Apa momen paling monumental bagi pendukung Liverpool? Jawabannya tentu beragam. Akan tetapi, Miracle of Istanbul jelas tak mungkin bisa dilupakan. Di pertandingan final Liga Champions 2005 itu, The Reds yang sempat ketinggalan 0-3, justru berbalik unggul menjadi 3-3 dan memenangi trofi Si Kuping Lebar setelah menang di adu tendangan penalti.
Banyak kisah tentang momen magis yang terjadi di Istanbul kala itu. Namun sedikit yang mengetahui sosok yang menghabiskan 22 jam non-stop untuk melakukan analisis lewat video bagaimana AC Milan bermain. Rafael Benitez merupakan pria di balik “keajaiban” yang terjadi di Istanbul. Sekaligus mempertegas status Liverpool sebagai klub Inggris tersukses di ajang Liga Champions.
Bukan hanya bagi Liverpool, bagi sepakbola Inggris, Benitez merupakan sosok penting dari evolusi taktik. Benitez mengenalkan sistem zonal marking yang menjadi terobosan di Inggris. Di Inggris ketika itu man marking lebih banyak digunakan dengan dalih lebih mudah diterapkan. Benitez mematahkan stigma itu, meskipun sempat mendapatkan kritikan, bahkan dari pemain Liverpool sendiri.
Penyendiri dengan Teknologi
Rafael Benitez merupakan jebolan akademi Real Madrid. Sayangnya ia gagal berkembang karena cedera lutut yang dialaminya dan hanya bermain di kompetisi internal Kota Madrid. Tapi bukan berarti Benitez tidak memiliki prestasi ketika aktif bermain. Benitez sempat bermain bagi Spanyol di World Student Games, tahun 1979.
Benitez kemudian masuk dalam jajaran pelatih akademi Real Madrid, di era Vicente Del Bosque dan Jorge Valdano. Benitez menjalin kerjasama apik dengan Valdano. Akan tetapi, semuanya rusak gara-gara pemain Madrid B saat itu, Sandro.
Valdano yang membutuhkan pemain bertipikal playmaker, merasa Sandro merupakan sosok yang tepat. Valdano melihat aksi individu dan kemampuan Sandro selayaknya playmaker yang diperlukannya. Sedangkan Benitez memasang Sandro lebih melebar. Alasannya, menurut Benitez, Sandro lebih berperan bagi tim apabila diletakkan ke posisi sayap. Di sinilah filosofi Benitez terbentuk: tim di atas individu.
Selain filosofi diatas, Benitez adalah pemuja teknologi. Selagi aktif bermain, Benitez selalu meminta rekannya untuk merekam penampilan untuk kemudian ia evaluasi. Hal ini juga yang ia lakukan ketika melatih.
Semasa di akademi, Benitez sendiri yang mengedit video sebelum memisahkannya menjadi dua bagian: satu berisi rekaman penuh, satu lainnya mengenai detail yang spesifik. Semua rekaman video tersebut sangat banyak, sampai Benitez memiliki satu ruangan penuh berisi rekaman pertandingan.
Satu yang membekas bagi Benitez adalah ketika melatih Real Valladolid di mana ia mengalami kecelakaan mobil. Dengan bercanda, salah satu pemainnya bilang, “Syukur Anda baik-baik saja. Rekaman video sudah merindukan Anda kembali.”
Mereplikasi Arrigo Sacchi
Benitez juga meriplikasi apa yang dilakukan Arrigo Sacchi di Milan. Ia menghasilkan pemain bertahan yang apik sekaligus menguasai wilayah permainan. Di manapun Benitez menjadi manajer, dirinya selalu memunculkan pemain bertahan kelas dunia.
Marchena yang dibuang Sevilla ke Benfica, didatangkan ke Valencia dan menjadi palang pintu tangguh bersama Roberto Ayala. Di Liverpool, mari kita semua sepakat bahwa Jamie Carragher merupakan salah satu pemain belakang terbaik yang pernah dimiliki Liverpool maupun Inggris.
Sedangkan secara taktik, Benitez sedikit memodifikasi apa yang dilakukan Sacchi di Milan. 4-4-2 merupakan pakem Benitez. Valencia dibawa menjadi juara La Liga dengan pakem ini pada 2001/2002 dan lolos ke Final Liga Champions semusim sebelumnya.
Uniknya, Valencia bersua Liverpool yang saat itu ditangani Gerard Houllier musim 2001/2002, dihancurkan 2-0. Gerard Houiller terkagum-kagum dengan permainan Valencia di era Benitez. Mereka agresif, jebakan off-side tinggi, dan jarak antar pemain yang berdekatan. Inilah cikal bakal zonal marking yang dibawa Benitez di Liverpool.
Implementasi Sempurna Benitez di Liverpool
Liverpool kemudian mendatangkan Benitez musim 2004/2005. Awal kedatangannya yang bersamaan dengan Mourinho di Chelsea, membuat dua manajer ini selalu dibanding-bandingkan. Mou saat itu datang setelah mengantarkan Porto yang secara mengejutkan menjadi jawara Liga Champions 2003/2004. Kedatangan Mou membuat Benitez mendapatkan sorotan yang besar, semua membandingkan taji kedua manajer ini.
