Karier Clarence Seedorf yang Ditutup dengan Indah

Clarence Seedorf dikenal sebagai salah satu gelandang terbaik Belanda yang lahir dari Ajax, bersama generasi Frank dan Ronald de Boer, Edgar Davids dan Patrick Kluivert. Prestasinya cukup mentereng; satu-satunya pesepakbola yang memenangkan trofi Liga Champions dengan tiga klub berbeda, yaitu Ajax pada 1994/1995, Real Madrid pada 1997/1998 dan AC Milan pada 2002/2023 dan 2006/2007.

Namun, menjelang penghujung kariernya pada tahun 2012, Seedorf merasa frustrasi karena menit bermainnya berkurang. Dia juga tak lagi sering menjadi andalan sebagai pemain nomor 10 di timnya saat itu, AC Milan, yang sudah 10 musim diperkuatnya. Pada akhirnya, sang pemain memutuskan untuk pergi dan mencari tantangan baru. Tapi, tujuannya pada saat itu benar-benar di luar dugaan.

Seedorf Memilih Botafogo

Setelah 12 tahun kariernya yang luar biasa di Eropa; dari Ajax ke Sampdoria, lalu Real Madrid, Inter Milan hingga AC Milan, tiba-tiba Seedorf memilih untuk bergabung dengan Botafogo di Brasil, klub yang bahkan masih kalah hebat dari empat klub besar Rio de Janeiro setelah Fluminense, Flamengo dan Vasco Da Gama. Tak tanggung-tanggung, dia bersedia dikontrak selama dua musim ketika itu.

Sebenarnya, meskipun sudah berusia 36 tahun, sang gelandang masih diminati oleh banyak klub Eropa saat itu. West Ham termasuk salah satu di antara sejumlah kontestan Premier League Inggris yang tertarik padanya. Selain itu, juga ada beberapa tawaran menggiurkan MLS Amerika Serikat dan Timur Tengah, yang sering menjadi pilihan bagi para bintang sepakbola Eropa jelang akhir kariernya.

Sangat jarang terjadi pemain papan atas Eropa pindah ke Amerika Selatan, meski ada banyak bakat besar yang telah melakukan sebaliknya. Alhasil, Seedorf pun menjadi pemain Eropa dengan profil tertinggi yang pernah bermain di kasta tertinggi Brasil. Bahkan, presiden klub saat itu Mauricio Assuncao menyebutnya sebagai pemain asing terhebat yang pernah bergabung dengan klub Brasil.

Zico dan Selecao

“Saat saya menonton Piala Dunia 1986 bersama ayah saya, dia harus mengajak saya keluar dan menenangkan saya setelah Brasil kalah dari Prancis. Saya menangis karena marah, karena itu adalah turnamen terakhir Zico. Bagi saya, dia adalah inti dari sepakbola,” ucap Seedorf dalam wawancara di situs resmi FIFA seperti dikutip Planet Football. Dia menceritakan tentang pemain idolanya saat kecil.

Ketika banyak orang sinis yang berpikir bahwa kepindahannya ke Botafogo adalah pilihan yang salah, mungkin tak banyak yang mengetahui bahwa Seedorf selalu dekat dengan Brasil. Dia sendiri lahir pada 1 April 1976 di Paramaribo Suriname, koloni Belanda yang berbatasan dengan Brasil bagian utara. Sempat pula tinggal di sana sebelum pindah ke Belanda dengan keluarganya saat masih bocah.

Bahkan, Brasil selalu dekat di hatinya, karena sang istri, Luviana, adalah seorang Brasil. Seedorf pun belajar berbicara bahasa Portugis saat bermain di Real Madrid setelah sekamar dengan Roberto Carlos, salah seorang legenda Brasil. Ditambah lagi dengan pengaruh besar Selecao dalam awal-awal karier sepakbolanya, makanya memang tidak pernah aneh jika dia memilih akhir kariernya di Brasil.

Mental Juara Seedorf

Seedorf bergabung sebagai bagian dari proyek besar untuk mengembalikan kejayaan Botafogo. Klub ini memang belum pernah merebut gelar nasional sejak 1995 dan tidak lolos ke Copa Libertadores dalam 18 tahun. Makanya, sang gelandang ditugaskan oleh pelatih Oswaldo de Oliveira bersama tim mudanya untuk menggunakan seluruh pengalaman demi menumbuhkan mental juara di O Glorioso.

Pelatih memberikan kebebasan pada Seedorf selama di lapangan. Tetapi, ketimbang bermain lebih dalam seperti yang dilakukan banyak pemain bintang di usia senja, dia malah berkembang dengan permainan menyerang dan ikut mencetak banyak gol. Sembilan gol pada musim pertama, yang berlanjut dengan 15 gol pada musim kedua di Botafogo menjadi bukti kekuatannya pada saat itu.

“Di Brasil, karena tingkat kualitas individu, pelatih memberikan kebebasan itu kepada pemainnya. Mereka ingin pemainnya berlari ke arah lawan. Jika ada dua lawan yang menjaga Anda, para pemain di sini berpikir mereka bisa mengalahkan lawan tanpa masalah, dan itulah yang akan mereka coba dan lakukan,” ungkap Seedorf. “ “Saya jelas merasa lebih dekat dengan cara Brasil,” tambahnya lagi.

Namun, menang tidak semuanya berjalan mulus di lingkungan baru, dan Seedorf mengakui butuh waktu untuk terbiasa dengan sepak bola Brasil, baik di dalam maupun di luar lapangan. Setelah 12 bulan, dia pun berhasil mengangkat trofi lainnya, usai membantu Botafogo memenangkan Kejuaraan Negara Bagian Rio, Campeonato Carioca; gelar minor, tapi trofi yang sudah lama mereka rindukan.

“Saya pensiun dengan tenang. Brasil menyambut saya dengan tangan terbuka. Saya tak akan pernah melupakannya,” ucap Seedorf saat mengumumkan akhir kariernya di lapangan hijau pada awal 2014, yang ditutupnya dengan indah selama dua tahun di Brasil. Setelahnya dia memenuhi salah satu klasul dalam kontraknya, kembali ke AC Milan untuk menggantikan Massimiliano Allegri yang baru dipecat.

Sumber: Planetfootball