Gianfranco Zola, Pemain Terbaik Chelsea Sepanjang Masa (1)

Di tengah-tengah kedatangan Damien Duff, Juan Sebastián Verón, Adrian Mutu, Hernán Crespo, dan Claude Makélélé, di musim panas 2003, sebuah kedatangan yang paling didambakan oleh Roman Abramovich justru adalah pemain yang telah berusia tiga puluh lima tahun, berambut pirang dan berasal Italia, Gianfranco Zola.

Abramovich sering dituduh tidak memahami budaya dan sejarah Chelsea. Seperti yang sudah terlihat dalam upayanya secara langsung dalam mengganti Steve Clarke dengan Avram Grant pada 2007 dan pemecatan Ray Wilkins pada 2010. Namun, pemilik klub asal Rusia itu sangat tahu persis dengan popularitas dan kejeniusan pemain terbaik Chelsea sepanjang masa, Gianfranco Zola.

Faktanya, Zola sendiri telah menyetujui kesepakatan untuk bergabung dengan klub asalnya, Cagliari, sebelum Abramovich datang guna mengambil alih nahkoda klub dengan sejumlah uang yang dimilikinya. Zola pun dikabarkan menolak tawaran kenaikan gaji dari Abrahamovich, dan lebih memilih untuk membantu Cagliari promosi kembali ke Serie A.

Lahirnya sang Maradona Kecil dari Italia

Gianfranco Zola memulai kariernya dengan bergelut di kompetisi Serie C1 dan Serie C2. Pada usianya yang ke-18 tahun, ia menandatangani kontrak profesional pertamanya dengan klub yang bernama Nuorese di tahun 1984. Zola menghabiskan dua tahun di Nuorese, mencetak 10 gol dalam 31 penampilan liga, sebelum menaikkan level permainannya kala bergabung dengan klub tertua di Sardinia, Sassari Torres.

Zola tetap sabar dan terus membantu Torres menyabet promosi ke Serie C1. Ia kemudian mencetak 21 gol dalam 88 pertandingan untuk Torres. Meskipun Serie C1 adalah tingkat urutan ketiga di sepakbola Italia, Serie C1 sebenarnya kompetisi level tertinggi yang pernah dimainkan Zola. Namun, karena status liga tersebut kelasnya jauh di bawah Serie A, kompetisi Serie C1 tetap dianggap rendah.

Meskipun begitu, beberapa pengamat bakat dari Ibukota tetap mendatangi kompetisi Serie C1 dan sempat menonton Zola. Sebuah kesempatan menlonjakkan karir dirinya menjadi besar terjadi pada 1989, di mana ketika itu Luciano Moggi, manajer Napoli, berminat untuk membina Zola dan menggambarkannya sebagai, “Maradona Kecil.”

Bergabung dengan Napoli pada 1989, Zola menjadi pemain pengganti untuk Diego Maradona. Tidak ada keraguan bahwa pada 1989, Maradona merupakan masih menjadi salah satu pemain sepakbola terbesar di dunia, dan pendahulunya itu terbukti sangat berharga bagi Zola. Orang Argentina itupun identik karena mengenakan jersey nomor “10” ke manapun ia pergi.

Tapi, satu momen tercatat jika Maradona memberikan Zola kesempatan mendapatkan nomor sepuluh kebanggaannya, dan mengatakan kepadanya bahwa suatu hari nanti Zola akan memakainya secara permanen.

Di tempat latihan, Maradona juga penting bagi Zola, karena ia pernah berkomentar bahwa ia “mempelajari segala hal dari Diego.” Contoh nyata dari hal itu adalah, tendangan bebas melengkung yang terus dilakukan Zola. Ia menghabiskan berjam-jam waktunya setelah latihan hanya untuk melatih tendangan bebas.

Pada musim 1989/1990, Zola berhasil memulai laga bersamaan dengan Maradona. Zola lalu menemukan peluang yang  lebih terbuka kala ia menjadi striker kedua Napoli dan menjadi yang tak terbantahkan. Hal tersebut diikuti kemenangan Napoli atas Juventus pada piala Supercoppa Italia.

