Idealisme Rayo Vallecano

Tidak sulit menerka, ketika para penggemar sepakbola mendengar kata “Madrid”, hampir semua akan terbayang kedigdayaan Real Madrid di Spanyol dan Eropa. Atau mungkin performa Atletico Madrid yang naik daun di bawah asuhan Diego Semione. Dan sebagian kecil akan mengingat Getafe sebagai perwakilan Kota Madrid, namun Rayo Vallecano jelas tidak ada di pikiran Anda ketika mendengar kata Madrid.

Rayo Vallecano memang klub kecil d ibagian selatan Madrid, tepatnya di Vallecas. Vallecas terkenal sebagai area kumuh di Madrid, identitas daerah kumuh dan kelas pekerja melekat sangat kuat di Rayo Vallecano. Bahkan bisa dibilang Rayo merupakan klub yang mengusung identitas kelas pekerja dan sosialis di Madrid, tentu ini sangat berbeda dengan klub-klub tetangga mereka seperti Real Madrid, Atletico Madrid ataupun Getafe.

Mengenal Warga Mengenal Rayo

Didirikan pada tahun 1924, Rayo Vallecano bukanlah klub kaya atau memiliki sejarah cemerlang di La Liga. Rayo merupakan klub kecil. Yang membuatnya istimewa adalah bentuk dukungan yang hadir ditambah idealisme yang menyatu secara apik di klub ini. Sebuah paham sosialis sangat kuat di sini. Tidak hanya bagi suporter, namun juga seluruh pemain Rayo.

Setiap pemain Rayo yang akan didatangkan pihak klub, harus mendapatkan persetujuan suporter tanpa terkecuali. Sebagai contoh, Roman Zozulya yang didatangkan klub secara pinjaman dari Real Betis. Penolakan langsung muncul. Pasalnya Roman Zozulya diyakini berpaham kanan yang kontradiktif dengan paham suporter Rayo. Zozulya sempat memberikan keterangan resmi hingga melampirkan pernyataan dari Militer Ukraina dan Rusia. Namun Zozulya tetap mendapatkan penolakan. Pada akhirnya Zozulya gagal memperkuat Rayo.

“Kami melihat 11 pemain bermain untuk Rayo, mereka adalah 11 orang yang diadopsi oleh warga Vallecas, mereka harus memahami nilai yang diajarkan disini,” ujar Carlos Sanchez Blas, wartawan Marca yang menjadi fans dari Rayo.

Apabila Real Madrid, Atletico Madrid dan Getafe sangat kental dengan nasionalisme mereka, tidak begitu dengan Rayo. Mereka lebih mengusung semangat kedaerahan Vallecas.

Felipe Minambres, Direktur Olahraga Rayo Vallecano, menjelaskan bagaimana klub dan warga sekitar bekerja, “Para pemain sangat dekat dengan warga, tanpa terkecuali. Bahkan hampir semua pemain baru, akan diajak berkeliling kota untuk lebih mengenal daerah kami dan merasakan dukungan yang sama besarnya dari kami.”

“Keuntungan memiliki pemain yang mengenal daerah kami tentu saja mereka akan paham pentingnya Rayo bagi kami dan berusaha mengejar kemenangan. Itu lebih baik dibandingkan klub mendatangkan pemain besar tanpa mengenal Vallecas. Hal yang vital bagi kami yang bermain ataupun bagi para suporter,” ujar Kapten Rayo Vallecano sejak musim 2013 hingga pensiun musim lalu, Roberto Trashorras.

Bukti dekatnya Rayo Vallecano dengan warga Vallecas bisa ditelusuri pada 2015. Kala itu, warga bernama Carmen Martinez-Ayudo, kehilangan rumahnya akibat disita. Penyebabnya sang anak menjaminkan sertifikat rumah untuk pinjaman tanpa memberi tahu Carmen. Perempuan berusia 85 tahun ini kehilangan segala hak atas propertinya.

Setelah mendengar kabar ini, pihak klub lewat para pemain dan staf langsung turun tangan untuk membantu Carmen. Suporter pun memberikan banyak bantuan. Tagar #Carmensequeda pun memadati media sosial.

