Lika-liku Karier Axel Witsel

Geliat Borussia Dortmund untuk mempersiapkan tim secara serius sudah dimulai sejak awal. Pergantian manajer dari Peter Stöger ke Lucien Favre, membuat penyesuaian skuat juga dilakukan. Meskipun tidak signifikan, penambahan jelas dilakukan di sektor yang dianggap kurang oleh Favre.

Sektor penjaga gawang menjadi prioritas. Pensiunnya legenda sekaligus kapten tim, Roman Weidenfeller, meninggalkan lubang besar. Kiper utama Roman Buerki memang bermain apik sebagai penjaga gawang utama Dortmund,. Namun seringkali kesalahan-kesalahan yang dilakukannya kerap merugikan tim. Menjawab instabilitas permainan Buerki, Favre mendatangkan penjaga gawang utama FC Augsburg, Marwin Hitz, yang sudah kenyang pengalaman bermain di Bundesliga.

Tapi ada yang unik dari kebijakan transfer Dortmund musim ini. Kehilangan Aubameyang musim lalu sedikit terbantu dengan adanya pinjaman Michy Batshuayi dari Chelsea. Namun musim ini mereka tidak atau belum membeli sosok striker. Mereka justru melepas dua penyerang. Andre Schurrle dipinjamkan ke Fulham dan Ivan Yamorlenko ke West Ham United dengan mahar 20 juta Paun.

Dortmund justru serius menambah amunisi di lini tengah. Mikel Merino, Marius Wolf, Thomas Delaney, dan Axel Witsel, menambah sesak lini tengah Dortmund yang sudah diisi nama-nama yang tidak asing di kancah sepakbola Eropa seperti Nuri Sahin, Shinji Kagawa, Mario Goetze, Julian Weigl, hingga Sebastian Rode.

Sorotan jelas hadir terhadap dua rekrutan gelandang Dortmund, yakni Thomas Delaney dan Axel Witsel. Delaney sempat menjadi pemain kunci bagi Werder Bremen musim lalu dan bermain gemilang. Ia tampil apik dan nyaris tak tergantikan.

Sedangkan Axel Witsel jelas merupakan sosok berkualitas dengan nama besar. Witsel merupakan angkatan generasi emas Belgia medio 2013 bersama dengan Marouane Fellaini, Hazard bersaudara, Jan Vertonghen, Vincent Kompany, dan Naser Chadli. Namun sayangnya meskipun Witsel memiliki kualitas kelas wahid dan selalu dalam radar klub-klub besar. Sampai saat ini, Witsel sama sekali belum pernah memperkuat klub elite Eropa.

Kegagalan Belgia 1998, Berkah bagi Witsel

Axel Witsel lahir dan besar di Liege, Belgia. Witsel lahir dari keluarga dengan ras yang berbeda. Ibu yang berasal dari Belgia sedangkan sang ayah berdarah Prancis-Mauritania. Witsel kecil memang sudah mencintai sepakbola sejak dini. Namun ia tidak pernah menganggap sepakbola secara serius awalnya. Ini yang membuatnya bisa dikatakan sedikit terlambat untuk memulai karirnya.

Keadaan berubah setelah Piala Dunia 1998. Georges Leekens, Manajer Tim Nasional Belgia gagal membawa Belgia tampil apik di Piala Dunia. Belgia gagal di fase grup, Leekens mengeluhkan regenerasi Belgia yang sangat lambat. Benar saja, 12  pemain Belgia yang dibawa untuk bermain di Piala Dunia 1998 sudah berusia di atas 30 tahun, bahkan kapten Belgia saat itu, Franky Van Der Elst, sudah berusia 37 tahun.

Cetak biru langsung dilakukan Federasi Sepakbola Belgia atau KBVB (atau URBSFA dalam singakatan untuk bahasa Prancis). Program jangka panjang dibuat untuk menjaring bakat-bakat muda bertalenta untuk masuk akademi. Klub juga diwajibkan menjaring bakat-bakat muda di sekitar mereka. Dokumen-dokumen berisi pedoman dasar mengenai pembibitan pemain muda diedarkan ke klub-klub Professional Belgia dua tahun setelah kegagalan Belgia pada 1998.