Namun, setelah empat musim saja berseragam Napoli, dan dengan ditambahnya investasi Parma di bawah kepemimpinan Calisto Tanzi, Zola akhirnya meninggalkan Napoli untuk klub berjuluk i Ducali itu pada musim panas 1993.

Di bawah asuhan Nevio Scala, Parm promosi ke Serie A pada 1990. Namun, Tanzi tidak puas dengan hanya bertahan dalam liga, dan lebih ingin mendorong ambisi pada sektor skuatnya di setiap musim panas.

Pada musim 1993/1994 misalnya, Parma merekrut daya serangan terkuat di liga dengan membeli Zola, Faustino Asprilla dan Tomas Brolin. Zola, dengan jelas menikmati peran utama di klub barunya tersebut, dan ia pun berhasil mencatatkan hal terbaik dengan koleksi 18 golnya dalam 33 penampilan di liga.

Pada musim 1993/1994, Parma memenangkan Piala Super Eropa dan finis diurutan kelima klasemen Serie A. Setelah membeli Fernando Couto, Dino Baggio, Stefano Fiore dan Marco Branca di musim panas 1994, sang pelatih, Scala, menyampaikan kesuksesan besar Tanzi sebagai pemilik klub.

Pada musim 1994/1995, Parma berhasil finis urutan ketiga klasemen di liga dan itu merupakan posisi tertinggi yang pernah mereka dapatkan. Mereka juga memenangkan Piala UEFA untuk pertama kalinya, dan berhasil mencapai final Coppa Italia. Zola pun, menyamai catatan dirinya dengan musim 1993/1994 yang produktif, dengan koleksi 19 gol dalam 32 pertandingan liga.

Menyusul keberhasilan musim 1994/1995, Parma melanjutkan dorongan ambisius mereka di musim panas 1995, dengan merekrut sejumlah pemain ternama seperti Fabio Cannavaro, Hristo Stoichkov dan Flippio Inzaghi, serta kiper tangguh Gianluigi Buffon yang kala itu masih berusia 17 tahun. Tapi, Parma malah mendapati musim yang datar dan membosankan setelah finis di urutan keenam klasemen Serie A dan juga keluar dari Piala UEFA pada babak perempat final.

Meskipun begitu, Zola tetap produktif sebagai pencetak gol terbanyak Parma dengan torehan 12 golnya dalam 32 pertandingan di semua kompetisi. Namun, musim mengecewakan Parma tersebut membuat rombakan kursi kepelatihan setelah Scala digantikan oleh Carlo Ancelotti. Dan hal tersebut telah terbukti menjadi titik balik dalam karir Zola.

Sebelum kembali ke pra-musim di bawah asuhan Ancelotti, Zola adalah salah satu pemain dari skuat Italia untuk Euro 1996 . Setelah pulih dari patah hati saat mengirimnya ke Piala Dunia 1994, di mana Zola pingsan saat berlutut dikartu merah. Pemain Italia itu lalu menjadi starter yang tak terbantahkan bersama Italia dalam babak kualifikasi.

Zola mencetak dua gol internasional pertamanya dalam kemenangan 4 -1 atas Estonia pada 25 Maret 1996. Namun, Zola mendapati dirinya berada dalam sebuah turnamen yang membuatnya frustrasi, saat kehilangan penalti kala melawan Jerman dan gagal mencetak gol dalam tiga pertandingannya. Hal tersebut akhirnya menjadi turnamen terakhir Zola berseragam timnas Italia.

Meskipun Ancelotti masih sangat dipengaruhi oleh Sacchi yang telah melegenda sebagai manajer di Serie A, Zola yang kemudian kembali ke pra-musim setelah melakoni berbagai pertandingan bersama Italia, merasa jika dirinya berada dalam ketidakpastian di bawah sang  pelatih baru Parma tersebut.