Laga Brasil menghadapi Serbia memasuki menit ke-68 saat Neymar bersiap melakukan sepak pojok. Ketika itu Brasil sedang unggul 1-0. Hasil tersebut terbilang belum aman mengingat beberapa menit sebelumnya, Serbia beberapa kali mengancam gawang Allison Becker melalui Aleksander Mitrovic dan kawan-kawan.
Beruntung bagi Brasil. Sepakan rendah pemain termahal dunia tersebut disambut oleh sundulan Thiago Silva. Skor 2-0 bertahan hingga akhir pertandingan. Brasil mantap melangkah ke babak 16 besar dengan menjadi juara grup.
Bagi Silva, golnya tersebut adalah yang kedua pada ajang empat tahunan tersebut. Tidak hanya itu, gol ke gawang Vladimir Stojkovic dibuat di Moskow, kota yang sempat membuat dirinya berpikir untuk berhenti dari sepakbola.
Gara-gara Tuberkulosis
Memutar waktu kembali ke 13 tahun yang lalu saat Thiago Silva direkrut oleh FC Porto dari Juventude. Akan tetapi, ia yang waktu itu masih berusia 20 tahun hanya bermain untuk tim B dan tidak pernah sekalipun bermain bersama tim utama Dragoes. Tidak ingin kariernya terpuruk, pihak Porto meminjamkan Silva ke klub Rusia, Dynamo Moscow.
Akan tetapi, proses adaptasi Thiago Silva di negara yang dikuasai Vladimir Putin tersebut tidak berjalan dengan baik. Dinginnya cuaca Moskow sering membuat ia jatuh sakit. Suatu ketika, pemain kelahiran Rio De Janeiro tersebut harus meringkuk enam bulan karena didiagnosis menderita Tuberkulosis (TBC).
Hari-hari Thiago Silva penuh dengan rasa sakit. Setiap hari, ia dipaksa menerima tiga sampai empat suntikan. Obat yang diminum pun bisa 10 sampai 15 pil. Hal ini tentu saja karena Tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular sekaligus mematikan di dunia.
“Moskow kota yang mengerikan. Saya masuk rumah sakit selama enam bulan, kelebihan berat bada 10 kilo. Dan jika orang yang menderita TBC merasa kurus dan tidak mau makan maka saya sebaliknya. Saya selalu merasa lapar, saya tidak terlihat sakit, tapi saya tidak bisa bergerak,” ujarnya dilansir Football Italia enam tahun lalu.
“Dokter menyuruh saya berjalan-jalan, tapi saya tidak mau. Penyakit ini menular, jadi saya dimasukkan ke ruang isolasi dan hanya bisa bermain internet dan gim komputer. Setelah itu saya diberitahu kalau saya butuh enam bulan untuk pemulihan dari TBC. Dan jika saja dalam dua minggu tidak ada perubahan maka nyawa saya bisa tidak tertolong. Aku hampir mati. Itulah sebabnya, setiap kali saya bermain, saya kembali ke momen ketika saya di Rusia.”
Baca juga: Profil Brasil di Piala Dunia 2018
Bangkit di Brasil
Lamanya pemulihan yang dijalani Thiago Silva sempat membuat dirinya berpikir untuk berhenti bermain sepakbola. Kontraknya bersama Dynamo kemudian dibatalkan setelah dia keluar dari rumah sakit yang membuat dirinya semakin terpuruk. Beruntung, ibunya membujuknya untuk mengurungkan niat tersebut. Upaya yang dilakukan akhirnya membuahkan hasil. Silva sembuh, dan membangun kariernya kembali dari nol bersama Flamengo.
Akan tetapi, Silva masih menemui beberapa kendala untuk memperbaiki mimpinya sebagai pesepakbola. Dua kali melakukan trial bersama Flamengo, ia ditolak oleh pemilik enam gelar Campeonato Brasilero tersebut.
“Saya sudah berpikir untuk berhenti sama sekali dari sepakbola. Ada kesempatan lain ketika saya pergi ke Flamengo untuk melakukan uji coba dan setelah dua kali sesi uji coba, mereka mengatakan kalau saya tidak lebih baik dari pemain-pemain yang sudah mereka miliki.”
“Saya memberi tahu ibu saya bahwa saya sudah tidak mau bermain sepakbola lagi karena tidak ada klub yang menginginkan saya. Namun dia meyakinkan saya karena saya harus mencari uang untuk saudara-saudara saya yang lain. Mendengar hal itu, aku mengubah pikiran dan memutuskan untuk mencari klub lain,” tuturnya.
Karier Silva perlahan membaik. Mantan pelatihnya, yaitu Ivo Wortmann mengajaknya ke Fluminense. Di sana, Silva menjadi sosok yang tidak tergantikan di lini belakang mereka. Meski hanya memberikan satu gelar Copa do Brasil, namun ia adalah salah penggawa yang tidak tergantikan di lini belakang. Pada tahun 2008, ia masuk dalam skuad terbaik Liga Brasil.
Menghabiskan tiga musim dengan mencetak 117 penampilan, ia kemudian hijrah ke AC Milan pada musim dingin 2009. Meski begitu, namanya baru terdaftar sebagai anggota Il Rossonerri pada musim panas 2009/2010. Silva ketika itu disebut-sebut sebagai titisan Franco Baresi. Setelah tiga tahun di kota Milan, ia kemudian hijrah ke Paris Saint Germain dan bertahan hingga saat ini.
Apa yang dilakukan Silva membuktikan kalau seseorang bisa meraih mimpinya asalkan memiliki ketekunan dan kemauan yang kuat. Apabila kita memiliki dua aspek tersebut maka batas-batas penghalang akan menjadi samar seperti yang dirasakan Silva dalam kariernya. Penyakit yang ia derita di Moskow berhasil ia lalui dengan baik. Kini, ia kembali mencoba menaklukkan Moskow untuk kedua kalinya. Caranya dengan membawa Brasil menjuarai Piala Dunia untuk kali keenam.