Marcelo Bielsa dan Kopi Gelombang Ketiga

Foto: The Times.co.uk

Dimulai dari gelombang pertama pada awal abad ke-19. Pada masa itu, kopi mulai menjadi minuman sehari-hari yang mengharuskan orang untuk mudah menikmatinya di rumah. Akhirnya, perusahaan atau produsen kopi menitikberatkan pada inovasi kemasan. Kopi dikemas dalam kemasan kaleng, dengan menggunakan vakum agar meminimalisir udara yang tercampur sehingga mengurangi cita rasa.

Kopi instan yang lazim kita temui saat ini merupakan temuan pada era gelombang pertama. Saat itu, Katori Sato, seorang Jepang-Amerika menemukan inovasi yang disebut dehydration process. Temuannya menjadi paten kopi instan pertama di Amerika Serikat yang dinamai “Coffee Concentrate and Process Making Same”.

Penemuan istilah “gelombang” (wave) pada industri kopi ini sendiri merujuk pada artikel yang ditulis oleh Thrish Rothgeb di majalah Roaster Guild. Sebuah majalah ternama yang dikeluarkan oleh Specialty Coffee Association yang anggotanya merupakan pelaku skena kopi, mulai dari petani, roster, hingga barista.

Sampai dengan kehadiran Starbucks pada tahun 1971, publik mulai mengenal bagaimana kopi sebenarnya diproses. Perusahaan kopi asal Seattle ini memungkinkan konsumen untuk mengetahui asal muasal kopi yang mereka minum. Mengonsumsi kopi tak hanya sekadar meminum, tapi mulai dinikmati. Kopi mulai dinikmati dengan berbeda. Sajian kopi seperti Cappucino, Café Latte, Espresso, dan French Press, mulai memasyarakat, khususnya di Amerika dan Eropa. Tapi bukan tanpa kesulitan. Starbucks susah payah untuk menjalankan bisnisnya hingga bisa mempopulerkan idealismenya dalam satu dekade setelahnya.

Di era kopi gelombang kedua ini, terjadi pertumbuhan kedai kopi secara besar-besaran mengingat kebiasaan orang yang mulai berubah, bahwa kopi harus dinikmati, dan lebih jauh lagi menjadi status sosial.

Stagnansi perkembangan kopi yang minim membuat pelaku kopi mencetuskan “gelombang” baru, yakni yang dikenal sebagai Gelombang Ketiga atau Third Wave Coffee. Kebangkitan Third Wave Coffee ditandai dengan mulai tertariknya para peminum kopi terhadap kopi itu sendiri. Baik itu asal muasal biji kopi, proses pengolahan, sampai akhirnya bisa dinikmati. Bila kalian mengunjungi kedai kopi terdekat dan menemui berbagai biji kopi yang beragam yang bisa diketahui darimana asalnya, bagaimana prosesnya, dan ditanyai akan diseduh dengan cara apa, maka itulah ‘jasa’ dari kopi gelombang ketiga.

Argentina, Sepakbola, dan Marcelo Bielsa

Sepakbola melalui Argentina, negara yang menetaskan maestro-maestro taktikal juga agaknya menjadi tempat bagi lahirnya terminologi gelombang, seperti yang terjadi dalam dunia kopi. Ialah Luis Cesar Menotti. Pelatih yang membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1978 yang gemar minum kopi berjam-jam di kafe sambil menghisap rokok. Menotti menganggap bahwa intisari dari sepakbola adalah keindahan. Bagi pelatih yang dijuluki El Flaco atau Si Kurus ini menganggap bahwa kewajiban seorang pemain sepakbola adalah “….mengetahui hakikat permainan itu sendiri.” Singkatnya, bermain sepakbola adalah melulu soal keindahan. Seorang pemain tak perlu menjadi juara. Bahkan baru-baru ini Menotti mengungkapkan bahwa seorang Lionel Messi tidak berkewajiban untuk memenangi Piala Dunia bagi Argentina. Untuk kontribusinya, Menottismo bisa disebut sebagai pelatih “gelombang pertama” dengan filosofi keindahan dan bermain menyerang dalam sepakbola.

