Kylian Mbappe, Pele Generasi Z

Usai membantu Prancis menjadi juara dunia, Kylian Mbappe memastikan dirinya akan bertahan di Paris Saint-Germain (PSG). “Saya akan bertahan di PSG. Karier saya baru saja dimulai,” kata Mbappe seperti dikutip Daily Mail.

Penampilan Mbappe di Rusia mendapat sorotan khusus. Bukan hanya karena mencetak empat gol sepanjang Piala Dunia 2018, namun dirinya juga mencatatkan berbagai rekor. Saat membobol gawang Peru di fase grup, Mbappe jadi pemain termuda yang pernah mencetak gol untuk Prancis dalam turnamen besar (Piala Eropa dan Dunia). Saat itu, berusia 19 tahun dan 183 hari, Mbappe berhasil melewati pemegang rekor sebelumnya, David Trezeguet, yang sudah berkepala dua saat mencetak gol untuk Prancis.

Kini, setelah ikut menyumbang sebuah gol melawan Kroasia, Mbappe menjadi remaja kedua yang berhasil membobol gawang lawan di partai puncak Piala Dunia. Pemain pertama yang berhasil melakukan hal tersebut adalah Pele di Piala Dunia 1958.

Mbappe pulang dengan membawa pulang predikat pemain muda terbaik sepanjang turnamen. Melanjutkan prestasi Prancis yang sebelumnya mendapatkan gelar tersebut lewat Paul Pogba di 2014. Performa Mbappe juga mendapat pujian dari berbagai pihak.

Legenda Argentina, Diego Maradona, menyamakan Mbappe dengan Claudio Cannigia. “Mbappe mirip dengan Cannigia saat masih muda. Dia cepat dan bisa mengeksploitasi ruang gerak yang dimilikinya,” kata Maradona saat membahas kekalahan 3-4 Argentina dari Prancis ke teleSUR.

Saat Cannigia hanya bisa membawa negaranya ke final Piala Dunia 1990, Mbappe sukses mengangkat tropi paling prestisius di dunia sepak bola pada debutnya dalam turnamen.

Trezeguet yang rekornya dipecahkan Mbappe juga melempar pujian kepada pemain PSG tersebut. “Kemampuan Mbappe dan Griezmann bisa melewati [Thierry] Henry. Mereka masih muda dan terus berkembang,” puji Trezeguet usai laga Prancis lawan Peru.

Bahkan Pele merasa tertantang melihat penampilan Mbappe di Piala Dunia 2018. “Jika Kylian Mbappe terus-menerus menempel rekor saya, mungkin sudah saatnya kembali mengotori sepatu,” tulis Pele di akun Twitter miliknya setelah Prancis jadi juara dunia.

Diincar Klub Luar

Nama Kylian Mbappe sudah mencuat sejak musim 2016/2017. Saat itu Mbappe dan Radamel Falcao berhasil membawa AS Monaco menjadi juara Ligue 1. Mereka juga memutus dominasi PSG di divisi tertinggi sepakbola Prancis. Ditambah performanya yang apik saat Liga Champions, Mbappe kemudian mulai menjadi incaran berbagai tim di luar Prancis.

Arsenal dan Real Madrid sering disebut sebagai pelabuhan Mbappe berikutnya. Namun ia kemudian lebih memilih PSG dan bertahan di Prancis. Pada 2018/19, dirinya baru resmi menjadi pemain tetap PSG setelah musim lalu ia hanya berstatus pinjaman dari AS Monaco. Hal ini dilakukan PSG agar tetap bisa berada di koridor Finacial Fair Play yang diatur Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA).

Dengan semua dana mereka saat itu diarahkan ke Neymar, Mbappe datang sebagai pinjaman dengan obligasi untuk memberikannya kontrak permanen di 2018/19. Tapi, setelah mengantarkan Prancis menjadi juara dunia, nama Mbappe kembali diisukan akan hengkang.

Apalagi Real Madrid baru saja melego Cristiano Ronaldo ke Juventus. Melihat hal ini, mantan penyerang FC Barcelona dan Leicester City, Gary Lineker mendukung Mbappe untuk hijrah ke Santiago Bernabeu.

“Dia adalah raksasa sepak bola masa depan. Lihat saja kecepatan, teknik, dan pesonanya di lapangan. Meski masih muda, Mbappe punya kedewasaan. Dia sangat cocok untuk menggantikan Cristiano Ronaldo,” kata Lineker ke L’Equipe.

Dihantui Dzagoev dan Akinfeev

Saat ini, bermain di liga domestik mungkin menjadi satu-satunya halangan Mbappe agar bisa mencapai status seperti Cristiano Ronaldo ataupun Lionel Messi. Walaupun dirinya sudah memastikan bertahan di PSG, pasti banyak yang menunggu Mbappe keluar dari Prancis. Bukan hanya Real Madrid, tapi penikmat sepakbola keseluruhan.

