Mimpi Mahmoud Wadi, dari Gaza menuju Madrid.

Bagaimana rasanya berlatih sepakbola di tengah gempuran pesawat tempur tepat di atas kepala? Atau melakukan latihan passing dengan tembok bangunan yang baru saja meledak karena granat beberapa jam sebelumnya? Suasana kian mencekam ditambah dengan aroma mesiu yang menusuk hidung.

Suasana seperti ini akan terasa di sebuah daerah yang dilanda perang terus menerus. Dalam kasus ini, Gaza. Bisa dipastikan pesepakbola Gaza yang memiliki bakat, akan kesulitan mengembangkan bakatnya apalagi berkarier secara profesional di sepakbola.

Mahmoud Wadi mematahkan anggapan ini. Namanya memang masih sangat asing di telinga. Namun transfernya ke klub Mesir, A- Masry, bahkan lebih ditanggapi secara antusias dibanding dengan lolosnya Mesir ke Piala Dunia setelah 30 tahun lalu. Pemain 23 tahun ini meruntuhkan semua anggapan bahwa mereka yang berasal dari Gaza untuk berkarir secara profesional di sepakbola.

Gaza yang Sulit bagi Wadi

Mahmoud Wadi lahir dan besar di Khan Younis, sebuah distrik kecil di bagian selatan Gaza. Seperti anak kecil pada umumnya tentu saja Mahmoud Wadi memiliki cita-cita bisa bermain sepakbola di klub impiannya, Real Madrid. Sebuah mimpi yang sangat besar, apalagi dengan kondisi Gaza yang masih carut marut dengan adanya perang.

Gaza seperti yang diketahui bersama, masih dalam sengketa Palestina dan Israel. Posisi Gaza memang dalam kondisi serba sulit. Secara resmi, Gaza memang masih bagian dari Palestina, bahkan dalam Oslo Accords, juga dijelaskan bahwa Gaza merupakan masih di bawah otoritas Palestina. Namun perang yang berkecamuk, ditambah jauhnya Gaza dari West Bank di mana Pemerintahan Palestina berpusat, menyebabkan Gaza benar-benar terisolasi. Bahkan peluangnya amat kecil bagi warga Gaza keluar dari daerah mereka.

Sedangkan FIFA sebagai induk sepakbola tertinggi, masih meyakini bahwa Gaza merupakan bagian dari Palestina. Buktinya dalam sebuah kesempatan, Sepp Blatter bersama Michel Platini sempat berkunjung ke Gaza sekaligus mengunjungi Stadion utama Palestina yang memang terletak di Gaza. Stadion ini sendiri sempat mendapatkan bantuan dari FIFA dalam pembangunanya. Namun sayang bom dari Pesawat Israel meluluh lantakkan stadion ini pada 2012.

Dengan hidup yang sudah sedemikian sulit, jelas bagi Wadi impiannya bermain sepakbola (dan memperkuat Real Madrid) seperti jauh panggang dari api. Namun Wadi tidak putus asa. Ia masih bermain untuk klub lokal. Sampai akhirnya, pada 2014, timnas Palestina memanggilnya.

Sayangnya, usaha Wadi untuk keluar dari Gaza amatlah sulit. Ia bahkan beberapa kali tak memenuhi panggilan timnas karena tak bisa keluar dari Gaza.

“Saya mengikuti saran mereka (Federasi Sepakbola Palestina) untuk tetap berlatih dan menunggu panggilan. Saya berlatih di sini (Gaza) di mana tepat di atas kepala saya, pesawat tempur terbang ke sana ke mari, dan kematian selalu mengancam,” ucap Wadi dikutip dari tifofootball.

Titik terang muncul pada 2015. Ketika itu, klub Palestina, Al-Ahli Al Khaleel, menawarkan gaji sebesar 2.700 USD sekaligus membantu Wadi keluar dari Gaza ke West Bank. Jelas imbalan yang besar bagi Wadi dan dibuktikan lewat penampilan impresifnya di AFC Cup 2016 lalu dengan mencetak 4 gol dari 7 gol. Ia pun mendapatkan julukan The Tower, karena tinggi badan yang besar.

Lalu apakah semudah itu? Tentu tidak, Wadi masih mengalami diskriminasi ketika bertanding, baik di West Bank League atau AFC Cup. Seringkali ketika Al Ahly Al Khaleel bertandang ke kandang lawan, Wadi harus menjalani pemeriksaan selama satu jam terpisah dari rekan-rekannya.

Karir Wadi nyaris saja selesai pada musim 2016/2017. Ketika itu klubnya bertanding di Final Palestine Cup, dengan mempertemukan juara West Bank Cup menghadapi juara Gaza Cup.

Wadi harus bertandang ke Yarmouk Stadium kandang dari Shabab Rafah sebagai juara Gaza Cup. Kesempatan emas untuk bisa berkumpul dengan keluarga dan setidaknya berada di Gaza berujung pahit. Ketika pertandingan usai dengan kekalahan 0-2 bagi Al Ahly Al Khaleel, Wadi kembali tidak diizinkan keluar dari Gaza dan terpaksa kembali hidup di Gaza sementara rekan setimnya kembali ke West Bank.

Mendekam di Gaza untuk Bersinar Kemudian

Sembari secara rutin mempertanyakan akses keluar dari perbatasan Gaza, Wadi memperkuat klub lokal Al Ittihad Khan Yunis di Gaza Premier League dengan status pinjaman. Tentu Wadi dengan mudah menunjukkan kualitasnya. Namun karier Wadi tampaknya akan kembali ke keterpurukan, sebelum pada musim lalu, klub Yordania, Al-Ahli, menebus Wadi dengan harga 45.000 Euro dari Al Ahly Al Khaleel. Dibantu klubnya Wadi kemudian mengurus izin untuk keluar dari Gaza melalui jalur Mesir.

Sebulan berlalu, izin tersebut didapatkan tepatnya pada Agustus 2017. Membuat pemain bertinggi 188 cm ini secara legal memperkuat Al Ahli musim 2017/2018. Bersama rekan senegaranya, Mohammed Balah, membawa Al Ahli duduk di posisi ketujuh klasemen akhir. Tidak terlalu membanggakan memang. Tapi Wadi membuktikan kelasnya sebagai striker wahid dengan mencetak 10 gol bagi Al Ahli, catatan yang membawa Wadi menjadi top skorer klub.

Kualtas individu yang apik, membuatnya ditengok klub papan atas Mesir, Al-Masry. Musim lalu Al Masry bertengger di posisi ketiga klasemen akhir Premier League Mesir. Kedatangan Wadi tentu tidak lepas dari sang manajer klub, Hossam Hassan. Di eranya Hossam Hassan, merupakan striker mematikan bagi Tim Nasional Mesir dengan mengoleksi 70 gol dari 169 penampilan. Tentu Hassan pula-lah yang memberikan rekomendasi untuk merekrut Wadi.

Musim 2018/2019 akan menjadi pembuktian kualitas Wadi. Dengan Al-Masry yang juga berkompetisi di CAF Confederation Cup (semacam Europa League di Afrika), tentu kesempatan Mahmoud Wadi unjuk gigi juga lebih besar. Namun terlepas dari itu semua, Wadi membuktikan bahwa tidak ada salahnya bermimpi besar, meskipun dengan segala keterbatasan dan kesulitannya, Wadi membuktikan dirinya mampu dan saat ini dengan kerja keras mencoba meraih mimpinya: berseragam Real Madrid.

Sumber: Tifofootball, FootballPalestine.