Mungkin sudah lazim bila pesepakbola menulis buku mengenai biografi dirinya sendiri atau sisi lain sepakbola. Namun akan sedikit tidak lazim apabila judul buku yang ditulis pesepakbola adalah “555 Questions and Answers on Women, Money, Politics and Football”, dan ditulis ketika waktu senggang sang pemain.
Dan akan lebih aneh apabila pemain (dan penulis buku) tersebut memperoleh gelar sarjana jurusan desain fashion. Bahkan lulus dengan Indeks Prestasi memuaskan dan menyelesaikan kuliahnya dalam waktu tepat waktu, di sela-sela kesibukannya sebagai pesepakbola professional.
Kedua kejanggalan atau keunikan yang Anda baca barusan, hanya segelintir dari keunikan pesepakbola yang baru saja memutuskan pensiun bernama, Andrey Sergeyevich Arshavin, atau yang kita kenal dengan nama Arshavin. Pemain asal Rusia ini memutuskan akan gantung sepatu di akhir musim ini.
Tidak Diacuhkan Rusia pada Awalnya
Andre Arshavin, lahir di Leningard atau sekarang dikenal dengan Saint Petersburg, Rusia 37 tahun silam. Darah sepakbolanya mengalir dari sang ayah yang merupakan pesepakbola amatir. Sang ayah pula-lah yang mendorongnya untuk berkarier di sepakbola.
Uniknya Arshavin pernah secara tekun berlatih Draughts, permainan semacam catur. Bahkan ketika masuk ke Akademi Zenit St. Petersbrough pada usia tujuh tahun, Arshavin sempat mengalami dilema apakah memilih sepakbola ataukah Draughts. Soalnya Zenit juga memiliki klub untuk kedua olahraga tersebut. Sampai akhirnya atas dorongan sang ayah, ia memilih sepakbola.
Debut Arshavin di Zenit terjadi ketika usianya masih 18 tahun pada 1999. Posisinya saat itu adalah winger yang akan berubah menjadi fullback. Begitulah hingga pada musim 2000/2001, Arshavin memilih untuk bermain lebih menyerang dan menjadi gelandang serang.
Penampilan apiknya bersama Zenit membuatnya dilirik pelatih Rusia saat itu, Oleg Romantsev. Namun karena usianya yang masih belia, itu membuatnya urung untuk berangkat ke Piala Dunia Korea-Jepang. Padahal di musim yang sama Arshavin sukses membawa Zenit melaju hingga final Intertoto 2002.
Setahun setelahnya, Arshavin masuk dalam skuat bayangan untuk Euro 2004. Di sela-sela kesibukannya, Arshavin meluncurkan buku yang membuat semua orang mengernyitkan dahi karena berjudul 555 Questions and Answers on Women, Money, Politics and Football”. Pada akhirnya Arshavin kembali tidak dibawa ke skuat akhir Rusia untuk berlaga di Euro 2004.
Peluang sempat terbuka ketika Piala Dunia 2006 digelar di Jerman. Sayangnya Rusia tidak lolos untuk putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman.
Kesempatan datang ketika di Euro 2008, Arshavin masuk dalam 23 skuat final untuk berlaga di Austria-Swiss. Skuat Rusia arahan Guss Hiddink mengejutkan semua peserta lewat penampilan apik mereka. Nama-nama seperti Yuri Zhirkov, Diniyar Bilyatedinov, Roman Pavlyuchenko, mengguncang lewat kesuksesan mereka melaju hingga semifinal, sebelum dikalahkan Spanyol 0-3, yang keluar menjadi juara Euro 2008.
Dipinang Arsenal
Penampilan apik Arshavin bersama Rusia membuatnya diincar banyak klub. Zenit menerima banyak tawaran untuk Arshavin, termasuk dari Tottenham Hotspur dan Porsmouth. Namun Arshavin akhirnya memilih Arsenal. Arshavin pindah dengan mahar yang tidak disebutkan.
Bersama Arsenal, Arshavin memang gagal mencatatkan prestasi. Namun yang akan dikenang oleh para supporter The Gunners adalah sebuah pertandingan menghadapi Liverpool di Anfield. Saat itu Arshavin secara tidak terduga mencatatkan bukan hanya Hattrick tetapi Quatrick.
Liverpool saat itu diperkuat oleh salah satu duet lini tengah terbaik seantero Inggris, Xabi Alonso dan Javier Mascherano, dibuat kelimpungan lewat kecepatan Arshavin. Luar biasanya pergerakan tanpa bola Arshavin tidak terdeteksi oleh duo gelandang terbaik ini.
Arshavin mencatatkan 4 gol yang membuat orang terkejut lewat daya ledaknya pada pertandingan tersebut. Beruntung, Liverpool masih mampu menyamakan kedudukan dengan mencetak 4 gol dan berakhir imbang 4-4.
Sayangnya, karie Arshavin di Arsenal terganggu karena cedera dan persaingan lini depan Arsenal yang ketat. Saat itu Arshavin merupakan pilihan ketiga di bawah Robin van Persie dan Theo Walcott. Belum lagi adanya Emmanuel Adebayor semakin membuat Arshavin tersingkir. Untuk menyelamatkan kariernya, ia memutuskan kembali ke rumah dan bermain bersama Zenit.
Musim 2012/2013 ia kembali memperkuat Zenit hingga pada musim 2014/2015 Zenit melepasnya ke Kuban krasnondar. Usia yang semakin menua berdampak pada daya ledak dan permainan cepat ala Arshavin. Ia bahkan sempat bermain sebagai gelandang bertahan, mirip apa yang terjadi dengan Giggs ketika ia kehilangan kecepatannya.
Musim 2016/2017 Arshavin memutuskan pindah ke Kazakhstan dan bermain dengan Kairat. Bersama Kairat ia masih bisa mencatatkan performa impresif dengan mencetak 24 gol dari 76 penampilan. Usia yang semakin menggerogoti penampilannya memaksanya gantung sepatu musim ini.
Mungkin ia tidak akan terlalu dikenang karena prestasinyapun tidak begitu impresif, namun para suporter Arsenal tidak akan pernah lupa daya ledaknya kontra Liverpool.