Ada pula kisah Paco Jemez yang pernah bermain untuk Rayo selama semusim. Ia menjadi relawan di dapur kota Vallecas. Dapur sosial ini memberi makan bagi mereka yang fakir miskin untuk bisa terus bertahan hidup.

Seluruh pemain Rayo pun setidaknya pernah merasakan bekerja sosial dan membantu mereka yang kurang beruntung. Cerita lain hadir dari Antonio Amaya pada musim 2014/2015. Tangannya hampir terpotong ketika hendak memotong sandwich di dapur sosial.

Membuat jarak dengan suporter merupakan hal tabu bagi Rayo. Juande Ramos menjadi korbannya. Ketika menjabat sebagai Manajer Rayo musim 2000/2001, Juande Ramos memiliki ide untuk mengurangi kursi stadion yang sudah buluk di belakang bench pemain agar lebih nyaman bagi tim. Warga Vallecas berang. Mereka membuat spanduk bertuliskan Valentia Coraje Nobleza yang artinya “Miskin tapi Bangga”. Juande Ramos pun merasa tidak nyaman dan kemudian mengundurkan diri.

Rayo Vallecano Anti Diskriminasi

Rayo Vallecano memang lekat dengan identitas politik sosialis yang kental. Mereka tidak segan mewujudkan kampanye-kampanye sosial di kostum kebesaran mereka. Seperti jersey ketiga mereka musim 2015/2016 di mana kostum hitam mereka dilengkapi aksen garis secara diagonal dengan warna pelangi, sebagai simbol dukungan terhadap LGBT.

Selain itu mereka juga menyematkan pita merah di sablon mereka sebagai wujud dukungan terhadap penderita HIV/AIDS. Banyak kampanye-kampanye sosial lain seperti sambutan hangat bagi para pengungsi yang masuk ke Spanyol, atau bantuan-bantuan ketika terjadi bencana di manapun.

“Ketika anda memutuskan menandatangani kontrak dengan Rayo Vallecano, anda tidak hanya menandatangani kontrak secara professional namun juga kontrak secara sosial dengan Kota Vallecas, jangan berharap apabila anda memiliki sifat rasis dan diskriminatif bisa bermain bagi Rayo,” ujar Sid Lowe, jurnalis The Guardian.

Solidaritas antar suporter dan sinergi luar biasa dengan klub membuat Rayo memiliki dasar kuat untuk berkompetisi sekaligus mengajarkan nilai-nilai yang dianut oleh warga Vallecas. Rayo Vallecano adalah Vallecas begitupun sebaliknya. Tidak peduli siapapun yang dihadapi Rayo tidak akan gentar. Seperti yang mereka tunjukkan ketika pada musim 2015/2016 mereka bertandang ke markas Real Madrid.

Memang di atas kertas Rayo akan kalah. Namun Real Madrid yang merupakan representasi dari diktator jendral Franco di masa lampau jelas merupakan musuh terbesar bagi Rayo yang sosialis. Rayo Vallecano seperti berapi-api. Pertandingan berlangsung keras. Meskipun kalah segalanya dari Real Madrid, Rayo tidak sedikitpun bermain bertahan. Pertandingan berakhir dengan kemenangan Real Madrid 10-2 atas Rayo dan diwarnai dua kartu merah bagi pemain Rayo. Meskipun kalah warga Vallecas sangat bangga dengan Rayo Vallecano karena menunjukkan keberanian dan tidak gentar melawan Real Madrid.

Jika Anda tertarik menjadi suporter hipsters, dan sudah menganggap bahwa St. Pauli sudah terlalu mainstream, cobalah menjadi fans Rayo Vallecano. Dengan idealisme yang mengakar kuat tentu saja akan sangat menarik mendukung klub yang spesial dari selatan Madrid ini. Namun ada sebuah ironi bagi Rayo sendiri. Stripe merah yang ada di jersey mereka adalah replikasi dari apa yang dimiliki oleh River Plate di Argentina, tentu sangat ironis mengingat River Plate dianggap klub kaum borjuis yang sangat jauh dari nilai-nilai sosialis.