Vinnie Jones, Paolo Di Cano, Big ‘Dunc’ Ferguson, Roy Keane, Eric Cantona. Premier League memiliki deretan pemain nakal di era 90-an. Daily Mail bahkan pernah menerbitkan daftar 50 pemain dengan label ‘bad boys’ di divisi tertinggi sepakbola Inggris. Mayoritas dari 10 besar daftar tersebut pun diisi oleh pemain-pemain era 90-an di atas.
Memasuki akhir abad ke-19, mungkin memang masa-masanya di mana profesional banyak ulah merasakan masa kejayaan mereka. Bukan hanya sepakbola. Tom Cruise diidolai dunia. New World Order dan D-Generation X menjadi jualan utama dunia gulat profesional. Travis Barker menjadi anggota paling populer Blink 182. The Real Slim Shady please stand up?
Puncak! Sialnya, ketika sudah di puncak, satu-satunya jalan adalah turun. Popularitas dari para profesional yang menjadikan ‘gaya brandalan’ sebagai ciri khas mereka juga kelamaan turun. Jika mereka berhasil relevan, pasti ada yang diubah.
Dunia sepakbola juga sama, setidaknya memasuki pertengahan abad pertama di millenium kedua, Roy Keane dan kawan-kawan sudah mulai gantung sepatu. Hanya satu pemain yang menjaga citra ‘bad boys’ tetap relevan di Inggris: Joseph Anthony Barton.
Mulai dari selebrasi pamer pantat dalam hingga kerusuhan di partai akhir Premier League 2011/2012, Joey Barton selalu dikenal nakal di lapangan. Meski demikian, sama seperti para pendahulunya, ada karisma yang menyelimuti Barton.
“Saat melihat Barton di tim cadangan Manchester City, saya pikir dirinya tak akan bisa jadi pemain profesional. Kelasnya hanya sekedar liga semi-profesional,” tutur mantan manajer Manchester City, Stuart Pearce.
“Namun dia punya kegigihan yang luar biasa terhadap sepakbola. Ada sikap seperti ingin menjadi yang terbaik di lapangan, terlihat arogan, tapi itulah Barton,” lanjutnya.
“Sikap tersebut kemudian menjadi kunci keberhasilannya. Saya ingat saat ia baru kembali dari tim nasional, Barton pernah mengatakan betapa buruknya Frank Lampard dan Steven Gerrard,” kata Pearce.
“Kalian boleh menulis apapun dan menipu para pembaca. Jelas, dia merebut bola secara bersih. Nasri tidak senang dengan keberhasilan Barton dan buat dirinya seperti korban,” kata Kevin Keegan setelah Barton diusir wasit karena dianggap melakukan pelanggaran tanpa bola ke gelandang Arsenal pada pekan ketiga Premier League 2008/2009.
Pelanggaran itu terjadi hanya beberapa pekan setelah Joey Barton dilepas dari penjara. Sebelum musim 2008/2009 digelar, Barton menetap di penjara selama 77 hari karena aksi kekerasan. Sebuah narasi yang pas untuk menambah aroma pelanggarannya kepada Nasri.
Padahal, Barton tidak terlalu buruk sebagai pemain. Gigih, memiliki umpan-umpan akurat, bisa menjadi pemimpin, Barton memilki semuanya untuk dikenal sebagai gelandang hebat. Kecuali taat aturan. Dia seperti Dennis Rodman di dunia bola basket. Sebagian mengetahui kualitasnya, tapi semua mendengar kenakalannya.
Ditunjuk sebagai manajer Fleetwood Town pada musim panas 2018, reaksi bernada negatif pun masih diterima oleh Barton. “Ini tidak akan bertahan lama,” tulis @RedWhite_Gooner membalas pengumuman Fleetwood.
Hukuman dari Zeus
Foto: Twitter - Blackpool Gazette
Sumber masalah di atas lapangan diminta mengurus pemain-pemain lain? Lucu memang. Barton sendiri melihat pekerjaannya saat ini sebagai hukuman dari Zeus. “Menjadi manajer, saya seperti Sissyphus,” kata Barton.
