Sepertinya, sudah lama sekali tidak melihat Inggris bisa tampil jauh di kompetisi besar sekelas Piala Dunia 2018. Ya, meskipun pada akhirnya mereka kalah dari Kroasia, tapi yang terpenting mereka sudah berhasil masuk ke semifinal (lagi) setelah sekian lama.
Jika mau bernostalgia, orang terakhir yang bisa membawa negara itu tampil jauh sampai ke babak semifinal Piala Dunia adalah Bobby Robson, pria yang meninggalkan warisan luas sebagai penyelamat, pemimpin, dan juga mentor bagi pelatih Inggris saat ini, Gareth Southgate.
Ketika itu Sir Bobby Robson masih memimpin pemain-pemain seperti Gary Lineker, Chris Waddle dan Paul Gascoigne di skuatnya. Kala itu pasukan The Three Lions berhasil masuk ke semifinal Piala Dunia Italia pada 1990. Robson mungkin tidak bisa membayangkan jika pencapaian yang berhasil ia peroleh itu akan terulang lagi 28 tahun kemudian. Tapi apadaya, sembilan tahun lalu, Robson sudah meninggal dunia.
Meskipun begitu, warisannya masih tetap melesat jauh, melampaui kokohnya patung-patung perunggu yang berdiri dengan bangga di luar Portman Road dan St. James Park. Itu semua tak ada apa-apanya dibanding jasanya sangat dikenang para suporter Inggris, dan bahkan juga banyak orang.
Membuat yayasan yang membawa banyak berkah
Selain dedikasinya untuk pasukan The Three Lions itu, ia juga mendirikan Yayasan Sir Bobby Robson 16 bulan sebelum kematiannya. Sampai saat ini, yayasan tersebut telah mengumpulkan lebih dari 12 juta paun untuk program perawatan dan penelitian kanker melalui NHS. Benefit dari program ini telah membantu mengubah sistem rumah sakit Freeman, Newcastle, menjadi pusat kanker spesialis internasional.
Penggalangan dana untuk yayasan mewakili sebagian besar alasan mengapa, beberapa hari Jumat yang lalu, ruang parlemen Pensiunan yang megah di Redhills, mengadakan pemutaran khusus film dokumenter untuk Bobby Robson. Pria ini dinilai sangat berjasa untuk yayasan tersebut. Ia lebih dari seorang Manajer yang menikmati kesuksesan besar bersama Ipswich, PSV Eindhoven, Porto, Sporting, Barcelona dan Newcastle. Ia adalah pria lembut yang spesial.
Sepanjang jalan film dokumenter yang disutradarai oleh Gabriel Clarke dari ITV itu, terdapat beberapa pernyataan yang sangat langka dari Mourinho dan Guardiola yang sama-sama menyetujui sesuatu soal Bobby Robson. Di sisi lain mereka adalah orang yang bekerjasam dengannya saat masih di Barcelona. Adapun Guardiola dan Mourinho, mereka sama-sama mengenang pria itu dengan mengatakan sebagai “salah satu orang paling baik yang pernah ditemui sepanjang hidup.”
Bahkan, Mourinho mengambil satu pernyataan semangat dari Robson, yang telah menginspirasinya selama ini: “seseorang hanya mati ketika orang terakhir yang mencintainya meninggal.” Kata-kata itu pula yang diserap oleh para pemain Gareth Southgate saat tim Inggris diperintahkan untuk menonton film tersebut di malam Piala Dunia.
Selain para pemain Inggris, yang menonton film tersebut juga termasuk ada istri Robson, Lady Elsie, serta keluarga dan teman-temannya dari desa asal mereka di Langley Park. Mereka mendengarkan dan menonton film tersebut dengan serius dan khikmat. Apalagi ketika seorang pria berdiri dan berbicara tentang kenangannya saat menerima perawatan yang menyelamatkan hidupnya setelah melakukan pengobatan yang didanai oleh Yayasan Robson.
Sifat dan karakter yang menginspirasi
Di layar lebar tersebut, Mourinho -yang pada awalnya dipekerjakan sebagai penerjemah Robson- berbicara tentang kemampuan spesialnya yang luar biasa. Robson dianggap seperti bunglon yang bisa beradaptasi dengan segala situasi yang ada disekitarnya. Padahal, semua orang tau bahwa mantan pelatih timnas Inggris itu memulai kehidupannya di usia 15 tahun, di mana ia bekerja di tambang batu bara di tambang Langley Park. Namun, hal ini tidak membuat karakternya menjadi keras.
“Dia seperti bunglon. Dia adalah pria yang spesial. Di beberapa situasi, dia sangat mudah beradaptasi. Saat di inggris dia menjadi pria Inggris yang lembut, dan saat di Barcelona dia spontan menjadi seorang Catalan,” jelas Mourinho.
Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari Bobby Robson. Dengan sisi kerendahan hatinya, kecerdasan emosionalnya dan kepercayaan dirinya, karakter-karakter ini berhasil membuat Robson kebal dari culture shock dan hal baru yang dialaminya.
Karakter Robson itu juga yang sepertinya memberikan sugesti kesuksesan kepada Southgate untuk skuad Inggris di Piala Dunia 2018. Penerapan yang dilakukan Southgate terlihat mirip dengan skema yang dipakai Robson kala itu. Ini terbukti dari upayanya bersama seorang psikolog tim bernama Dr. Pippa Grange dalam membersihkan pemain-pemain baru yang memiliki emosional labil dan sulit beradaptasi.
