendapat dukungan dari negara untuk bangkit. Memang terkesan politis, lantaran kebangkitan Qarabag yang akan bangkrut diharapkan bisa mendongkrak kampanye untuk mengembalikan wilayah Nagorno-Karabakh ke tangan Azerbaijan.

Qarabag mendapat suntikan dana dari badan usaha milik negara Azerbaijan, bernama Intersun pada tahun 2001. Perintah ini dikeluarkan sendiri oleh eks Presiden Azerbaijan, Heydar Aliyev.

Di sisi Armenia, kebangkitan Qarabag dinilai sebagai upaya pemutarbalikkan sejarah. Argumen masyarakat Armenia adalah, Qarabag FC tak lebih dari sebuah klub boneka pemerintah Azerbaijan. Inilah yang disampaikan oleh Arsen Zaqaryan, seorang juru bicara grup pendukung loyal sepakbola Armenia, First Armenian Front.

“Orang-orang mendengar bahwa Qarabag bermain di Azerbaikan, maka mereka akan tidak akan berpikir bahwa Karabakh adalah Armenia. Jadi itu memang proyek yang politis,” kata Zaqaryan.

Sumber: Telegraph.co.uk