“Diberkati dengan teknik yang rapi dan mampu mengubah arah dengan cepat saat menguasai bola, Marko Pjaca bisa menjadi mimpi buruk yang nyata bagi pertahanan lawan dengan larinya yang cepat dan langsung,” tulis Four Four Two ketika mengulas sang pemain dalam sebuah artikel pada Juli 2016.
“Dianggap sebagai pemain serba bisa, posisi terbaik Marko Pjaca ada di sayap kiri, meski dia juga bisa tampil impresif di sayap kanan. Dia juga sering digunakan sebagai (pemain) nomor 10 atau second striker,” tambah ulasan tersebut.
Tidak heran jika saat itu dia menjadi salah satu rising star Kroasia yang dianggap sebagai prospek muda yang sangat berbakat dan menjanjikan dalam dunia sepakbola.
Salah satu pelatih terbaik dunia, Pep Guardiola, ketika masih menangani Bayern Munich di Jerman, pun bahkan sampai memberinya label sebagai “bakat luar biasa”, setelah dia menyaksikan sendiri penampilan Marko Pjaca melawan timnya di Liga Champions. Dia juga meyakini bahwa “karier besar” sudah menanti sang pemain di masa depan. Ketika itu, bakat muda tersebut masih berusia 21 tahun.
Bintang Muda
Marko Pjaca jadi Pemain Terbaik Liga Kroasia berturut-turut pada 2015-2016, sekaligus membantu klubnya, Dinamo Zagreb meraih double winners domestik. Dia juga menjadi pemain muda terbaik liga pada 2015, saat usia 20 tahun. Saat itu musim perdananya bersama klub paling sukses di negaranya tersebut sejak direkrut awal musim, dua bulan sebelum debut di Timnas Kroasia dalam usia 19 tahun.
Sebelumnya, Marko Pjaca mengawali karier profesional bersama klub kota kelahirannya, Lokomotiva Zagreb pada 2012, ketika belum genap 17 tahun. Hanya dalam lima musim, dia pun mampu menarik perhatian banyak klub raksasa Eropa; Liverpool, AC Milan dan Inter Milan termasuk di antaranya. Namun, akhirnya dia memilih pindah ke Juventus, setelah tampil memukau dalam ajang Euro 2016.
“Dia adalah pemain muda yang ditakdirkan menjadi hebat, karena dia selalu menciptakan peluang-peluang penting saat tampil,” kata pelatih Juventus, Max Allegri tentang Marko Pjaca dilansir Football Italia, enam bulan setelah direkrut dengan biaya 23 juta Euro.
Dia pun membuktikannya dengan satu gol pada leg pertama babak 16 besar Liga Champions 2016/2017 di markas Porto sebulan kemudian.
“Dia adalah pemain muda dengan kualitas hebat, dan ditakdirkan untuk jadi hebat. Tetapi dia perlu berkembang, karena dia datang dari Dinamo Zagreb di liga lebih mudah, di mana dia bintangnya,” ucap Allegri menambahkan. Sejak itu, Marko Pjaca semakin sering mendapat kesempatan bermain, bahkan beberapa kali sebagai starter di Serie A, hingga Juventus meraih Scudetto di akhir musim.
ACL dan Peminjaman
Sayangnya, akhir musim datang terlalu cepat bagi Marko Pjaca saat itu. Setelah mengalami masalah betis yang membuatnya absen selama 2,5 bulan menjelang musim dingin, cedera paling menakutkan bagi pesepak bola muncul menghantuinya. Dia mengalami cedera ACL (anterior cruciate ligament) usai dilanggar lawan ketika membela Timnas Kroasia dalam laga persahabatan pada 28 Maret 2017.
Alhasil, Marko Pjaca harus menepi selama tujuh bulan. Setelah sembuh menjelang akhir 2017, dia malah dipinjamkan ke klub Jerman, Schalke 04. Namun, pemain setinggi 1,86 meter itu kesulitan kembali ke permainan terbaiknya. Memasuki musim baru 2018/2019, dia lagi-lagi disekolahkan, kali ini ke tim Serie A lainnya, Fiorentina selama satu musim penuh. Naasnya, cedera ACL kembali terjadi.
Sejak itu, Marko Pjaca tidak pernah benar-benar kembali menemukan performa tertingginya. Masa peminjaman pun jadi semakin akrab dengan kariernya. Dia pernah dikirim ke Anderlecht di Belgia pada paruh kedua musim 2019/2020, serta peminjaman jangka panjang ke Genoa dan Torino di Serie A dalam dua musim terakhir. Musim ini, dia ‘belajar’ ke Empoli, di usia hampir memasuki 28 tahun.
Suatu ketika pada September 2016, dua bulan setelah kepindahannya ke Turin, Marko Pjaca pernah mendapat pertanyaan dari wartawan; jika bisa kembali ke masa lalu apakah dia masih memilih untuk bergabung dengan Juventus? Saat itu, dia menjalani awal yang cukup berat bersama klub berjuluk La Vecchia Signora itu, karena minim menit bermain dan kesulitan bersaing dengan para pemain senior.
Namun, Marko Pjaca memberi jawaban tegas. “Saya benar-benar akan membuat pilihan yang sama, tentu saja! Saya berada di salah satu klub terbaik dunia, saya bahagia di Juventus. Saya bisa belajar di sini, saya ingin bertahan di Turin selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Kini, dia pun hampir tujuh musim bersama Juventus, tapi lebih banyak berseragam klub lain; dan mungkin, jawaban itu sudah berubah.
Sumber: Four Four Two, Football Italia (1), (2), Transfermarkt