Nikita Parris dan Pikirannya Mengubah Kultur Sepakbola

Foto: Instagram Nikita Parris.

Memulai saga baru setiap kali musim panas menyinari Eropa seperti sudah jadi kebiasaan di dunia sepakbola. Alexis Sanchez, Paul Pogba, Neymar, Antoine Griezmann, dan Frenkie De Jong, adalah beberapa nama yang jadi pusat perhatian dalam beberapa tahun terakhir.

Cerita bagaimana seorang pemain diperebutkan berbagai kesebelasan seakan eksklusif milik sepakbola pria. Namun musim panas 2019, perubahan mulai terlihat. Salah satu penyerang terbaik Women’s Super League (WSL), Nikita Parris, kini dikabarkan menjadi rebutan berbagai kesebelasan top Eropa.

Parris membela Manchester City sejak 2015. Hingga 26 April 2019, dia hampir selalu tampil untuk Manchester City. Hingga pekan ke-18 WSL 2018/2019, Parris sudah mencetak 17 gol untuk Manchester City. Hanya Viviane Miedema (Arsenal), yang memiliki produktivitas lebih banyak dari Parris (21).

Manchester City duduk di peringkat kedua klasemen WSL 2018/2019. Walaupun gagal meraih gelar juara, anak-anak asuh Nick Kushing belum pernah terkalahkan sepanjang musim. Tinggal Sang Juara, Arsenal yang bisa menghalangi musim ‘invicible’ mereka pada pertandingan terakhir, 11 Mei 2019.

Mematikan di dalam kotak penalti dan rajin memberi tekanan ke lawan dari garis terdepan, Parris adalah salah satu kunci keberhasilan Manchester City. Stats Bomb bahkan menyebut Parris sebagai barometer permainan Manchester City di atas lapangan.

Diincar Ratu Sepakbola Eropa

Foto: World Report

Penampilan Parris selama 2018/2019 membuat dirinya diperebutkan berbagai kesebelasan top Eropa. Mulai dari Chelsea, Bayern Munchen, hingga Ratu Sepakbola Eropa, Olympique Lyon mengejar Parris. Ketiga kesebelasan itu bahkan dapat mendatangkan Parris dengan cuma-cuma, mengingat kontraknya di Manchester akan habis pada musim panas 2019.

Sebelum Parris, mungkin sudah ada beberapa pemain lain yang menjadi pusat perhatian di bursa transfer sepakbola perempuan. Eni Aluko sebelumnya juga diperebutkan Chelsea dan Juventus. Aluko ingin dipertahankan oleh the Blues, namun ia memilih untuk meninggalkan London untuk mencari tantangan baru.

Aluko sudah enam tahun membela Chelsea sebelum memilih Juventus pada Juni 2018. Beda cerita dengan kondisi Parris saat ini. Entah siapa yang pernah diperebutkan banyak kesebelasan seperti Parris. Mungkin Toni Duggan, MBock Bathy, atau Ada Hegerberg? Sulit untuk mengetahuinya. Pasalnya eksposur tentang sepakbola perempuan masih terbatas.

Baru dalam beberapa tahun terakhir saja kabar terbaru tentang sepakbola perempuan bisa ditemukan dengan mudah. Apalagi setelah Atletico Madrid dan Barcelona mencatat sejarah di Spanyol. Sebelumnya, mungkin hanya Tim Nasional Amerika Serikat yang mendapatkan perhatian khusus, mengingat prestasi mereka di Olimpiade dan Piala Dunia.

Hingga detik ini, perjuangan untuk kesetaraan sepakbola tanpa memandang jenis kelamin masih dilakukan. Argentina baru membentuk liga sepakbola profesional untuk kaum hawa. India baru memiliki satu kesebelasan profesional, Gokulam Karela, meski liga perempuan di sana dijadwalkan ada dimulai pada Mei 2019.

Tidak Merasakan Diskriminasi

Foto: Telegraph

Persepsi bahwa sepakbola adalah olahraga maskulin masih hidup di berbagai tempat. Tapi hal itu tidak pernah dirasakan oleh Parris. “Saya hidup di pedalaman Liverpool. Kami tidak merasakan diskriminasi di sana. Setidaknya tidak waktu anak-anak. Saya sering bermain malam hari di lapangan tennis. Saling bergantian setiap dua gol. Bukan masalah apakah Anda laki-laki atau perempuan,” kata Parris.

Baginya terlahir sebagai perempuan bukanlah sebuah halangan untuk meraih mimpinya. Kakak Parris, Natasha Jonas bahkan menjadi seorang petinju. “Tidak semua bisa seperti itu. Jika Anda hebat, tidak akan diganti. Berkat pengalaman tersebut, saya tetap mengejar mimpi jadi pesepakbola,” aku Parris.

“Orang-orang mungkin masih memiliki pikiran tertentu tentang ras ataupun jenis kelamin karena mereka tidak paham. Jika kita tidak pernah mendapatkan situasi yang sama, sulit untuk memahaminya,” lanjut pemain kelahiran 10 Maret 1994 itu.

Melihat anak-anak di daerahnya, ia pun ingin mengubah persepsi. “Saat main di Liverpool, saya kurang mendapatkan peluang. Itu membuat saya ingin mengubah situasi. Pasalnya di pedalaman, tempat saya tinggal, banyak peluang,” kata mantan pemain Everton tersebut.

“Dibanding di jalanan tanpa melakukan apa-apa, kita membuat sesuatu lewat sepakbola. Saya ingin membantu mereka. Andai saya bisa membantu satu anak pindah dari jalanan dan mengubah hidupnya, itu adalah hal luar biasa,” jelasnya.

Optimis Menatap Masa Depan

https://www.instagram.com/p/BvPIf6Pn3fV/

Parris sadar bahwa pemain-pemain seniornya tidak memiliki fasilitas dan pengakuan yang sama dengan generasi saat ini. Namun dirinya percaya hal itu akan berubah seiring waktu. “Sebenarnya jumlah penonton di pertandingan kami juga masih bisa dibilang sedikit. Tapi pemasarannya sudah meningkat jauh. BBC, BT Sport, Channel 4, semua melibatkan diri”.

“Semakin banyak orang yang menyaksikan, akan bertambah pula jumlah pengakuan. Hal seperti ini tidak dirasakan saat era Casey Stoney dan Faye White. Mereka tak diakui. Tidak dihormati. Tapi generasi di masa mendatang bisa mendapatkannya,” lanjut Parris.

Sering kali jika membaca informasi tentang sepakbola perempuan, ceritanya tidak jauh dari kasus diskrimasi. Entah itu masalah ekonomi atau sosial. Nikita Parris tak melihat hal itu. Ia lebih fokus kepada aspek-aspek positif yang pada akhirnya mungkin membuat orang lain juga optimis pada sepakbola perempuan.