“Di Catalonia, ada sebuah program selama setengah jam yang menampilkan gol-gol terbaik tiap pekannya. Dan saya melihat gol-gol yang tercipta secara apik tiap pekannya dan selalu ada satu nama yang sama,” ujar Xavi Hernandez mengenang masa kecilnya.
Sekilas perkataan Xavi di atas seperti menjelaskan pemain Liga Inggris idolanya, Paul Scholes. Namun tidak kali ini. Pernyataan yang diutarakan Xavi adalah kekagumannya kepada pemain Inggris lainnya: Matt Le Tissier.
Matt Le Tissier adalah ikon Southampton era 1990-an dan hanya memperkuat Southampton sepanjang karier profesionalnya. Di era tersebut, Southampton bukanlah klub besar bahkan seringkali berkutat di zona merah. Prestasi terbaik mereka era itu menempati posisi ketujuh klasemen akhir musim 1989/1990. Bahkan kesuksesan Southampton untuk bisa bertahan di divisi teratas Liga Inggris, tidak lepas karena suburnya Matt Le Tissier
Nomor 10 Terbaik di Inggris
Asing rasanya mendengar nama Matt Le Tissier adalah pemain timnas Inggris. Memang, Matt lahir dan besar di Guernsey, sebuah pulau kecil di selat Inggris dan berbatasan langsung dengan Prancis. Meskipun di bawah naungan United Kingdom, namun pengaruh Prancis cukup kental di sini. Jadi tidak aneh ketika Matt Le Tissier sempat dicampakkan timnas Inggris, Gérard Houllier yang saat itu menjabat sebagai asisten Manajer Prancis mencoba merayu Matt untuk memperkuat Prancis.
Awal kariernya, Matt lebih dahulu mendaftar untuk akademi Oxford United yang saat itu sedang melakukan pencarian bakat di Guernsey. Sayangnya, ia gagal masuk ke akademi Oxford United. Setahun berselang, Southampton menerima Matt dan tidak lama menembus tim utama Southampton, tepatnya pada musim 1986/1987.
Musim debutnya cukup apik dengan mencatatkan 31 penampilan dan mencetak 10 gol bersama The Saints. Sempat limbung satu musim setelahnya, Matt menunjukkan tajinya sebagai pesepakbola yang cukup subur untuk urusan mencetak gol. Puncaknya pada musim 1989/1990 ia mencetak 24 gol dari 44 penampilan di semua ajang. Pencapaian ini langsung diganjar PFA Young Player of the Year musim 1989/1990.
Posisi Matt Le Tissier bukanlah striker. Posisinya adalah tepat di belakang striker sebagai gelandang serang, atau sedikit melebar di sayap kanan. Matt seringkali dipasang di belakang Alan Shearer ataupun Rodney Wallace. Michael Cox, jurnalis senior Inggris, menyebutkan Matt adalah pemain nomor 10 terbaik yang pernah dimiliki Inggris.
Bila Anda berpikir bahwa Matt merupakan sosok seperti Eden Hazard atau Juan Roman Riquelme, Anda salah. Tinggi Matt Le Tissier adalah 185 sentimeter dengan berat 89 kg. Jika Higuain diprotes karena dianggap terlalu gemuk, sama halnya dengan Matt. Masalah utama Matt adalah berat badan.
Pada latihan pramusim 1994/1995, penggawa Southampton di bawah asuhan Alan Ball Jr., ingin mengisi liburan dengan bermain Golf. Ball, kemudian memutuskan untuk membawa anak asuhnya ke pub terdekat untuk berpesta seharian. Ketika semua pemain berpesta hingga pukul 2 pagi dan pulang dalam keadaan mabuk, hanya Matt yang masih dalam kondisi sadar.
Matt tidak meminum alkohol namun Matt menghabiskan malam dengan makan dan minum soda. Sebuah kebiasaan yang membuatnya cukup gemuk sebagai pemain bola. Belum lagi godaan makanan cepat saji yang ia konsumsi setiap selesai berlatih dan satu porsi Fish and Chips sebelum bertanding.
Tapi itu tidak menghentikannya sebagai salah satu pemain terbaik di eranya. Matt memang tidak memiliki kemampuan berlari cepat, karena ia sering kehabisan nafas setelah beradu lari. Namun kemampuan menggiring, kelincahan, dan pengambilan keputusan Matt le Tissier adalah nomor wahid.