Akan tetapi pesona itu sempat luntur setelah pramusim pertama Liverpool di bawah Benitez diiringi dengan kekecewaan. Biasanya, pramusim diisi sebatas pemanasan dengan pengenalan taktik. Akan tetapi, di bawah Benitez, pramusim diisi latihan berat dan keras untuk menjaga kekompakan dan mengamankan zona. Para pemain juga dituntut mampu agresif dan memiliki kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya. Latihan keras nan melelahkan harus dijalani pemain Liverpool.
“Tim akan benci bermain melawan kami. Pertandingan akan mengerikan bagi lawan karena kami tidak memberi mereka ruang untuk bernafas,” kenang Carragher di The Sun.
“Jika Anda meminta saya untuk mengatakan satu kata yang paling sering saya dengar selama pelatihan adalah dia berteriak, ‘Kompak!’. Setelah tahun pertama bekerja dengan Rafa, kami seperti robot. Kami tahu persis apa yang dia ingin kami lakukan. Ini terjadi melalui pengulangan di tempat latihan, latihan dilakukan berulang-ulang sampai dia puas,” kata Carra.
Jerzy Dudek juga mengalami adaptasi yang cukup sulit. Dudek harus belajar menjadi sweeper karena tingginya garis pertahanan Liverpool. Zonasi tidak hanya dipraktekkan dalam permainan terbuka. Namun ketika menghadapi bola mati.
Para pemain Liverpool tidak melakukan man marking ketika menghadapi bola mati dari lawan, baik sepak pojok maupun tendangan bebas. Ini sempat dijadikan bahan lelucon beberapa pihak. Pun dengan para pemain Liverpool sendiri. Namun segera setelahnya, mereka memahami keuntungan dari Zonal Marking.
“Secara keseluruhan saya percaya kami kebobolan lebih sedikit sejak Rafa memperkenalkan penandaan zona,” kata Carragher. “Ini mungkin tampak lebih baik karena jika Anda kehilangan pemain, itu kesalahan sebuah sistem – jika Anda melakukannya dengan man-to-man, maka individu yang kehilangan pemain yang disalahkan.”
Sebenarnya Zonal Marking telah dipraktekkan Arsenal dibawah George Graham, Pertahanan Arsenal dari 1990-an merupakan salah satu yang terbaik, mereka juga menggunakan sistem zonal menghadapi set-piece.
Di kompetisi Domestik, Benitez memang kalah dari Mou. Liverpool terperosok ke peringkat kelima klasemen akhir. Namun implementasi terbaik Benitez ada di Liga Champions utamanya musim 2004/2005. Agak terseok-seok di fase grup, Liverpool efektif di babak gugur. Menghadapi Bayer Leverkusen dan Juventus dibabak 16 besar dan 8 besar. Liverpool bermain meyakinkan. Hanya ketika menghadapi Chelsea di semifinal Benitez sempat kesulitan, inilah ujian Benitez sebelum final yang legendaris itu.
Di leg pertama, kedua kesebelasan cinderung berhati-hati menyusun serangan. Pertandingan berkesudahan 0-0 menguntungkan Liverpool. Anfield menggelar Leg kedua, secara mengejutkan menit keempat Luis Garcia mengoyak gawang Cech. Gol yang diprotes Mou hingga beberapa musim ke depan, karena bola dianggap tidak melewati garis. Namun Mou alpa mengenai kenyataan bahwa, pun andai bola tidak masuk, The Kop akan mendapatkan penalti setelah Milan Baros dilanggar Cech beberapa saat sebelumnya.
Antiesis Benitez di Liverpool terjadi di Final. Benitez lebih fokus terhadap individu dibanding zonasi yang diterapkannya. Kaka menjadi sosok yang diwaspadai Benitez. Maka tertinggal 0-3 dari Milan di babak pertama membuat Benitez sadar akan kesalahannya. Kaka memang sulit bergerak namun menyebabkan Crespo dan Shevchenko seperti dibebaskan oleh pemain Liverpool.
Momen magis Liverpool dimulai ketika babak kedua akan dimulai. Djimi Traore yang sudah dinyatakan akan diganti ketika turun minum, batal digantikan dan melanjutkan permainan, menjadi pemain penting ketika serangan balik Milan menekan Liverpool. Forrmasi berubah menjadi 3-4-2-1, dengan maksud memanfaatkan celah di tengah permainan AC Milan.
Gerard yang menjadi pivot bersama Alonso di babak pertama, didorong maju. Hamman menjadi gelandang pelindung didepan trio lini belakang. Gol pertama Liverpool menjadi bukti. Gerard dalam kedaan tidak terkawal mencetak gol melalui sundulan, Smicer menggetarkan gawang Dida dari tendangan jarak jauh tanpa pengawalan. Dan gol penalti Alonso tidak lepas dari kopongnya lini tengah Milan, memaksa Gattuso melanggar Gerard di kotak penalti. Setelahnya semuanya merupakan sejarah.
Ironisnya Benitez dikenal sebagai Manajer yang tidak terlalu dekat dengan para pemainnya. Ia lebih senang menyendiri dengan leptop dan melakukan analisis permainan. Benitez menyadari hal ini, “Saya seorang penyendiri dengan laptop”.
Kesuksesan Benitez gagal diulang bersama Liverpool beberapa musim setelahnya. Ia kemudian hengkang ke beberapa klub. Namun jasa terbesarnya selain Miracle of Istanbul adalah memperkenalkan Zonal Marking di Premier League. Maka mari angkat topi kepada manajer yang kini menangani Newcastle United ini.