Rinus Michels, Sepakbola dalam Inovasi Taktik dan Perlawanan Politik

Foto: Scorum.com

Majalah France Football merilis 50 pelatih terbaik sepanjang masa. Di daftar tersebut terdapat nama-nama tenar seperti Antonio Conte, Udo Latek, Diego Simeone, hingga Jurgen Klopp. Nama Sir Alex Ferguson ada di atas Arrigo Sachi, Johan Cuijff, dan Pep Guardiola. Namun Ferguson bukan di posisi pertama, melainkan di posisi kedua. Di posisi puncak satu nama legendaris muncul: Rinus Michels.

Bukan berlebihan dan tepat rasanya menunjuk Rinus Michels sebagai manajer terbaik sepanjang masa mengalahkan nama-nama tenar dan punya pengaruh kuat di sepakbola. Rinus Michels memang hanya meraih 12 gelar selama karirnya sebagai manajer. Namun pengaruhnya sangat kuat di sepakbola, hingga saat ini.

Perlawanan Michels lewat Total Football

Michels lahir dan besar di Amsterdam, Olympiaweg tepatnya. Penamaan daerah berdasar adanya Olympic Stadium yang menggelar Olimpiade 1928. Sejak kecil di Amsterdam membuatnya memperkuat Ajax junior pada awal 1940-an sebelum invasi Jerman di Perang Dunia II.

Bakat alami Michels tercium hingga Prancis. Lille sempat berniat memboyong Michels muda dari Belanda yang saat itu sedang dalam masa suram dengan adanya “Dutch Femine” oleh pendudukan Jerman. Michels bergeming, ia tetap memilih tinggal di Belanda dan memperkuat Ajax. Alasan lainnya karena Michels masih terikat dengan militer di Belanda.

Michels mendapatkan kesempatan memperkuat Ajax Amsterdam senior pada 1946. Kesempatan ini tidak disia-siakan Michels yang berposisi striker. Lebih dari 100 gol dicetaknya dalam 264 penampilan. Namun cedera parah membuatnya pensiun dini di usia 30 tahun. Dari 1946 hingga 1958 sudah cukup bagi Michels mempelajari dasar landasan Total Football di kemudian hari.

Adalah dua sosok yaitu Jack Reynolds dan Vic Buckingham yang menginspirasi Michels dari segi taktik, keduanya sempat menangani Ajax. Bahkan Jack Reynolds dan Vic Bukingham juga dianggap sebagai mahaguru dari sepakbola menyerang racikan Mihcels. Masih menjadi perdebatan memang mengenai teori tersebut.

Reynolds adalah sosok yang luar biasa disiplin. Mantan pemain Manchester City ini percaya bahwa kerja keras, disiplin, dan teknik individu, adalah landasan bagi setiap pemain. Reynolds bahkan meminta para pemainnya berlatih menggunakan bola sesering mungkin. Hal tersebut diterapkan sejak di akademi. Bahkan ia menerapkan sistem sejak dari Ajax U-14, latihan selama 40 jam seminggu dengan pola yang sama.

“Menyerang adalah teknik bertahan terbaik, bermain terbuka, dan bersiap menyerang adalah falsafah kami,” sebuah kalimat yang sering salah sumber, semua mengira ini kalimat dari Rinus Michels. Namun ini adalah sebuah kutipan dari Jack Reynolds pada 1946.

Filosofi yang dibawa Reynolds disempurnakan oleh Vic Bukingham di Ajax. Pada kedatangannya di 1959, ia dianggap lelucon oleh orang Inggris. Vic menentang Kick and Rush yang sangat populer di Inggris.

“Bermain bola lambung sangat berbahaya. Lawan bisa mencurinya dan mencetak gol. Tidak ada kemampuan individu yang jelas. Pertahankan bola di daerahmu, lawan tidak akan bisa mencetak gol,” kutipan terkenal Vic yang ditertawakan seluruh Inggris kala itu.

“Penguasaan bola adalah segalanya, bermain umpan pendek dan terus bergerak dengan penetrasi ke wilayah terbuka akan menjadi kunci,” lanjut Vic.

Sebuah kalimat filosofis yang sangat khusyuk dianut oleh Michels dikemudian hari. Vic memberikan gelar liga pada 1960. Setelah 2 musim Vic hengkan ke Sheffield Wednesday. Ia kemudian kembali melatih Ajax pada 1964 yang ironisnya Michels menggantikan Vic Bukingham yang didepak pada 1965.

