Para Pria yang Membuat Antonio Conte (2): Marcello Lippi

Juventus perlahan berubah. Kedatangan Marcello Lippi membawa kesuksesan luar biasa. Lippi mengubah sistem Juve menjadi 4-3-3, mengerahkan Conte di sisi kiri trio lini tengah bersama Angelo Di Livio dan Paulo Sousa.

Ada saat-saat yang sulit di awal musim 1994/1995, termasuk sebuah kekalahan 0-2 Juve dari Foggia, namun tim Lippi perlahan bisa membangun budaya kemenangan yang telah absen selama tugas kedua Trapattoni.

Di bawah Lippi, dalang yang kemudian membawa Italia meraih kesuksesan Piala Dunia 2006, telah memperlihatkan bahwa Antonio Conte benar-benar telah mencapai usia puncaknya.

Lippi adalah seorang komunikator yang hebat. Ia adalah seorang pria yang bisa mengendalikan sesi latihan dengan cermat dengan proyeksi suaranya. Dia juga berusaha untuk menjaga hubungan dekat dengan para pemainnya, yang mengasingkan Roberto Baggio, namun mengagumi Conte.

Pemain tengah itu menanggapi dengan bersemangat pembinaan Lippi, mengagumi gagasannya yang jelas tentang sepakbola, dan keterampilannya dalam meracik strategi.

Lippi memimpin Juve dalam meraih gelar juara liga pada 1995, 1997, dan 1998, namun klub tersebut juga menderita banyak pengalamansakit hati selama pelatih itu bertugas. Mereka melaju ke tiga final Liga Champions berturut-turut pada 1996, 1997 dan 1998, namun hanya berhasil mengangkat trofi satu kali.

Setelah mengalahkan Ajax melalui adu penalti pada 1996 –lewat gol Alessandro Del Piero dan Fabrizio Ravanelli-, mereka lalu tidak berkutik ketika menghadapi Borussia Dortmund pada tahun berikutnya, dan kemudian kalah juga pada final 1998 melawan Real Madrid.

Final 1996 yang dimenangkan Juve tampak sia-sia bagi Conte. Ia menjadi juara Eropa namun ia hanya bisa merasakan euforianya dari bangku cadangan karena ia terpaksa diganti setelah 44 menit.

Ia digantikan oleh Vladimir Jugović, yang mencetak penalti penentuan dalam baku tembak satu lawan satu tersebut. Setahun kemudian, Conte bertekad untuk membuat lebih banyak dampak pada laga final untuk dirinya sendiri. Dan itu terbukti karena Conte berhasil diplot menjadi kapten Juventus di tahun itu.

Setelah Baggio, Conte akhirnya mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari teman-temannya untuk memimpin ruang ganti, jabatan yang sama seperti yang pernah dibebankan kepada Zinedine Zidane, Edgar Davids, Didier Deschamps dan Paolo Montero.

Namun, musim 1996/1997-nya sangat dipengaruhi oleh cedera, dan ia meninggalkan banyak laga sampai akhirnya Juventus masuk final. Dan Conte pun sekali lagi dipaksa untuk menonton, kali ini bukan dari bangku cadangan, tapi dari tribun.

Melawan tim sekelas Dortmund di final, yang memiliki mantan empat pemain Juventus seperti Sousa, Júlio César, Jürgen Kohler dan Andreas Möller, berhasil mengakali para pria asuhan Lippi dan memenangkan laga dengan skor 3-1. Nasib mereka disegel oleh lob yang sangat indah dari Lars Ricken dengan sentuhan pertamanya setelah masuk sebagai pengganti.

Namun di musim itu, Antonio Conte tetap berada di bangku cadangan Juventus. Ia kemudian dimainkan di menit ke-77 dalam partai final 1998, kala Juve melawan Real Madrid. Tapi sayangnya, pasukan nyonya tua itu tidak mampu menghentikan Los Blancos dalam memenangi Piala Eropa ketujuh mereka.

Terlepas dari itu, melihat Lippi yang pernah membawa Italia menjadi juara Piala Dunia 2006, pada akhirnya berhasil membuat Conte terpacu untuk menunjukkan tajinya di dunia kepelatihan. Meski di satu sisi, ia sempat merasa sulit untuk meniru kesuksesan Lippi kala menangani Juventus.

Sampai pada akhirnya, karya Antonio Conte sebagai bos Italia dipandang sebagai kesuksesan terutama saat ia membawa skuad Azzurri yang paling tidak menginspirasi dalam setengah abad ke Euro 2016. Padahal jelas sekali bahwa skuad Italia yang ia bawa tersebut berkomposisi kurang menjanjikan.

Namun ia berhasil mengukir kesuksesan di Euro 2016 -meski kalah di final atas Spayol- dengan memanfaatkan pemain seperti Emanuele Giaccherini, yang dianggap surplus dari penampilannya bersama Sunderland. Bahkan ia juga berperan penting dalam perkembangan pemain naturalisasi berdarah Brasil Éder dan Graziano Pellè di timnas Italia.

Jadi wajar jika Chelsea sangat yakin bahwa mereka telah mendatangkan manajer yang luar biasa ke Stamford Bridge kala itu. Kemampuan Antonio Conte untuk belajar dari Marcello Lippi telah menjadi aset yang luar biasa baginya dalam satu dasawarsa pertama karir manajerialnya.

Selain itu, keterampilan dan metode yang telah ia adopsi dari Trapattoni, Ancelotti dan Sacchi juga telah memberinya pemahaman tentang bagaimana sepakbola harus dimainkan, dan Conte pun telah memperluas kombinasi cara ketiga pelatih seniornya itu untuk merancang label skema sepakbolanya sendiri. Gaya manajemennya, kian menjadi absolut, sejalan dengan puncak kariernya di dunia kepelatihan.