Kisah Pelik Neil Etheridge Menuju Panggung Premier League

Laga semifinal Piala AFF 2010 antara Filipina melawan Indonesia masih berlangsung sengit dalam kedudukan 0-0. Sampai pada akhirnya, Cristian Gonzales mencetak gol melalui sundulan kepala. Hal serupa juga terjadi pada leg kedua. Indonesia kembali hanya mencetak satu gol saja yang lagi-lagi dicetak oleh El Loco.

Agregat 2-0 saat itu membawa Indonesia melangkah ke final. Meski begitu, penampilan Filipina mengundang pujian. Itulah kali pertama mereka bisa melangkah ke babak semifinal di ajang AFF. Kekuatan lini pertahanan menjadi salah satu kelebihan skuad Anjing Jalanan saat itu. Salah satu pilar penting mereka saat itu adalah sang penjaga gawang, Neil Etheridge.

Sosok Neil begitu mencuri perhatian pada AFF delapan tahun lalu. Selain rupanya yang tampan serta postur badannya yang tegap, Neil saat itu tercatat sebagai pemain dari kesebelasan Fulham yang enam bulan sebelumnya bermain di final Europa League. Meski saat itu statusnya hanya kiper keempat Fulham, Neil menjadi satu-satunya pemain yang klubnya bermain di kompetisi tertinggi Eropa saat itu.

Delapan tahun setelah dirinya berjibaku di Gelora Bung Karno, Neil bersiap untuk kembali berkompetisi di level tertinggi. Sabtu pekan lalu, Neil yang kini membela Cardiff City, tampil di Premier League. Menghadapi Bournemouth di Vitality Stadium, Neil kebobolan dua gol. Akan tetapi, ia berhasil menahan penalti Callum Wilson, sehingga gawangnya tak kebobolan lebih banyak. Dengan pertandingan tersebut, ia menjadi pemain Asia Tenggara pertama yang bermain di Premier League.

Menumpang di Rumah Teman Hingga Jual Mobil dan Rumah

Tidak mudah bagi jebolan akademi Chelsea ini untuk bisa merangkak ke kompetisi tertinggi. Ia pernah mengalami fase terburuk yang mungkin tidak pernah ia pikirkan saat memilih menjadi pesepakbola. Sempat terpikir dalam benaknya untuk menyerah dan memutuskan kembali ke kampung halamannya di Filipina.

“Saya sampai menjual rumah dan mobil saya. Saat itu berjarak seminggu lagi dari kepulangan saya ke Filipina,” kata Etheridge seperti dilansir dari lama Guardian.

Wajar apabila Etheridge merasa terpuruk. Ia hanya bermain satu laga saja dan terus menjadi pemain cadangan bersama Fulham. Itupun laga terakhir Europa League yang sudah tidak menentukan lagi bagi keduanya.

Fulham pun tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Saat itu, status mereka adalah kuda hitam yang akrab finis pada posisi enam hingga tujuh besar. Langkah Etheridge pun begitu terjal karena saat itu ada tiga penjaga gawang bagus dalam diri Mark Schwarzer, David Stockdale, dan Pascal Zueberbuhler.

Etheridge pun sempat menjadi pemain pinjaman di Charlton Athletic pada musim 2010/2011. Akan tetapi, ia tidak bermain satu kalipun bersama mereka. Ia bahkan harus membiayai segala perjalanan dari tempat tinggalnya ke markas latihan Charlton dengan uang pribadinya.

Kesabaran Etheridge pun semakin menipis saat Fulham memutus kontraknya pada 2014. Di sinilah ia terbersit untuk pulang kampung ke Filipina sebelum kemudian ia membatalkan penerbangannya karena mendapat tawaran dari Oldham yang kemudian ia terima. Tetapi, Etheridge justru semakin marah karena ia kembali hanya santai di bangku cadangan.

“Saya ditawari kontrak jangka pendek di Oldham hanya untuk duduk di bangku cadangan. Saya harus tidur menumpang di rumah teman saya saat bermain untuk mereka. Hanya itulah cara saya agar bisa bertahan hidup.”

Berkembang di Walsall, Sukses di Cardiff

Hingga 2015, Etheridge mempunyai pencapaian yang cukup unik. Ia menjadi salah satu pemain yang jumlah penampilan nasionalnya lebih banyak ketimbang penampilannya di level klub. Namun, perlahan catatan tersebut berhasil diperbaiki Etheridge saat ia menerima tawaran bermain untuk Walsall.

Walsall hanyalah klub yang bermain di League One. Kapasitasnya stadionnya jauh lebih kecil jika dibandingkan Fulham maupun Charlton. Namun, bersama merekalah tenaga Etheridge baru diberdayakan dengan baik. Dua musim bermain untuk The Saddler, ia mengumpulkan 93 pertandingan dan sempat membawa mereka ke babak play off promosi Championship pada 2016.

Penampilan apiknya ini mengundang perhatian dari Cardiff yang saat itu sedang krisis penjaga gawang jelang musim 2017/2018. Neil Warnock kemudian menggaetnya sekaligus menjadikan Etheridge sebagai bagian penting dari kesuksesan Si Burung Biru.

Neil menghabiskan 45 dari 46 pertandingan Championship dengan berdiri di bawah mistar gawang mereka. Ia hanya kemasukan 37 gol dan membuat 17 kali nir bobol. Catatan ini adalah yang terbanyak sepanjang musim lalu. Bahkan penjaga gawang Wolverhampton, John Ruddy hanya membukukan 7 clean sheet saja.

Berkat kepiawaian Neil dalam menjaga gawang, Cardiff finis pada posisi kedua klasemen akhir dan meraih tiket promosi untuk kembali ke Premier League setelah terakhir kali pada 2013 silam. Sebuah momen yang begitu emosional di mata Neil.

“Hari ini adalah yang paling emosional dalam karier saya. Tahun ini (2018) begitu luar biasa. Filipina lolos ke Piala Asia untuk pertama kalinya dan tahun ini juga menjadi tahun keempat saya setelah meninggalkan Fulham. Saya pernah lima bulan tidak memiliki klub. Terima kasih sebesar-besarnya kepada semua orang yang telah memberikan saya kesempatan dan selalu bersama saya pada musim ini.”

Segala jerih payah Neil akhirnya membuahkan hasil. Ia setidaknya bisa selangkah lebih baik dibanding Younghusband bersaudara (James dan Philip), dua rekan yang menjadi teman baiknya saat masih bersama di Akademi Chelsea. Kisahnya pun patut dijadikan inspirasi kalau pemain Asia Tenggara bisa berkiprah di klub-klub Eropa asalkan kita memiliki semangat dan tidak mengenal kata menyerah.