“Sissyphus dihukum Zeus selama hidupnya untuk mendorong batu ke puncak gunung. Setiap hampir mencapai puncak, batu itu menggelinding lagi ke bawah. Karier sebagai manajer seperti itu. Saat kita kira semua sempurna, ada saja yang salah,” jelas Barton.
Label negatif tetap menghantuinya. Jika kalian mencari berita tentang Joey Barton dan Fleetwood Town dalam bahasa Indonesia, artikel paling banyak adalah bagaimana the Fisherman menjadi salah satu kesebelasan paling kotor di Inggris.
Sekalipun permainan ‘kotor’ Barton membuat Fleetwood menjadi kesebelasan keempat di League One yang paling sering mendapatkan clean sheet (14) hingga pekan ke-38. Hanya kalah dari Blackpool (16), Luton Town (18), Barnsley (19).
“Manajer selalu meminta kami memprioritaskan clean sheet. Sayangnya, dalam beberapa laga terakhir kami kebobolan lewat eksekusi bola mati. Saat ini saya rasa kami duduk di peringkat empat terbaik liga dalam urusan clean sheet. Itu tidak buruk dan akan terus kami perbaiki,” kata bek Fleetwood, Ash Eastham.
Tapi mereka ada di peringkat paling rendah kedua dalam urusan fair play. Mengoleksi 78 kartu kuning dan dua kali langsung mendapat merah dalam 38 pertandingan. Sunderland yang mengoleksi tujuh kartu merah instan dan 65 kuning menjadi satu-satunya tim yang memiliki catatan lebih buruk.
Barton berhasil mengangkat performa Fleetwood. Tapi dia juga masih membuat onar di pinggir lapangan. Pernah mendapatkan denda dan dilarang mendampingi tim. Tidak ada yang sempurna memang.
Menjadikan Saingan Sebagai Guru
Foto: Fleetwood Town
Barton belajar dari pengalamannya. Bukan hanya sebagai pemain namun juga pengamat sepakbola. Ia mengakui bahwa Fleetwood menjadikan sesama peserta League One, Luton Town sebagai guru mereka pada musim 2018/2019.
“Luton adalah kesebelasan yang luar biasa. Mereka memiliki sistem yang jelas. Salah satu kuncinya adalah cerdik selama bursa transfer. Kehilangan pelatih, Nathan Jones, ke Stoke City. Tapi secara permainan tak ada yang berbeda. Mereka terus membangun dari apa yang sudah ada dan percaya akan hal itu,” puji Barton.
“Kami tidak bisa seperti Luton karena Fleetwood bersaing di zona merah musim lalu (2017/18). Hanya saja mereka layak jadi contoh,” lanjutnya.
Pada musim panas 2018, Barton mendatangkan 12 pemain ke Stadion Highbury. Dari 12 pemain itu, hanya satu yang didatangkan permanen dengan dana transfer, Craig Morgan. Sementara sisanya adalah tujuh pemain gratisan dan empat pinjaman.
Tidak semua diberi tempat utama. Bahkan pada awal musim hampir semua tidak memiliki tempat reguler. Semua pemain yang didatangkan itu diberikan jam terbang. Masuk dalam susunan utama atau tidak itu tergantung performa.
Akan tetapi, hampir semuanya memberi kontribusi positif. Hanya Tommy Spurr -pemain pinjaman dari Preston- dan Paul Jones yang kurang mendapat kesempatan. Jones tidak mendapat tempat di liga karena Alex Cairns tampil brilian di bawah gawang. Sementara Spurr dipulangkan ke Preston karena cedera.
Untuk memotivasi pemainnya, Barton tidak menetapkan kapten permanen di Fleetwood. Ia mengikuti cara mantan nakhoda Brentford, Dean Smith, dan memberikan ban kapten pada siapapun yang layak.
“Tidak ada yang permanen di Fleetwood. Ban kapten akan berputar. Ini adalah waktu yang tepat untuk membentuk seorang pemimpin,” kata Barton. Beruntung Eastham yang dicopot dari jabatannya tidak mempermasalahkan hal itu.
“Saya tidak mempermasalahkan keputusan manajer. Menurutnya, kami harus membagi tanggung jawab sebagai tim. Bukan membebani satu atau dua orang,” kata Eastham.