Michael Laudrup, Seniman Sepakbola yang Tak Butuh Pengakuan (2)

Michael Laudrup memiliki kemampuan yang menakjubkan untuk memainkan bola dengan akurasi sempurna di semua titik pada langkah kakinya. Menyapu umpan silang, backheel, persilangan kaki kiri ke tiang belakang, umpan silang kaki kanan ke tiang depan, dan berbagai jenis trik pada bola berhasil ia kuasai dengan mudah.

Yang terpenting, kemampuan tersebut diselimuti kesulitan yang sangat tinggi. Bagaimana tidak? Karena rasanya sulit untuk mengetahui kapan umpan Laudrup datang, dan hal tersebut sering membuatnya sangat tidak terkendali dari sudut pandang pemain defensif lawan. Ketika Laudrup meninggalkan Barcelona, ​​Stoichkov sempat mengatakan bahwa ia merasa iri dengan setiap umpan yang diterima Iván Zamorano di Real Madrid. Pondasi umpan dan dribbling Laudrup adalah sebuah visi yang selalu berujung gol bagi timnya.

Pelatih Real Madrid kala itu, Jorge Valdano, mengatakan jika ‘Laudrup memiliki mata di mana-mana’, sementara Zamorano selalu mengatakan dengan nada bercanda bahwa rekan satu timnya itu memiliki tiga mata. Melihat semua fakta mengesankan tersebut, jadi, mengapa Michael Laudrup tidak pernah menerima pengakuan dari bakat murninya itu? Yang pasti, semua bukan karena kurangnya rasa hormat dari rekan-rekannya, dan jika dilihat lebih signifikan, rata-rata dari mereka justru menganggap Laudrup sebagai salah satu ikon elit pesepakbola.

Dukungan dan pujian manis di atas semua pengakuan fana

Dua bintang Barcelona saat ini, Lionel Messi dan Andreas Iniesta, pun tahu kapabilitas Michael Laudrup adalah anugerah terbaik yang pernah ada di dunia sepakbola. “Saya sangat mengerti mengapa dia dianggap salah satu pemain terbaik di sejarah Barcelona dan bahkan dunia,” pungkas Messi. “Siapa pemain terbaik dalam sejarah menurut saya? Jelas, Michael Laudrup,” ungkap Andrés Iniesta.

Bahkan, mendiang Johan Cryuff, yang juga menjadikan Laudrup sebagai anak didikan yang paling terbaik di Barcelona, sempat mengatakan jika permainan sepakbolannya kerap memperlihatkan sebuah perwujudan mimpi indah. “Saat Michael memainkan permainan sepakbolanya, itu semua terlihat seperti mimpi, ilusi ajaib dan tak seorang pun di dunia bisa mendekati tingkatnya,” ungkap Cruyff.

Tak terlepas dari semua itu, di atas semua ‘pengakuan fana’ publik soal Michael Laudrup yang menjadi pemain terbaik di generasinya, semua mantan rekan satu tim dan pemujinya mencakup Bebeto, Ronaldo, Ronald Koeman, Stoichkov, Gheorghe Hagi, Ronaldinho, Rivaldo, Davor Suker, Clarence Seedorf, Figo, Zinedine Zidane, Cristiano Ronaldo, Xavi, Iniesta, Luis Enrique, Guardiola, Romário dan Raúl, adalah sumber pengakuan nyata akan kapabilitasnya.

Mungkin, Michael Laudrup sempat menderita karena ketidakberdayaannya, reputasinya sebagai pesepakbola dan kepuasannya untuk memainkan peran lain selain bermain sepakbola. Seperti yang pernah dikatakan Michel Platini, “Michael Laudrup memiliki segalanya kecuali satu hal: ‘dia tidak cukup egois’.”

Mungkin semua itu benar. Seperti apa yang juga dikatakan Cruyff, Michael Laudrup merasa nyaman dengan sepakbola yang ia mainkan adalah sebuah bentuk ‘seni’, dan sebagai usaha membangun estetika yang ada di dalamnya. Seorang pemain dengan pemikiran seperti itu, sangatlah langka dalam sepabola. Terlebih lagi, menghargai nilai seni yang ada di dalam permainan sepakbolanya itu sendiri, menjadi suatu hal yang sangat jarang sekali dinikmati sebagian besar pesepakbola modern.

“Seandainya Michael lahir di sebuah tempat miskin di Brazil, atau Argentina, dengan bola sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan, dia akan dikenali sebagai pemain jenius terbesar dalam permainan paling terkenal ini. Dia memiliki semua kemampuan untuk mencapainya, tapi dia tidak memiliki naluri ambisi yang bisa mendorongnya ke sana,” tandas Cruyff.

Bahkan jika Cruyff benar, itu semua bukanlah sebuah alasan untuk mengurangi kehebatan Laudrup. Setiap tim hebat, terdiri dari para pemain ambisius dan seniman sepakbola. Hal ini adalah anugrah yang menjadi teka-teki membingungkan sampai saat ini. Laudrup membuat sepakbola terlihat lebih indah dan lebih anggun dibanding permainan siapapun sejak master putra mahkota kelahiran Bleanda sekaligus seniornya sendiri, Johan Cruyff. Tapi pengakuan terhadap dirinya, sangat jauh berbanding terbalik dengan apa yang telah dilakukannya.

Pada akhirnya, karier pasca pensiun Michael Laudrup terasa sedikit mengejutkan. Ia beralih profesi sebagai pelatih Swansea pada 2012. Laudrup pun sangat dekat dengan bek senior Swansea, Alan Tate. Tate pun sempat mengatakan kepada sebuah stasiun radio (pada Agustus 2012) bahwa kedatangan Laudrup sebagai manajer tim sangatlah spesial. Ia pun masih menganggap Laudrup sebagai ‘pemain terbaik’ di usianya yang saat itu meginjak 48 tahun. Namun, presenter radio tersebut tertawa. Alih-alih menertawakan mereka, Tate tidak bergeming, dan mengatakan jika pernyataannya itu bukanlah sebuah lelucon.

Empat belas tahun setelah pensiun, keagungan Laudrup akhirnya ‘jatuh’ dan berubah menjadi bakat manusia biasa. Terlepas dari semua itu, bagian terbaik dari satu sampai dua dekade terakhir, adalah permainan ajaib yang selalu ia tunjukkan untuk tim yang diperkuatnya, di mana hanya para ‘malaikat’ dan Johan Cruyff saja yang bisa melakukan semua itu.

 

Sumber : The Guardian