Gol-gol spektakuler seringkali ia lakukan, baik salto, melakukan gerakan The Aurelio sebelum melakukan tendangan menghujam gawang. Ia juga piawai melakukan gerakan tipuan melewati 1-2 pemain sebelum melakukan chip melewati kepala penjaga gawang. Yang paling diingat adalah ketika Matt melakukan sepakan lob melewati kepala Peter Schmeichel.
Klub-klub besar mengantre untuk mendapatkan tanda tangannya, seperti Chelsea, Arsenal hingga Manchester United pasca kehilangan Eric Cantona. Namun Matt setia dengan Southampton hingga karirnya usai. Catatan golnya yang impresif dan selalu mencapai dua digit tiap musimnya, adalah alasan Southampton selalu lepas dari jeratan degradasi.
Dicampakkan Tim Nasional Inggris
Sayangnya performa apik Matt bersama Southampton gagal dilirik oleh Inggris saat itu. Terry Venables dan Glenn Hoddle, dua manajer Tim Nasional Inggris menganaktirikan performa Matt bersama Southamtpon.
“Mungkin taktik mereka tidak cocok dengan saya,” ujar Matt ketika dirinya tidak dipanggil Tim Nasional Inggris untuk Euro 1996.
Baik Terry Venables dan Glenn Hoddle lebih menyukai tipikal pemain yang mampu bergerak cepat seperti Steve McManaman atau Paul Gascoigne. Formasi yang digunakan Inggris saat itu 4-4-2 memang cukup sulit bagi Matt berduet dengan striker. Gérard Houllier kemudian sempat merayu Matt untuk bermain bagi Tim Nasional Prancis, namun ditolak oleh Matt sendiri.
Matt mencatatkan delapan penampilan bersama Tim Nasional Inggris. Glen Hoddle yang menjabat sebagai Manajer Inggris kala itu (Hoddle merupakan idola Matt), memanggilI Matt dalam kualifikasi Piala Dunia 1998, dimana Inggris bertemu dengan Italia tahun 1997 di Wembley.
Matt berduet dengan Steve McManaman dalam formasi 3-4-2-1 dibelakang Alan Shearer. Matt terlihat kesulitan, ia sering kehilangan bola bahkan menjadi bulan-bulanan pemain Italia. Penampilannya jauh dibandingkan pemain dengan posisi no 10 Italia, Gianfranco Zola. Inggris kalah 1-0 di Wembley, sekaligus kekalahan pertama Inggris di Wembley sepanjang sejarah.
“Ini bukan pertaruhan (untuk memainkan Le Tissier) ketika Anda merasa permainannya akan ketat dan pintu mungkin perlu dibuka kuncinya,” kata Hoddle setelah kekalahan atas Italia. “Le Tissier, dengan bakatnya, bisa membuka ketatnya pertahanan Italia itu.”
Tapi Inggris kehilangan kepercayaan terhadap Matt. Matt bahkan bermain untuk Tim Nasional Inggris B, yang berisi pemain-pemain divisi kedua Inggris, ironisnya Matt bermain cemerlang bersama Tim Nasional Inggris cadangan ini. Menurut Matt kesulitannya bermain bersama Inggris adalah pola 4-4-2 yang memang dianut secara khusyuk oleh para Manajer Inggris. “Formasi itu tidak pernah tepat untuk saya, saya adalah nomor 10 dan itu tidak akan berubah,” ujar Matt di BBC. Matt Le Tissier memutuskan pensiun pada musim 2001/2002.
Michael Cox dalam bukunya The mixer, berandai-andai. Apabila Matt Le Tissier bermain di Premier League saat ini, ia akan menjadi pemain penting karena banyaknya kesebelasan dengan formasi satu striker. Dukungan dari lini kedua atau pemain dibelakang striker akan sangat vital pengaruhnya.
Matt Le Tissier memang tidak akan banyak melakukan sprint atau gerakan-gerakan seperti Hazard. Namun Matt akan efektif memanfaatkan ruang yang ia dapat dan itu akan mempermudah tim dalam meraih kemenangan. Sungguh Matt Le Tissier adalah bakat yang tersia-sia oleh Inggris, mungkin Terry Venables dan Glenn Hoddle akan menyesalinya dikemudian hari.