Laurie Cunningham, Simbol Perlawanan Stigma Rasialisme

Ratusan pemain legendaris Real Madrid pasti pernah merasakan atmosfer bermain menghadapi Barcelona di Camp Nou. Mayoritas dari mereka menerima hujatan maupun cacian selama pertandingan berjalan. Namun ada satu nama yang justru mendapat standing ovation dari suporter Barcelona. Dialah Laurie Cunningham.

Laurie Cunningham lahir di Archway, London, yang terkenal dengan angka kriminalitasnya yang tinggi. Dibesarkan dari keluarga yang juga menyukai olahraga, Laurie kecil sebenarnya lebih menyukai dansa sebagai kegiatan favoritnya. Sepakbola hanyalah kegiatan waktu luang di sore hari. Sementara sisa harinya lebih banyak dihabiskan dengan berlatih dansar.

Di usia 13 tahun, Laurie akhirnya memilih sepakbola. Bakatnya sempat terendus oleh yang menawarinya trial semusim kemudian. Namun, petinggi Arsenal kala itu cukup apatis dengan Laurie, karena stigma pemain berkulit hitam cenderung tempramen dan sulit diatur.

Dua tahun setelah trial, Arsenal melepas Laurie dengan alasan “bukan pemain yang kami butuhkan”. Hingga pada tahun 1974 Leyton Orient F.C. yang kala itu bermain di divisi 2 Liga Inggris, mengontrak Laurie.

Profil Laurie yang merupakan pemain sayap kiri, merupakan contoh prolific winger pada era 1970-an. Ia kuat, cepat, dan sering melakukan tusukan ke tengah untuk mencari ruang demi mencetak gol. Laurie pun sukses menjaringkan 15 gol dari 75 penampilan selama tiga musim berseragam Leyton Orient, untuk kemudian pindah ke West Bromwich Albion. Di klub inilah, nama Laurie Cunningham mulai dikenal dan diperhitungkan.

Bersama dengan  Cyrille Regis dan Brendon Batson, mereka membentuk trio kulit hitam yang sekaligus menjadi motor serangan dari West Brom. Ketiganya mengambil nama The Three Degrees, sama dengan trio penyanyi musik soul wanita di Amerika Serikat.

Di era ini The Three Degrees, menyulap West Brom menjadi tim paling atraktif. Laurie kemudian dipanggil untuk masuk timnas Inggris U-21, dengan mencatatkan 6 penampilan dan mencetak dua gol.

Laurie Cunningham sangat mencintai dansa. Laurie seringkali ikut dalam kompetisi dansa di klub malam, namun tidak membuat Laurie ketergantungan akan alkohol atau dunia malam. Laurie lantas bertemu dengan Silvia yang kelak menjadi istrinya di lantai dansa.

Ketika masih di Leyton Orient, Laurie membayar denda keterlambatan datang ke tempat latihan lewat uang yang ia dapat dari juara kompetisi dansa sebesar £1.

Selain dansa, Laurie juga menggemari gaya berpakaian yang flamboyan. Ketika pemain lain lazimnya datang ke latihan menggunakan setelan untuk training, Laurie datang menggunakan kemeja, jas, dan celana bahan, serasi dengan sepatu pantofel yang mengilap.

Tidak hanya itu, sebelum pertandingan melawan Manchseter United yang diikuti dengan kemenangan ikonik 5-3 kala itu, Laurie datang mengenakan setelan parlente putih-putih, dengan sepatu pantofel putih yang mengilat. Laurie Cunningham resmi menjadi pemain kulit hitam pertama yang memperkuat Inggris pada pertandingan menghadapi Wales, pada turnamen internal antarnegara Britania Raya.

Mengilapnya permainan Laurie membuat Real Madrid terpukau dan merogoh kocek hingga £950.000, untuk memboyong Laurie ke Santiago Bernabeu pada 1979. Musim pertamanya bersama Real Madrid cukup sukses dengan meraih gelar juara La Liga dan Copa Del Rey pada musim 1979/1980, dengan mencatatkan total 41 penampilan dan mencetak 12 gol.

Di musim yang sama ada momen di mana Real Madrid mengalahkan Barcelona dua gol tanpa balas. Kala itu, pesona Laurie Cunningham memukau seisi Camp Nou. Migueli, mantan pemain belakang Barcelona yang ditugaskan untuk mengawal Laurie Cunningham di sisi kiri, sangat kewalahan.

“Dia bermain di kiri, kemudian ke tengah, melebar ke kiri, bola dikakinya benar-benar tidak bisa direbut dan sulit menghentikan larinya,” kata Migueli.

Namun prestasinya kala itu tidak membuat  Ron Greenwood pelatih timnas Inggris kala itu memanggilnya masuk skuat untuk Euro 1980. Laurie cukup kecewa. Namun tidak mau berlarut-larut, Laurie fokus untuk Real Madrid, menjanjikan di awal musim dan fase grup European Cup (sekarang Liga Champions). Namun kemudian mengalami cedera patah jari kaki yang mengharuskannya operasi. Ia kembali untuk memperkuat Real Madrid pada Final European Cup pada 1981 dalam kondisi yang tidak fit dan dipaksakan bermain, Real Madrid kalah 0-1 dari Liverpool kala itu.

Pada musim 1981/1982, cedera Cunningham kambuh dan membuatnya menepi sepanjang musim dan hanya membuat 3 penampilan tanpa mencetak 1 gol pun. Musim berikutnya Laurie Cunningham mengalami tekanan cukup berat dengan kedatangan Johnny Metgod dan Uli Stielike, yang membuatnya dipinjamkan ke Manchester United untuk bereuni dengan Ron Atkinson, mantan manajernya dulu di West Brom. Ia hanya mencatatkan 5 penampilan untuk dipinjamkan ke Sporting Gijon.

Setalah memperkuat Real Madrid, Laurie berpindah ke sejumlah klub, Marseille, Leicester City, Rayo Valllecano, Charleroi dan Wimbeldon, namun cidera menghambat karir dan permainannya. Laurie Cunningham di musim terakhirnya sebagai pesepakbola pada 1988/1989 sukses membawa Rayo Vallecano promosi ke La Liga untuk pertama kalinya dalam sejarah klub, sebelum meninggal karena kecelakaan mobil di Madrid tahun 1989 di usia 33 tahun.

Pada September 2016 lalu, Laurie Cunningham mendapatkan “Blue Plaque” dari English Haeritage, sebuah lembaga resmi Kerajaan Inggris yang mengurusi sejarah, sedangkan “Blue Plaque”, merupakan plakat bagi mereka yang diangga bisa membuat perubahan yang positif.

Dari 900 “Blue Plaque” yang ada hanya 33 yang diterima oleh orang non kulit putih, dan hanya 2 pesepakbola yang meraih penghargaan ini. Selain Laurie Cunningham, terdapat nama Bobby Moore, Kapten Tim Nasional Inggris yang meraih gelar Juara dunia 1966.

Laurie Cunningham dianggap sebagai sosok yang menunjukkan bahwa pemain berkulit hitam memiliki etos kerja baik dan professional juga dianggap  sebagai pelopor dari pemain kulit hitam untuk berprestasi di sepakbola Inggris. Ketika Laurie masih bermain di West Brom, pemain kulit hitam sering dilempari pisang dan kacang, sebuah gestur rasialis yang kala itu sering dilakukan para suporter pada tahun 70-an, sebelum Laurie Cunningham menunjukkan prestasi dan meruntuhkan stigma akan pemain berkulit hitam dan terkesan tidak bisa diatur