Leicester City berhasil mendapatkan jasa pemain sayap Aljazair, Rachid Ghezzal dari AS Monaco. Ghezzal ditebus seharga 10 juta Poundsterling oleh The Foxes. Menurut Daily Mail, mereka juga telah berjanji memberikan bonus 2,5 juta Poundsterling ke AS Monaco jika Ghezzal sesuai dengan ekspektasi klub.
Kedatangan Ghezzal disebut sebagai langkah frontal Leicester menggantikan Mahrez. Riyad Mahrez hijrah ke Manchester City, memecahkan rekor transfer The Citizens dengan 60 juta Poundsterling. Mahrez dan Ghezzal memang memiliki banyak kesamaan. Mereka sama-sama berasal dari Aljazair. Ghezzal juga beroperasi di sisi kanan, namun lebih senang menggunakan kaki kirinya. Tapi menyebut Ghezzal sebagai pengganti Mahrez adalah harapan yang terlalu tinggi.
Kepergian Mahrez menjadi akhir dari kisah manis Leicester City yang pernah mengejutkan dunia dan menjadi juara Premier League. Kini, hanya 10 pemain yang tersisa dari tim asuhan Claudio Ranieri pada musim 2015/2016. Kasper Schmeichel, Wes Morgan, Jamie Vardy, Andy King, Marc Albrighton, Shinji Okazaki, Matty James, Leonado Ulloa, Christian Fuchs, dan Yohan Benalouane, masih bertahan di King Power Stadium. Namun kondisi saat ini sudah tidak seperti dulu.
Leicester City kembali ke papan tengah bersama Claude Puel. Mereka menempati posisi ke sembilan semusim setelah juara. Kemudian turun lagi tiga peringkat (12) musim lalu. Claude Puel juga seperti tidak akan banyak mengubah gaya permainannya di musim 2018/2019 ini.
Tak ada nama besar yang didaratkan ke King Power Stadium. Jonny Evans dan Ghezzal bisa disebut sebagai pemain paling tenar yang mereka dapatkan di bursa transfer musim panas kemarin. Sisanya adalah pemain-pemain potensial namun masih butuh pembuktian.
James Maddison yang diboyong dari Norwich City dilabeli sebagai penerus David Beckham. Namun ia belum teruji di divisi tertinggi Inggris. Ricardo Pereira, bek 24 tahun Portugal dibeli dari FC Porto seharga 22.5 juta Poundsterling. Angka yang cukup tinggi untuk Leicester tapi saat Porto melepas pemain di bawah 35 juta Euro, itu tergolong murah. Caglar Soyuncu dari Freiburg juga harus sabar menjadi pelapis Wes Morgan serta Evans. Hanya Ghezzal yang bisa mendapat peran kunci dari Puel.
Bukan Wajah Asing
Ghezzal bisa berperan penting di Leicester City musim ini bukan hanya karena Mahrez hengkang. Tapi juga karena Puel sudah pernah menjadi pelatihnya di Olympique Lyon. Tidak secara langsung memang, karena saat Puel masih menangani Lyon, Ghezzal merupakan pemain tim cadangan. Tapi Puel melihat pertumbuhan Ghezzal sejak awal karirnya. Hingga Ghezzal sempat diincar klub seperti Liverpool tiga tahun lalu.
Ghezzal sendiri mengakui kedekatannya dengan Puel menjadi salah satu faktor ia hijrah ke Midlands. “Saya sangat senang di sini. Leicester City punya pemain-pemain bagus. Saya juga mengenal pelatih dari masa-masa di Lyon. Semoga saya bisa memberikan yang terbaik untuk klub,” kata Ghezzal pada situs resmi Leicester.
Mirip Tapi Tak Sama
Gaya permainan Ghezzal dan Mahrez memang mirip. Mereka sama-sama senang menggiring bola dan menusuk daerah pertahanan lawan. Melepaskan tendangan-tendangan keras nan terukur ke gawang. Tapi, Ghezzal bisa disebut lebih individualis dibandingkan Mahrez.