Ketika Michels Melatih Ajax

Michels diangkat sebagai pelatih dengan tugas yang tidak mudah: menyelamatkan Ajax dari degradasi. Setelah pensiun sebagai pemain pada 1958, Michels belajar di akademi olahraga di Amsterdam. Ia berprinsip, kondisi fisik prima juga sangat amat krusial bagi para pemain.

Tidak ada yang berubah usai kedatangan Michels di tempat latihan Ajax, hanya intensitas pemain berlatih dengan bola lebih ditingkatkan. Michels juga mengubah formasi W-M menjadi 4-2-4 dengan Piet Keizer, Johan Cruyff, Sjaak Swart, dan Henk Groot, di depan sebagai penggedor serangan, bersama Bennie Muller dan Klaas Nuninga di gelandang.

Kondisi Amsterdam saat itu penuh dengan intrik. Polisi sangat bekerja keras meredakan amarah dan kenakaalan para remaja di seluruh kota. LSD dan obat-obatan yang saat itu dilarang pemerintah membuat gelombang protes di mana-mana. Puncaknya ketika Ratu Beatrix menikah, terjadi kekacauan di mana air ditaburi LSD dan gas tertawa disebar di mana-mana. Polisi akhirnya beradaptasi dan menoleransi penggunaan LSD atau narkotika di Amsterdam untuk meredakan kekacauan.

Tampak tidak ada hubungan dengan Ajax, namun sangat kuat keterkaitannya. Michels juga merupakan sosok yang tidak menyukai aturan pemerintah mengenai LSD. Ia berperinsip tidak semua aturan bisa ditaati. Michels kemudian menyebut bahwa permainannya yang sangat cair adalah bukti bagaimana semua bisa diselesaikan dengan toleransi dan melihat celah-celah di balik trtodoksnya sebuah sistem.

Simbol Bernama Cruyff

Apabila di era 1960-an John Lennon dan Yoko Ono adalah symbol dari perlawanan, Ajax di bawah arahan Michels memiliki tokoh penting sekaligus symbol: Johan Cruyff. Pemuda kharismatik, cerdas, tampan, dan ikonik. Cruyff juga pintar membaca situasi. Ia menyatakan bahwa dirinya bukanlah bagian dari sistem kelas sosial yang sangat ditentang saat itu.

Cruyff dibentuk oleh Michels sebagai sosok ikonik, artis dalam tim, duta bagi permainannya, sebuah hal politis namun itulah misi yang dibawa Michels sebagai bentuk perlawanan sosial khas era 1960-an.

Michels sukses memberikan gelar juara Liga Belanda selama empat musim sebelum memutuskan hengkang ke Barcelona pada 1971. Di Barcelona ia kemudian menanamkan hal yang sama sebuah permainan dengan pergerakan cepat nan cair, penuh dengan umpan-umpan pendek dan akselerasi dari para pemainnya. Hingga Cruyff datang ke Barcelona pada 1973. Michels memberikan beberapa gelar bagi Barcelona sebelum memutuskan menerima pinangan melatih Timnas Belanda pada 1974.

Totaalvoetbal, sebuah term yang ditemukan Michels saat itu bukanlah hasil kreatifitas Michels dalam membuat sebuah nama. Bermula pada istilah Total urbanization, Total Environment dan Total Energy, tiga gagasan rancangan Arsitek JB. Bakema  mengenai perubahan struktur kota. Kalimat “Total” merupakan bentuk representasi kalimat “Paling” atau “Sang Maha” dari penggambaran Tuhan, tidak heran para pemain Belanda di era Michels sangat taat beribadah meskipun dengan kehidupan liar era 60-an.

Penerapan Total Football di dalam lapangan tersaji dalam konsentrasi penuh dari para pemain Belanda untuk mendapatkan hasil terbaik atau “Total”. Mantan pemain Brazil, Marinho, menyebut bahwa Belanda selalu bisa menemukan celah dari para pemain Brazil, “Cruyff berkata kepadaku, ‘kami tidak memiliki kemmapuan individu seperti kalian, tapi kami bisa menemukan celah’, dan benar saja, tiap jengkal lapangan selalu terdapat pemain Belanda dalam posisi bebas.”

Michels tidak hanya meninggalkan Total Football di sepakbola, sebuah cetakan biru besar untuk taktik sepakbola dewasa ini. Ia juga mengajarkan bahwa totalitas, disiplin dan kemauan untuk terus bekerja sembari menikmati sepakbola akan membuat kemenangan bukan hanya berarti juara atau tiga angka, namun dengan Sepakbola, representasi sosial dan perlawanan politik juga bisa diwujudkan dalam lapangan melalui permainan nan indah.