Liverpool menciptakan sejarah, sukses mencatatkan comeback (salah satu) yang terhebat sepanjang sejarah. Membalikkan ketertinggalan agregat 3-0 menjadi 4-3 melalui kemenangan telak 4-0 di Anfield atas Barcelona. Banyak yang menyebut keangkeran Stadion Anfield adalah salah satu faktor penyebab mengapa Barcelona kalah, sepanjang pertandingan para pemain tim tamu mendapatkan teriakan dari para pendukung Liverpool tiap memegang bola.
Namun apakah itu cukup? Tentu tidak. Sorotan jelas akan diberikan kepada Divock Origi dan Giorginio Wijanldum yang masing-masing mencetak dua gol, dan kecerdikan Trent Alexander Arnold yang mengeksekusi sepak pojok ketika para pemain Barcelona sedang tertidur di daerah pertahanan mereka sendiri.
Satu nama yang sangat vital dari kemenangan Liverpool adalah sang Kapten, Jordan Henderson, yang menunjukkan penampilan prima sepanjang laga. Ia menjadi kartu mati bagi Liverpool di laga ini, gelandang Barcelona praktis tidak bisa mengembangkan permainan di sepanjang laga karena ketenangan sang Kapten.
Kesalahan Barcelona dieksploitasi Henderson
Barcelona hanya membutuhkan setidaknya kalah 0-2 atas Liverpool untuk tetap mengunci satu spot di laga Final Liga Champions. Barcelona turun dengan formasi yang agak unik, 4-4-2 dengan tiga gelandang bertipikal bertahan: Arturo Vidal, Ivan Rakitic, dan Sergio Busquets, plus satu pemain pertipikal menyerang Philippe Coutinho. Tampak seperti formasi yang akan fluid dengan 4-3-3 apabila Coutinho berdiri sejajar dengan Messi dan Suarez di lini depan.
Sedangkan Liverpool turun dengan susunan pemain sedikit pincang, kehilangan Salah, Firminho dan Naby Keita. The Reds turun dengan Origi, Shaqiri, dan Mane, plus kehilangan Keita digantikan oleh Fabinho.
Kesalahan utama Barcelona adalah dengan menurunkan tiga pemain bertipikal bertahan di lini tengah tanpa satupun pemain menyerang. Dan kita akhirnya bisa melihat betapa digdayanya Jordan Henderson yang mengomandoi lini tengah Liverpool dan mengerdilkan tiga pemain tengah Barcelona.
Di awal babak pertama, Henderson benar-benar digdaya. Terima kasih untuk James Milner yang sukses mematikan pergerakan Busquets yang menjadi motor serangan Barcelona. 10 menit pertama Henderson mengunci lini tengah Barcelona, semua serangan bola dan aliran bola dari lini belakang melalui Henderson sangat menakutkan.
Gol pertama akhirnya tercipta, bermula dari lini tengah Barcelona yang lowong, sukses dimanfaatkan oleh Henderson untuk melakukan kerjasama sebelum melakukan sepakan jarak dekat yang masih bisa ditepis oleh ter Stegen. Namun bola muntah bisa dimanfaatkan Divock Origi untuk mencetak gol pertama.
1-0 sukses dipertahankan Liverpool di babak pertama. Memasuki babak kedua, perubahan krusial dilakukan oleh Klopp: Andy Robertson digantikan Wijnaldum untuk mengubah formasi menjadi 3-5-2, perubahan mikro yang menghancurkan Barcelona di babak kedua.
Babak kedua, Game Over Barcelona
Di babak kedua, Liverpool butuh keajaiban untuk setidaknya menyamakan agregat dengan mencetak dua gol tambahan. Klopp melihat tekanan yang diberikan gelandang Liverpool nyaris tidak bisa diantisipasi oleh para pemain Barcelona. Masuknya Wijanldum selain membuat Barcelona kalah jumlah gelandang juga semakin mempertegas keunggulan Liverpool.
Wijnaldum akhirnya sukses mencetak dua gol, terlepas dari kesalahan ter Stegen mengantisipasi bola di gol pertama Wijnaldum. Bola yang direbut Alexander-Arnold dari pemain Barcelona tidak lepas dari peran Henderson yang menutup celah bagi Jordi Alba dan Coutinho membagi bola. Alexander-Arnold kemudian memberikan umpan tarik kepada Wijnaldum untuk mencetak gol.
Gol ketiga Liverpool tidak kalah serupa. Sepak mula Barcelona yang menjadi momentum untuk bisa mencetak gol. Bola dierbut oleh Van Dijk, bola pantul kemudian didistribusikan oleh Henderson kepada Fabinho yang memberikan umpan melebar kepada Origi sebelum memberikan umpan kepada Shaqiri. Umpan tarik Shaqiri kemudian disundul Wijnaldum menjadi gol. Dan sisanya akan menjad sejarah kelam bagi Barcelona dan secara luar biasa akan disimpan sebagai memori luar biasa bagi Liverpool.
Meminjam kata-kata Jonathan Wilson, Henderson belum sehebat Bryan Robson sebagai gelandang flamboyan di lini tengah Inggris medio 80 hingga 90-an, namun Hendrson sukses menghentikan pemain sehebat Messi yang jauh di atas Maradona. Sehebat itulah penampilan Henderson menghadapi Barcelona. Sosoknya tidak menonjol, bahkan kerap dikritik sebagai pemain yang kerap membuang peluang bagi Liverpool, namun menghadapi Barcelona, pemain sekelas Suarez pun hanya mampu mencatatkan 31 sentuhan selama 90 menit karena rapatnya koordinasi di lini tengah yang dikomandoi Henderson.
Kini tantangan bagi Henderson untuk bisa mencatatkan sejarah sebagai Kapten keenam yang membawa Liverpool juara Liga Inggris. Atau akan menjadi Kapten pertama setelah 29 yang mengangkat gelar juara Liga Inggris. Menarik menunggu pertandingan dalam beberapa pekan kedepan dimana semua semakin menentukan bagi Liverpool dan Jordan Henderson.