Segera saja, Witsel kemudian ditarik ke akademi Standard Liege yang merupakan klub di mana Witsel tinggal. Witsel masuk ke akademi di usia yang tidak lagi muda, 15 tahun. Sedangkan idelanya seorang pemain masuk ke akademi di usia 6-8 tahun.

Sejak bermain di akademi, gaya permainan Wtsel tidak berubah. Ia menguasai bola, membawa bola mendekati kotak penalti lawan, membaca dan mendikte permainan secara gemilang, juga melakukan tendakan jarak jauh. Kemampuan yang sudah menajdi bakatnya sejak kecil.

“Saya suka membawa, menahan bola sembari membaca permainan, ciri ini melekat pada saya sejak kecil menyenangkan rasanya mengetahui kemampuan saya,” ujar Witsel di Lifebogger.

Witsel langsung melesat di akademi dan langsung promosi ke tim utama Standard Liege. Bersama Standard Liege, ia mencetak 42 gol, mencatatkan 183 penampilan dan memenangi lima kejuaraan domestik selama berkarir di Les Rouges.

Musim 2007/2008 Witsel memperoleh penghargaan Belgian Golden Shoes dan Young Footballer of the Year. Witsel langsung menjadi incaran banyak klub. Satu kejadian yang mengubah permainan Witsel yang sempat brutal dalam melakukan tekel keras menjadi pemain yang lebih memotong umpan. Adalah ketika Marcin Masilewski mengalami patah kaki setelah diterjang Witsel yang membuat Witsel trauma dan memilih untuk membaca umpan dibandingkan melakukan tekel.

Uniknya Perjalanan Karier Witsel

Awal musim 2008/2009 Witsel diincar sejumlah klub seperti Juventus dan Atletico Madrid. Namun Witsel enggan pindah dan memutuskan berkarir di Belgia bersama Standard Liege. Baru pada awal musim 2011/2012, Witsel menerima pinangan Benfica.

Setahun berselang, Witsel yang saat itu diincar banyak kesebelasan Premier League secara mengejutkan hengkang ke Rusia bersama Zenit St. Peterseburg. Witsel kemudian memberikan kejutan lain setelah musim lalu hengkang ke China Super League bergabung bersama Tianjin Quanjian.

Secara logika sulit bagi seorang pemain menolak tawaran klub-klub besar seperti Juventus, Atletico Madrid, hingga Barcelona. Namun tidak bagi Witsel, masa kecil yang pernah mengalami kesulitan finansial, membuatnya memutuskan membangun fondasi finansial yang baik bagi keluarganya.

“Sepakbola sekarang menjadi bisnis, komoditas. Dan para pemain merupakan karyawan. Jadi sama seperti karyawan lain pada umumnya ketika ada sebuah kesempatan mendapatkan sesuatu secara materi lebih baik, jelas karyawan akan memilih tempat yang menawarkan penghasilan yang lebih baik. Ini bukan egois, semua dilakukan untuk keluarga mereka. Itulah yang berlaku untuk saya,” kata Witsel.

Kini bersama Dortmund, Witsel jelas akan melengkapi potongan yang hilang musim lalu: gelandang jangkar. Memang masih ada Nuri Sahin namun inkonsistensi Sahin jelas menjadi pertimbangan. Witsel sendiri mungkin mencari kesempatan untuk berkarir di klub yang lebih bergengsi di Eropa.

“Dortmund adalah salah satu klub terbaik Eropa. Saya rasa sebagai pemain profesional, Anda selalu memiliki mimpi bermain di klub besar. Kini saya telah berusia 29 tahun, bagi saya ini usia yang tepat, saya akan menampilkan yang terbaik dan mencapai target yang diberikan klub,” ucap Witsel di situs resmi klub.