Ada juga sosok Carlos Bilardo. Pelatih yang dijuluki Si Hidung Besar ini justru berbanding terbalik soal filosofi dengan Menotti. Dalam pandangan Bilardo, pemain bak sekrup yang memegang peranan penting dalam mesin sepakbola Bilardo. Kalau Menotti menganggap keindahan adalah tujuan dari sepakbola, maka salah satu pelatih yang mempopulerkan pakem 3-5-2 ini menganggap tujuan bermain sepakbola adalah kemenangan. Tak ada yang lebih tinggi.

Kedua pelatih tersebut justru berhasil membawa Argentina menjuarai Piala Dunia. Apalagi bagi Bilardo yang nyaris menggondol trofi Piala Dunia kedua kalinya andai La Albiceleste tidak ditumbangkan oleh gol semata wayang Jerman Barat yang dicetak Andreas Brehme lima menit sebelum permainan berakhir.

Lain Menotti dan Bilardo, Argentina melahirkan pula pelatih dengan pendekatan yang menurut hemat saya menggabungkan unsur-unsur keindahan, detail, sekaligus meningkatkan kualitas permainan. Ialah Marcelo “El Loco” Bielsa.

Pria kelahiran kota Rosario, Argentina ini memang berbeda. Menurut Bielsa, setidaknya ada 29 formasi berbeda dalam sepakbola yang semua pemainnya (terutama pemain muda)  harus mencobanya. Setiap pemain harus mengerti skema mana yang harus dipakai. Karenanya, banyak yang menganggap bahwa Bielsa adalah pelatih yang mengenalkan “Gelombang Ketiga” dalam dunia kepelatihan sepakbola.

Bagi Bielsa, yang memopulerkan skema signature nya sendiri, 3-3-1-3, yang menurutnya memungkinkan tim untuk memainkan transisi dari bertahan ke menyerang (dan sebaliknya) dengan lebih mudah. Dengan formasi tersebut, sebuah tim memiliki keunggulan di lini tengah, dan juga menyerang dan bertahan dengan sama baiknya.

Formasi 3-3-1-3 ala Bielsa memungkinkan sebuah tim bertahan dengan tujuh pemain, dan menyerang dengan 6 atau 7 pemain dengan syarat seluruh pemain mampu melaukan transisi dengan cepat. Oleh karenanya, dituntut kerja sama dan pemahaman yang tinggi untuk dapat menjalankan formasi ini dengan baik.

Lebih jauh lagi, sebuah formasi tidaklah zakelijk bagi seorang Bielsa. Bahkan seorang Dimitri Payet yang pernah dilatih Bielsa di Marseille, mengatakan bahwa mereka memulai pertandingan dengan tidak menggunakan formasi! Saat itu para pemainnya hanya mendapat arahan khusus bagi tiap pemain untuk menjaga pemain lawan. Formasi 3-3-1-3 ini bisa diadaptasi ke 4-2-3-1 seperti yang ia gunakan semasa melatih Bilbao atau 4-1-4-1 yang kini ia gunakan di Leeds United.

Filosofi Bielsa bisa dikatakan terdiri dari empat komponen: fokus, mobilitas, rotasi, dan repenitización (diambil dari istilah musik yaitu improvisasi). Rotasi dan mobilitas merupakan bagian integral dari filosofi Bielsa, dengan para pemain yang bertukar posisi dan mengubah formasi mereka sepanjang pertandingan dengan tujuan mengalahkan lawan.

Memang terdengar aneh bila pendekatan man-to-man marking yang diterapkannya mampu sejalan dengan filosofi menyerang. Namun Bielsa punya pandangan lain mengenai definisi bertahan.

“Saya terobsesi dengan (sepakbola) menyerang. Ketika saya menonton video sepakbola, saya hanya melihat bagian menyerang. Dalam sepakbola saya, dalam bertahan, sangat simpel: Kami berlari sepanjang waktu,” ujar eks pemain bertahan semasa aktif bermain ini.

Bisa dibuktikan, bahwa dampak filosofi yang diterapkan Bielsa dalam melatih, berdampak kepada pelatih-pelatih yang relatif muda. Diego Simeone, Mauricio Pochettino, Marcello Gallardo, adalah mantan anak didiknya yang kini menjelma menjadi pelatih sukses. Tak ketinggalan, seorang Pep Guardiola. Secara khusus, pelatih yang disebut-sebut kalangan hipster sebagai “Bapak Tiki-Taka Modern” ini, menyebut Bielsa adalah pelatih terbaik di dunia. Penulis buku kenamaan Inverting the Pyramid: History of Soccer Tactics, Jonathan Wilson pun menyebut “Tidak ada seorang Amerika Selatan yang memiliki pengaruh (dalam sepakbola) seperti Bielsa di abad ke-21.”