Tak bisa dipungkiri, jasa Bobby Robson sudah sangat terkenal dikalangan sepakbola Inggris. Mantan pemain Inggris, Terry Butcher, pun merasa demikian. Ia bahkan percaya bahwa manajer lamanya itu akan menerima sebuah penghargaan jika ia masih hidup sekarang. “Bobby adalah orang yang menginspirasi. Ia mungkin mendapat penghargaan jika masih hidup sekarang,” tutur Butcher.
Sisi lain dari Sir Bobby Robson
Namun, di antara sifat dan karakter baiknya itu, terdapat pula beberapa sifat dan karakter yang mungkin bisa dianggap tidak baik. Sisi kemanusiaan dan apresiasi hidupnya sebagian besar adalah hanya “tentang nuansa yang tidak jelas”. Sebagian sifat dan karakter Robson ini membuatnya menjadi orang yang ’abu-abu’. Ini wajar, karena ia adalah manusia. Manusia punya sisi baik dan buruk. Robson juga bukanlah malaikat, dan ia bisa berubah menjadi orang yang sangat keras kepala.
Bahkan Gareth Southgate sekalipun, meskipun memiliki cara yang agak lebih bersahaja dalam menangani Inggris ketimbang Robson, ia juga memiliki sikap tertentu yang dinilai buruk. Sebagai contohnya, saat Southgate menjadi kapten Middlesbrough, ia secara teratur menantang manajernya Steve McClaren. Ia jugalah orang yang membuat Wayne Rooney mengakhiri kariernya di Inggris dengan cara yang dinilai sangat kejam.
Maka sama halnya dengan Bobby Robson. Ia dicap sebagai manajer yang terampil dalam merendahkan orang lain dengan nada suara yang ‘sopan’ namun membabi buta. Ia juga sangat to the point dalam menyikapi sesutau. Terutama soal media ataupun orang terdekatnya yang bermuka dua. Bahkan sebelum Piala Dunia Italia 1990, ada stau momen saat Robson mengetahui siapa teman-teman sejatinya ketika ia menjadi manajer PSV di musim panas tahun itu.
Media di Inggris lalu membahasnya di halaman belakang tabloid mereka, dan mencapnya sebagai seorang “pengkhianat”. Dan di dalam film dokumenter yang ditayangkan di Redhills, Lady Elsie menjelaskan betapa menyakitkan perasaanya saat melihat suaminya digunjing dan dikecam banyak media sepakbola di Inggris.
Menjadi mentor bagi si penerusnya
Keadaan iklim sosial yang tergambar saat ini sangatlah berbeda jauh dari keadaaan 10 sampai 15 tahun terakhir. Meskipun, keadaannya masih bisa sama kasarnya dengan era yang dialami Bobby Robson ketika masih melatih. Gareth Southgate sudah merasakan semua hal ini. Ia pun mengklaim bahwa banyak hal telah berubah dengan cepat sejak ia pensiun sebagai pesepakbola.
Sebelumnya, pelatih Inggris itu merasakan kerapuhan struktur manajemen klub selama periode yang sulit, frustasi dan terdegradasi ketika ia diplot sebagai pelatih pengganti McClaren di Middlesbrough. Kala itu Southgate sangat membutuhkan sosok yang bisa mengajarinya dalam menyikapi perosalan tersebut.
Entah kebetulan atau bukan, di atas semua kesulitan yang ia hadapi itu, Robson lah yang tiba-tiba datang kepadanya. Tuhan seperti menjawab doa Southgate saat itu. Robson pun kemudian menjadi mentornya, dan terlibat dalam mengeraskan tekadnya untuk mendulang kesuksesan dalam melatih sebuah tim.
“Bobby datang ke Middlesbrough untuk berbicara dengan saya dan memberi saya dukungan. Itu sangat spesial. Dia adalah pria sejati yang telah membantu anak didiknya,” ungkap Gareth Southgate.
Dan itu semua terbukti. Bahkan sampai sekarang. Sentuhan yang sangat berkelas dari seorang pria fenomenal yang datang tepat waktu, berhasil membantu Southgate menavigasi langkah rumit Inggris ke semifinal Piala Dunia.
Ya, meskipun sekali lagi, Inggris harus kalah dari Kroasia dengan skor akhir 2-1, tapi setidaknya mentalitas dan aura kesuksesan warisan Robson sudah sempat terpancar dan dipertunjukkan di kompetisi bergengsi empat tahunan tersebut.
***
Terlepas dari semua itu, Sir Bobby Robson adalah seorang yang kharismatik. Bahkan tak bisa dipungkiri lagi bahwa ia sudah menginspirasi banyak orang -itu termasuk Garteh Southgate dan para anak asuhnya di skuad Inggris.
Namun persoalannya sekarang adalah bukan menyikapi siapa yang sudah terinspirasi olehnya atau tidak terinspirasi olehnya. Akan tetapi, persoalannya adalah bagaimana cara mengambil inspirasi dari Robson untuk membuat Inggris memenangkan kompetisi bergensi sekelas Piala Dunia.
Meski sebenarnya Robson dan Southgate sudah sama-sama tampil jauh di kompetisi besar tersebut, namun semua itu belum memuaskan hasrat dan mimpi para suporter The Three Lions. Karena pada kenyataannya, sebuah kesuksesan itu harus sinkron dengan apa yang akan menjadi hasil akhirnya, dan Inggris belum berhasil melakukan hal ini.
Ya, semoga saja mereka bisa mewujudkan mimpi-mimpi para suporternya itu empat tahun kemudian.