Andai kata Mbappe terlambat untuk merantau, menunggu sinarnya redup, dia akan sangat kesulitan untuk mencapai level pemain terbaik dunia. Hal ini pernah terjadi pada Igor Akinfeev dan Alan Dzagoev. Dua pemain CSKA Moscow yang dulu sempat menjadi incaran berbagai klub dari lima liga top Eropa (Liga Premier, La Liga, Serie-A, Ligue 1, dan 1.Bundesliga). Namun mereka lebih memilih bertahan di CSKA Moscow.

Sekarang Akinfeev sudah berkepala tiga, Dzagoev hanya tinggal menunggu dua tahun lagi untuk berusia 30 tahun. Pada akhirnya, mereka gagal mencapai level tertinggi di dunia sepakbola. Meski kemampuan keduanya tak perlu diragukan lagi, tetapi status mereka bukanlah mega bintang.

Nicolas Gaitan juga bisa menjadi contoh. Saat performanya sedang tinggi bersama Benfica, ia sempat menjadi incaran Manchester United. The Red Devils bahkan tak hanya memasukkan namanya ke dalam daftar belanja satu atau dua musim, lebih.

Sayangnya, Gaitan terlambat mengambil keputusan. Saat dia memilih pergi ke Atletico Madrid, dirinya sudah meredup. Bahkan dua musim di Ibukota Spanyol, Gaitan lebih banyak duduk di bangku cadangan. Kini, ia tercatat sebagai pemain Dailan Yaifang di Tiongkok.

Jadikan PSG Sebagai Santos

Walau ada ketakutan untuk Mbappe gagal mencapai potensi terbaiknya, bertahan di PSG bukanlah keputusan buruk. Mbappe bisa menjadikan PSG seperti Pele saat dia masih aktif bermain di Santos.

Tampil apik di Piala Dunia 1958, Pele menjadi incaran Juventus dan Real Madrid. Pele bahkan ditawarkan untuk menjadi pemilik saham perusahaan mobil Fiat oleh Giovanni Agnelli jika ia bergabung dengan Juventus.

Akan tetapi, publik Brasil takut kehilangan Pele. Pasalnya, mereka sudah melihat dua pemain terbaik Liga Brasil, Edvaldo ‘Vava’ Jizidio dan Waldyr ‘Didi’ Pereira hengkang ke klub Eropa. Vava meninggalkan Vasco da Gama untuk Atletico Madrid pada 1958. Didi hengkang dari Botafago ke Real Madrid.

Karir Didi yang tak terlalu cemerlang bersama Real Madrid menjadi alasan utama Pele tak rela dilepas. Apalagi Didi saat itu dikabarkan sering adu mulut dengan Alfredo Di Stefano. Pada akhirnya, Presiden Brasil Janio Quadros mengeluarkan dekret agar Pele menetap di Brasil.

Dekret adalah perintah kepala negara dengan kekuatan hukum untuk masalah tertentu. Saat itu dekret dari Quadros menyatakan Pele sebagai aset negara dan dilarang dimiliki oleh pihak asing, setidaknya selama 10 tahun.

Aturan tersebut aktif sejak 1961, Pele akhirnya bertahan di Santos. Bahkan tiga tahun setelah batas yang ditentukan dekret sudah lewat. Bersama Santos, Pele mengangkat 25 piala termasuk dua gelar Copa Libertadores.

Selama membela Santos itu pula Pele tiga kali membantu Brasil menjadi juara dunia. Sekalipun bertahan di liga domestik, Pele tetap berhasil menjadi legenda sepak bola dunia. Memiliki status mega bintang. Apalagi setelah ia pindah ke New York Cosmos dan memperkenalkan sepak bola kepada publik Amerika Serikat.

Pele Generasi Z

Jika Pele bisa mencapai status tersebut bersama Santos, bayangkan apa yang bisa dilakukan Mbappe dengan PSG. Klub asal Paris tersebut merupakan salah satu tim raksasa di Eropa. Ligue 1 dikenal sebagai salah satu liga terbaik di Eropa. Tiap musim mereka bermain Liga Champions dan mendapat eksposur yang cukup besar.

Real Madrid atau klub lain mungkin memiliki tradisi yang lebih kental dibandingkan PSG. Saat Pele membela Santos, tim tersebut juga bukan yang paling populer di Brasil. Pele yang mengangkat pamor Santos, tapi Palmeiras adalah klub paling populer saat itu. Kini bahkan pamor Santos masih kalah dari Palmeiras, Sao Paolo, atau Corinthians. Namun, mereka akan selalu memiliki Pele.

Mbappe berada di klub yang secara prestasi saat ini terbaik di Prancis. Pamornya juga dapat dikatakan sudah mengalahkan Olympique Lyon dan Marseille berkat kekuatan dana yang mereka miliki. Bertahan di PSG dan mungkin memberi satu atau dua gelar Piala Dunia lagi untuk Prancis, dia bisa lebih baik dari Pele.

Pele dan Maradona adalah mega bintang untuk generasi X (kelahiran 1961-1980). Messi dan Cristiano Ronaldo mendapatkan statusnya dari generasi Y atau kaum milenial (kelahiran 1981-2000). Kylian Mbappe bisa saja disejajarkan dengan Pele, Maradona, Messi, atau Ronaldo oleh generasi Z (kelahiran 2001-2010).