Secara prestasi, Bielsa memang tidak sementereng pendahulunya, Menotti dan Bilardo. Prestasi tertingginya bagi Argentina hanyalah menjadi runner-up Copa America 2004 dan meraih medali emas Olimpiade 2004. Sementara bersama klub, ia hanya pernah meraih dua kali gelar Liga Argentina dan sebiji trofi Copa Libertadores dengan Newell’s Old Boys (1991 & 1992). Gelar Liga Argentina juga pernah ia raih bersama Velez Sarsfield pada 1998.

Tapi agaknya penghargaan dari pesepakbola dan juga pelatih yang mengaku menjadi ‘murid’ Bielsa yang banyak ini sudah cukup membuktikan bahwa Bielsa menjadi pembeda dari pelatih-pelatih jenius yang pernah dilahirkan oleh Argentina.

***

Bicara mengenai kopi, seorang Bielsa adalah penggemar kopi. Tak hanya memulai hari dengan secangkir kopi dan membaca beberapa surat kabar di pagi hari, legenda Newell’s Old Boys ini kerap terlihat meminum kopi di pinggir lapangan. Sedikit cerita lucu, Bielsa sempat viral beberapa tahun silam berkat ‘kebodohannya’ menduduki segelas kopi panas yang ditaruh asistennya di atas singgasana Bielsa (baca: cool box) saat mendampingi Marseille bertanding.

Bagi Bielsa, skema dan persiapan taktik adalah segalanya. Suatu waktu Bielsa pernah dengan gamblangnya berujar: “Jika pemain saya bukan manusia, maka saya tidak akan pernah kalah.”

Tak heran, karena mungkin ia sendiri mengakui kalau dengan filosofi taktikalnya, kesebelas pemain di lapangan dituntut bekerja keras, setidaknya untuk terus berlari dan menekan lawan sepanjang 90 menit. Maka bukan hal yang aneh ketika tim asuhan Bielsa seringkali kedodoran di penghujung musim akibat para pemainnya yang kelelahan dan bahkan cedera.

Hal lain yang menarik adalah bagaimana seorang pelatih uzur seperti Bielsa bisa memanfaatkan teknologi dengan amat baik. Bielsa amat gandrung dengan menonton video pertandingan sepakbola. Bahkan ia mempekerjakan staf khusus untuk mengedit potongan-potongan pertandingan untuk anak asuhnya. Tak hanya itu, sebuah mobil golf yang telah dimodofikasi dengan layar yang oleh para jurnalis dinamai ‘Bielsamobile’ ia ciptakan untuk memperjelas arahan taktik untuk para pemainnya pada sesi latihan. Bahkan Bielsamobile yang kerap terlihat semasa melatih Marseille, ia bawa juga kala melatih Leeds di musim ini.

 

Dalam tren kopi maupun sepakbola, sebuah stagnansi dapat melahirkan ‘gelombang’ baru. Seperti terminologi gelombang pada kopi, gelombang ketiga ini bukanlah sebenarnya perubahan yang drastis atau radikal, namun hanya penyempurnaan dan improvisasi dari apa yang terlewatkan dari gelombang-gelombang sebelumnya.

Seorang jenius seperti Marcelo Bielsa dalam sepakbola, setidaknya telah berjasa menumbuhkan kesadaran tersebut. Juga dengan jasanya dalam mengenalkan bagaimana filosofi dan taktik bekerja dalam sebuah tim, jangan heran bila dalam beberapa waktu kedepan akan lahir murid-murid Bielsa yang lain selain Simeone, Gallardo, Pochettino, Crespo, atau Guardiola.

Akhir kata, bila kalian akrab dengan kalimat: “peminum kopi, penikmat puisi, dan pengagum senja,” pada bio twitter atau instagram kaum kekinian, maka kalian para hipster sepakbola bisa menggantinya dengan:

“Peminum kopi, penikmat sepakbola, dan pengagum Bielsa.”