Gaya permainan Ghezzal menyerupai Mahrez musim lalu. Banyak berusaha sendiri melewati lawan dan melepaskan tembakan yang mengancam. Tapi itu bukan Mahrez yang kita kenal. Bukan Mahrez yang membuat Leicester City menjadi juara.
Ketika Leicester City berhasil mengejutkan dunia, Mahrez sangat jarang memaksa untuk melewati lawan seorang diri. Ia bahkan jarang melakukan giringan yang panjang dan bermain lebih efesien untuk tim. Mahrez lebih banyak menjadi pemain yang siap memantulkan bola, membuka ruang, dan menyambar bola dari lini kedua.
Sebagus apapun Ghezzal bermain bersama Leicester City, tak mungkin dia bisa menggantikan Riyad Mahrez jika gaya bermainnya tetap sama. Mirip dengan Mahrez. Tapi bukan Mahrez yang membuat harganya bisa memecahkan rekor Manchester City.
Pengganti Mahrez yang Sebenarnya
Leicester City sebenarnya sudah memiliki pengganti Mahrez. Namun sejak dirinya pindah dari Birmingham City, ia hanya bisa menjadi seorang pelapis. Tidak cukup mendapat kesempatan untuk membuktikan diri. Dia adalah Demarai Gray.
Gray diboyong Leicester City dari Birmingham pada 2016. Datang sebagai pemain potensial Inggris yang tak pernah absen dari tim nasional sejak usianya masih remaja. Kini berusia 22 tahun, Gray baru tampil 99 kali untuk Leicester. Meski telihat banyak, secara rata-rata dia hanya mendapatkan 43 menit tiap kali tampil. Itu kurang dari satu babak!
Padahal Gray merupakan penerus dari Nathan Redmond di Birmingham. Redmond setelah pergi dari Birmingham ke Norwich dan kini Southampton, selalu jadi pemain kunci di klubnya. Baik Redmond, Gray, ataupun Mahrez memiliki kesamaan.
Mereka bisa bermain di mana saja sebagai penyokong penyerang tunggal. Entah itu di kiri, kanan, ataupun tengah. Mereka juga gemar menggunakan kaki yang berlawanan dengan posisi utamanya. Mahrez dan Redmond menggunakan kaki kiri meski diplot sebagai sayap kanan. Semantara Gray lebih senang dengan kaki kanannya meski ditempatkan sebagai sayap kiri.
Jika talentanya dimaksimalkan seperti saat ia masih ditangani oleh Garry Rowett, Demarai Gray bisa menjadi pengganti Mahrez. Bukan Mahrez yang kita lihat musim lalu. Namun, Mahrez yang berhasil membawa The Foxes menjadi juara Premier League.
Bukan Lagi Tim Ajaib
Namun, pada akhirnya kita harus menerima kenyataan. Kenyataan bahwa Leicester City bukanlah klub yang bisa setiap musim meramaikan perebutan gelar di Premier League. Apa yang mereka lakukan pada 2015/2016 merupakan sebuah keajaiban. Bukan keberuntungan, tapi akan sangat sulit diulang. Baik itu oleh Leicester atau klub-klub lain. Bahkan Tottenham dan Everton saja masih belum berhasil untuk mengangkat piala Liga Premier meski sudah menggelontorkan banyak uang.
Terlepas dari kesamaan Ghezzal dan Mahrez yang merupakan pemain Aljazair. Ghezzal tak akan bisa menjadi Mahrez yang kita lihat tiga tahun lalu. Mustahil baginya bisa menjadi pemain yang disebut Richard III sebagai ‘jenius total’ dan ‘tanpa kekurangan’ dalam bukunya ‘King Power: Leicester City’s Remarkable Season’.
Bukan karena Rachid Ghezzal pemain yang payah. Tapi, karena Leicester kini sudah tidak seperti tiga tahun lalu dan Puel juga tidak berusaha untuk mengulang kesuksesan Ranieri.