Piala Dunia 2018 yang Menjadi Awal Sekaligus Akhir bagi Sardar Azmoun

Bagi seorang pemain muda, turnamen Piala Dunia merupakan gerbang bagi si pemain untuk unjuk gigi sekaligus menancapkan kukunya di persepakbolaan dunia. Kylian Mbappe contohnya. Tampil apik ketika melawan Prancis dengan mencetak dua gol, namanya kini mulai disandingkan dengan beberapa legenda hidup dunia macam Pele maupun Thierry Henry. Piala Dunia menjadi gerbang untuk sinar Mbappe di tim nasional.

Lantas, apa jadinya jika Piala Dunia menjadi awal sekaligus akhir bagi karier nasional seorang pemain? Sayangnya hal tersebut menimpa penyerang muda Iran yang sempat disebut-sebut sebagai calon legenda untuk negaranya di masa yang akan datang.

Di usianya yang baru 23 tahun, Sardar Azmoun sudah mengundang perhatian klub besar Eropa. Liverpool, Villarreal, dan Lazio, beberapa kali dikabarkan tertarik untuk merekrut pemain yang memperkuat Rubin Kazan tersebut. Torehannya bersama kesebelasan Iran yang menjadi alasan mengapa ketiga klub tersebut begitu tertarik dengan Azmoun.

Azmoun adalah juru gedor hebat bersama Iran. Sebelum Piala Dunia dimulai, ia sudah mencetak 23 gol dari 33 pertandingan sepanjang karier timnasnya. Pada babak kualifikasi, ia mencetak 11 gol dari 14 pertandingan. Penampilan apiknya menjadi salah satu faktor dari keberhasilan Team Melli menjadi kesebelasan kedua setelah Brasil yang lolos ke Piala Dunia 2018.

Segala pencapaian itu membuat dirinya diberikan banyak label oleh para penggemarnya. Ia disebut oleh media Eropa sebagai “Lionel Messi dari Iran”. Tidak hanya itu, ia sering disebut sebagai reinkarnasi dari seorang Zlatan Ibrahimovic yang sama-sama bertumbuh tinggi dan lihai ketika mengolah bola. Bagi penggemar Iran, Azmoun adalah penerus Ali Daei yang merupakan top skor sepanjang masa mereka.

Dalam skuat Iran yang dibawa Carlos Queiroz ke Rusia, Azmoun adalah penyerang dengan jumlah gol terbanyak di antara penyerang lainnya. Pesaing terdekatnya hanyalah Reza Ghoochannejhad yang berselisih enam gol darinya. Wajar apabila Azmoun kemudian menjadi tumpuan masyarakat Iran yang merindukan negaranya untuk lolos minimal ke babak 16 besar.

Sayangnya, harapan masyarakat Iran tidak terwujud. Jagoannya tidak berkutik dalam tiga pertandingan grup. Azmoun hanya membuat empat tembakan dengan rincian dua ketika melawan Maroko dan dua saat melawan Spanyol. Dari empat tembakan tersebut, hanya satu yang mengarah ke target. Ketika melawan Portugal, Azmoun bahkan tidak membuat satu tembakan pun.

Iran sendiri gagal lolos ke babak 16 besar karena berada di peringkat ketiga grup. Mereka hanya membuat dua gol yang salah satunya berasal dari gol bunuh diri pemain lawan. Sementara satu gol lain dicetak oleh Karim Ansarifad. Tidak ada gol yang dicetak oleh Azmoun.

Sejatinya Iran tidak tampil buruk. Mereka mengumpulkan empat poin atau selisih satu poin saja dari Portugal dan Iran. Kemenangan yang mereka raih melawan Maroko adalah yang pertama sejak terakhir menang melawan Amerika Serikat 20 tahun silam. Portugal pun berhasil mereka tahan 1-1 sementara Spanyo hanya sanggup menaklukkan mereka 1-0.

Kritik Berlebihan untuk Sardar Azmoun

Akan tetapi, itu semua tidak menutup kekecewaan mereka yang telah berekspektasi begitu tinggi kepada para individunya termasuk Azmoun. Kekecewaan kemudian ditumpahkan dengan mengkritik pemain kelahiran 1 Januari 1995 tersebut.

Sayangnya, kritik yang dia dapat justru disertai dengan hinaan yang mengarah kepada dirinya sekaligus keluarganya. Bagi Azmoun, hal ini sudah kelewat batas. Beberapa kali ia mendapat pesan dengan nada cabul serta ejekan dengan kata-kata kasar yang kemudian memberikan pengaruh kepada kesehatan ibunya. Sampai pada 28 Juni 2018 lalu, Azmoun mengambil keputusan terbesar dengan mengumumkan pensiun dari tim nasional.

“Ibu saya sebelumnya punya penyakit serius namun saya senang karena ia telah sembuh. Sayangnya, karena kekejaman beberapa orang, dan penghinaan yang saya serta rekan setim saya peroleh membuat penyakitnya kembali kambuh. Situasi ini telah menempatkan saya pada posisi yang begitu sulit karena harus memilih satu atau yang lain. Dan hasilnya, saya memilih ibu saya,” ujarnya seperti dituliskan pada akun instagramnya.

Azmoun sendiri mengaku kalau keputusannya untuk pensiun dini dari tim nasional merupakan keputusan yang paling menyakitkan. Meski banyak yang memberikan semangat, namun Azmoun tetap teguh untuk mengucapkan terima kasih kepada Iran terutama sang pelatih Carlos Queiroz.

“Terima kasih atas kasih sayang yang sudah diberikan Carlos Queiroz kepada saya. Saya berharap negara saya bisa lebih baik lagi kedepannya.”

Melihat dari sisi usia, Azmoun memang kehilangan kariernya. Di usianya yang baru 23 tahun, ia setidaknya masih bisa mengikuti dua Piala Dunia dan tiga Piala Asia. Meski demikian, hal tersebut tidak terlalu dipikirkan karena dirinya sudah memiliki hal yang lebih penting ketimbang karier sepakbola nasional yaitu kebersamaannya dengan keluarga.