Penerus Marta Ada di Skotlandia

Foto: vrouwenvoetbalnederland.nl

Ketika bicara soal sepakbola pria, regenerasi seperti bukan sesuatu yang sulit. Meski lebih banyak kesebelasan yang memilih untuk mendatangkan pemain berpengalaman atau nama tenar. Regenerasi sebenarnya bukan hal sulit.

Lihat perbandingan rivalitas antar pemain. Mulai dari Johan Cruyff kontra Franz Bekenbeur, Pele dengan Diego Maradona, hingga Cristiano Ronaldo melawan Lionel Messi. Ronaldo dan Messi belum pensiun, sudah muncul nama Neymar serta Kylian Mbappe yang siap menjadi poster sepakbola satu atau dua dekade mendatang.

Talenta seperti mereka memang sulit untuk didapat. “Talenta seperti Messi sulit dicari. Hal seperti ini hanya lahir 50 tahun sekali. Pemain yang memiliki kapasitas kemampuan serta teknik fantastis,” kata Mantan nakhoda tim nasional Italia, Antonio Conte.

Namun, lampu sorot di sepakbola pria tidak pernah kosong. Bahkan Mbappe masih dapat bermain di dua atau tiga Piala Dunia lagi, sudah ada nama Joao Felix yang siap menjadi sorotan. Hal serupa tidak terjadi di sepakbola perempuan.

Sama seperti sepakbola pria, banyak juga pemain menarik yang bisa diperbincangkan dari divisi perempuan. Namun untuk mencapai level seperti Messi, mungkin hanya Marta Vieira yang mendapat pengakuan tersebut. ‘Pele dengan rok’, begitu publik menjulukinya.

Marta Vieira sering kali disebut sebagai kembaran Ronaldinho di tim nasional perempuan Brasil. Marta dan Ronaldinho memang berteman sejak lama. Mereka bahkan sering main bersama di sela-sela waktu yang ada. “Saya memang terinspirasi oleh Ronaldinho. Dirinya selalu bisa melihat sesuatu lebih dulu dibandingkan pemain lainnya,” kata Marta.

“Kepalanya selalu terangkat dan dirinya tahu bahwa potensi dalam diri kita bisa terus naik. Tapi saya rasa gaya permainan kami tidak bisa dibandingkan. Meski orang-orang menyebut saya seperti Ronaldinho,” lanjut Marta.

Foto: Forbes

Marta sering menghabiskan waktu bermain dengan pesepakbola profesional pria karena ia merasa sepakbola perempuan belum dapat pengakuan. Namun seiring waktu, pengakuan itu datang. Talenta-talenta luar biasa lainnya juga kemudian mulai tersorot.

Sepakbola perempuan bukan sekedar Marta. Sosok yang memenangkan pemain terbaik FIFA lima kali beruntun (2006-2010) itu mulai turun gunung. Carli Lloyd, Celia Sasic, dan Miyama Aya mulai muncul pada 2011. Marta dan Abby Wambach tidak lagi mendominasi raihan gelar individu sepakbola perempuan.

Terakhir, penyerang Norwegia, Ada Hegerberg terpilih menjadi pesepakbola perempuan yang meraih Ballon d’Or pertama sepanjang sejarah. Marta masuk ke dalam pertimbangan. Tapi ia gagal menembus tiga besar yang diisi oleh Hegerberg, Pernille Harder, dan Dzsenifer Marozsan. Menjelang Piala Dunia 2019, Marta sudah 33 tahun. Sementara Hegerberg tidak tampil di Prancis. Saatnya mencari bintang baru.

Nama terdepan dengan masa depan cerah di atas lapangan dan berpotensi mencapai level Marta adalah penyerang Skotlandia, Erin Cuthbert. Lahir pada 19 Juli 1998, Cuthbert satu angkatan dengan Kylian Mbappe. Ia masih bisa tampil dalam dua atau tiga Piala Dunia lagi.

Kepingan yang Hilang dari Skotlandia

Foto: Press and Journal

Ketika masih remaja, Cuthbert sudah berhasil memenangkan Liga Skotlandia (SWPL) dua kali beruntun bersama Glasgow City. Kemudian ia pindah ke Chelsea menambah pialanya dengan dua gelar Women’s Super League (2017, 2017/2018) dan satu Piala FA.

Sejak memulai karier profesionalnya pada 2015, ia selalu memenangkan piala. Raihan itu terhenti pada 2019. Chelsea gagal menjadi juara Women’s Super League dan tersingkir di semi-final Piala FA. Namun Cuthbert masih memiliki peluang menutup tahun dengan piala jika Skotlandia menjadi juara di Prancis.

Skotlandia memang bukan unggulan. Status itu masih dimiliki oleh Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan Jepang. Namun dalam dua tahun terakhir sepakbola perempuan Skotlandia telah mengalami peningkatan. Sejak 2018, mereka selalu ada di 20 besar peringkat FIFA.

Cuthbert adalah andalan Skotlandia. “Erin [Cuthbert] adalah pemain yang lengkap. Ia punya semuanya yang kami butuhkan. Dirinya juga memiliki satu nilai yang tak dimiliki pemain lain. Baik di sepakbola pria atau perempuan, ada filosofi Skotlandia hidup dalam dirinya,” kata Kepala Pelatih Skotlandia Shelley Kerr.

“Orang-orang terkadang lupa bahwa mengenakan seragam tim nasional juga ikut menjaga nilai-nilai serta budaya negara mereka. Erin bermain dengan gairah khas Skotlandia. Fisik dan mentalnya juga sangat kuat,” puji Kerr.

Membentuk Generasi Selanjutnya

Foto: Independent

Cuthbert juga menyadari hal itu. Memotivasi teman-teman seperjuangannya untuk tampil sebaik mungkin. Bukan hanya untuk piala tapi juga untuk masa depan negaranya. “Kami semua, 23 pemain, adalah panutan. Panutan bagi para kanak-anak agar mereka optimis meraih mimpi menjadi pesepakbola. Itu adalah tanggung jawab kita,” katanya.

Cuthbert kecil tidak memiliki keuntungan seperti generasi saat ini. Dulu, ia tidak pernah didukung untuk menjadi pesepakbola. “Semua orang mengatakan saya perlu berhenti bermimpi jadi pesepakbola,” katanya. Tapi hal itu diubahnya menjadi motivasi. “Saya berterimakasih pada tekanan itu. Pasalnya, itu menjadi motivasi saya. Kita harus berani mengejar mimpi. Jangan biarkan siapapun merusaknya,” lanjut Cuthbert.

Kepedulian Cuthbert kepada generasi penerus tidak sampai di situ. Ia juga merupakan salah satu ‘pendiri’ akademi Glasgow Rangers pada 2009. Terdaftar sebagai angkatan pertama dari akademi the Geers. “Saya sangat senang dapat menjadi bagian dari sesuatu yang spesial,” akunya.

Disebut tidak bisa menjadi pesepakbola hingga akhirnya menjadi andalan negara. Cerita yang familiar bukan? “Dia bisa meraih apapun yang ia mau,” kata Kepala Pelatih Chelsea Emma Hayes ketika ditanya soal Cuthbert. Sudah satu dekade lebih Marta menjadi poster utama sepakbola perempuan, giliran Erin Cuthbert yang memimpin generasi selanjutnya.