Penggemar Serie A dan fans Italia tentu tak asing dengan sosok Fabio Grosso. Dialah penentu gelar juara Piala Dunia 2006 bagi Azzurri, setelah mengalahkan Prancis yang diperkuat Zinedine Zidane dalam drama adu penalti di partai puncak di Jerman. Sang bek kiri dipercaya sebagai algojo terakhir yang memastikan Italia berhasil menang dan mengangkat trofi Piala Dunia-nya yang keempat itu.
Tapi siapa sangka, lima tahun sebelumnya ternyata Grosso masih bermain di divisi empat Liga Italia. Ketika itu, usianya bahkan sudah menjelang 24 tahun, sepertinya sudah terlambat untuk bermimpi bisa bermain di kompetisi tertinggi, apalagi di turnamen sekelas Piala Dunia. Namun, tidak ada yang tidak mungkin bagi mereka yang meyakininya; dan tentu itu pula yang diyakini oleh Grosso saat itu.
Fabio Grosso Main di Kompetisi Amatir
Grosso lahir di Roma pada 28 November 1977. Tapi keluarganya berasal dari Chieti, Abruzzo, di mana mereka kembali ke sana ketika dia masih remaja. Akademi klub local, Renato Curi Angolana menjadi tempatnya menimba ilmu saat itu, hingga memulai karier amatir pada musim 1994/1995. Tak perlu waktu yang lama, sosoknya pun segera menjadi bagian penting dalam tim meski masih berusia belia.
Pada masa itu, mereka berkompetisi di Eccellenza, salah satu kompetisi tingkat regional, di mana Renato Curi bersaing dengan klub-klub wilayah Abruzzo, bagian Selatan Italia. Jika melihat sistem kompetisi sepakbola di Negeri Pizza saat itu, Eccellenza Abruzzo setara dengan divisi lima. Di situlah Grosso memulai karier dan bertahan lebih empat musim, sebelum pindah ke klub lokal lain, Chieti.
Menariknya, meski dikenal sebagai salah satu bek kiri terbaik Italia pada masanya, ternyata Grosso mengawali karier sepakbolanya sebagai gelandang serang dan pemain sayap kiri. Setidaknya 55 gol telah dibukukannya dalam 125 laga bersama Renato Curi di kompetisi lokal. 17 gol lain dicatatkannya bersama Chieti periode 1999-2001 di Serie C2, divisi empat Liga Italia yang kini sudah dibubarkan.
Fabio Grosso Menuju Papan Atas
Penampilannya yang mengesankan bersama Chieti ternyata berhasil menarik perhatian salah satu klub Serie A, Perugia pada 2001. Sejak itu, arah karier Grosso mulai berubah. Musim panas tahun itu, dia resmi bergabung dengan klub papan atas pertamanya. Debutnya di Serie A pun berlangsung pada musim itu, dengan 24 penampilan dan satu gol. Sejak paruh kedua, perannya sudah tak tergantikan.
Saat bersama Perugia ini pula Grosso mencoba posisi baru sebagai bek kiri, setelah mendapat arahan dari pelatih Serse Cosmi, meski tetap saja dia lebih banyak bermain sebagai gelandang kiri. Selain itu, panggilan untuk membela tim nasional Italia juga datang, tak sampai dua tahun kemudian. Pos bek kiri juga yang diisinya. Sayangnya, pemain jangkung setinggi 1,9 meter itu tak dibawa ke Euro 2004.
Meski begitu, Grosso sempat membantu Perugia merebut satu trofi bergengsi, Piala Intertoto 2003. Hanya beberapa bulan setelah menjalani debut internasional, dia pindah ke Palermo, tengah musim 2003/2004. Meski turun kasta ke Serie B, namun di sanalah kemampuannya sebagai bek kiri yang kuat dalam bertahan dan menyerang berkembang pesat, karena selalu dimainkan di pos tersebut.
Musim berikutnya, Palermo naik ke Serie A, dan Grosso terus menjadi andalan timnya. Seiring itu, kesempatan bermain regular untuk tim nasional Italia pun didapatkannya, juga sebagai bek kiri. Puncaknya, mempersembahkan trofi Piala Dunia 2006 bagi negaranya, dengan menjadi penentu kemenangan dalam adu penalti di partai dinal, selain satu gol dan satu assist sepanjang turnamen.
Fabio Grosso Meraih Juara Bersama Italia
“Saya akan selalu ingat bahwa saya mengakhiri kutukan; kutukan pada Italia untuk adu penalti dan perpanjangan waktu. Ada final Piala Dunia 1994, perempat final Piala Dunia 1998, dan final Euro 2000,” ungkap Grosso mengenang momen di final Piala Dunia 2006 itu. Sebelumnya, tim nasional Italia memang sudah beberapa kali gagal dalam adu penalti, termasuk juga dalam drama extra time.
Dia masih ingat, penalti terakhirnya sebelum Piala Dunia 2006 itu terjadi lima tahun sebelumnya, dan itu pun di Serie C2, kasta keempat Liga Italia, ketika masih bermain untuk Chieti. Namun, setelah kesuksesan di Jerman, Grosso pun mulai dikenal sebagai pemain dengan mental baja dan akurasi tendangan di atas rata-rata. Sejak itu, dia pun mulai sering dipercaya sebagai eksekutor adu penalti.
Di Euro 2008, tim nasional Italia Kembali berhadapan dengan drama adu penalti. Kali ini, terjadi di perempat final, ketika Azzurri dihadang oleh Spanyol. Grosso didaulat sebagai penendang pertama, dan berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Sayangnya, tendangan berikutnya oleh Daniele De Rossi dan Antonio Di Natale mampu diamankan kiper lawan, sehingga mereka pun bertekuk lutut.
Meski begitu, dia masih bisa menuai kesuksesan di level klub dengan memenangkan dua Scudetto bersama Inter Milan 2006/2007 dan Juventus 2011/2012. Selain itu, juga merebut tiga trofi domestik bersama Lyon di Prancis, sebelum pensiun di Juventus pada 2012. Kini, Grosso masih bergulat dalam sepakbola sebagai pelatih, dan baru saja mengantarkan Frosinone promosi ke Serie A sebagai juara.
Sumber: FIFA