Roy Krishna, Tetap Legenda Tanpa Eropa

Foto: TVNZ.co.nz

Mencetak hat-trick ke gawang Melbourne City FC, kapten sekaligus penyerang Wellington Phoenix, Roy Krishna, kembali mencatatkan sejarah. Ia menjadi pemain pertama dalam sejarah yang berhasil mencetak 50 gol untuk the Nix.

Total 18 gol disumbangkan sepanjang 2018/2019 membuat Krishna berhasil memecahkan rekor Jeremy Brockie sebagai pemain paling subur dalam satu musim (12) dan masuk ke dalam jajaran topskorer A-League. Rekor Brockie sendiri sudah pernah ia samakan pada 2016/2017. Tapi baru dua tahun kemudian ia bisa memecahkannya.

Pengaruh Krishna sudah rasakan oleh Wellington Phoenix sejak 2014/2015, terlibat dalam 13 gol dalam 23 pertandingan, ia mengantarkan klub asal Selandia Baru itu ke A-League Final Series meski akhirnya kalah dari Melbourne City dengan skor 0-1. Lewat hat-trick ke gawang Melbourne City, Krishna kembali membuka peluang the Nix masuk Final Series.

Jasa pemain Fiji itupun mulai diincar berbagai klub meski usianya sudah berkepala tiga. “Entah berapa banyak kesebelasan yang menginginkan Krishna. Semuanya memberikan tawaran mereka. Sangat sulit untuk menghalangi mereka,” kata Kepala Pelatih Wellington Phoenix Mark Rudan.

Rudan menjuluki Krishna sebagai ‘Raja Phoenix’ dan dengan status tersebut, sulit rasanya melihat the Nix tanpa pemilik enam gelar juara Liga Selandia Baru itu. Ia pun kabarnya telah menolak uang jutaan dollar dari kesebelasan India, Atletico Kolkota.

Gagal ke Eropa

Foto: Oceania Football

Atletico Kolkota hanyalah kesebelasan India. Sementara Krishna sudah berusia lebih dari 30 tahun. Jika dirinya memang hebat, mengapa ia tidak pernah masuk ke dalam radar kesebelasan Eropa?

Sebenarnya sebelum ia menjadi pemain Wellington Phoenix dan masih bermain di Liga Selandia Baru, jasa Krishna sudah pernah masuk radar Eropa. Kesebelasan asal Belanda, PSV Eindhoven yang pertama mencium talenta Krishna. Kendala bahasa membuat dirinya menolak tawaran PSV tersebut. “Dia masih punya waktu untuk pergi ke Eropa. Langkah berikutnya adalah A-League,” kata Rex Dawkins, presiden Waitaker United sekaligus agen Krishna pada 2009.

Krishna masih menyimpan impiannya untuk tampil di Eropa. “Itu adalah mimpi yang akan jadi kenyataan. Saya selalu ingin bermain di Eropa. Disaksikan penonton dengan jumlah besar,” akunya.

Kesempatan kedua akhirnya datang empat tahun kemudian. Kali ini Derby County dan Leeds United meminati dirinya. Sial bagi Krishna, visa-nya ditolak dan iapun batal ke Inggris.

Perbincangan soal Krishna ke Eropa masih berlangsung hingga 2019. “Saya rasa dirinya bisa bersaing di Eropa. Tubuhnya mungkin kecil, tapi dia lincah, kuat, dan bisa menjaga bola. Ia punya sesuatu yang tak bisa dipelajari,” kata mantan bek Adelaide United, Taylor Regan.

Regan yang membela Selangor FA pada musim 2019 merasa satu-satunya halangan Krishna adalah usia. Itu mengapa dirinya menyarankan Krishna untuk tetap membela kesebelasan Asia. “Usianya sudah tidak muda. Akan lebih baik baginya menikmati uang dari kesebelasan Asia,” aku Regan.

Mayoritas dari pintu ke Benua Biru mungkin sudah tertutup. Tapi setidaknya Krishna jadi talenta yang membuka mata Eropa terhadap pemain-pemain Oseania. Berkat penampilan di Piala Oseania U-17 pada 2007 dan kesuksesannya di Waitaker United, PSV, Leeds, dan Derby County membuka pintu mereka.

Lebih Penting dari Eropa

Foto: Twitter / @StokeCity

Berkat dirinya, pemain seperti Scott Wara (Stoke City) mulai muncul. Kemunculan talenta-talenta lain dari Fiji pun jadi prioritasnya ketimbang berkarier di Eropa seorang diri. “Kami memiliki banyak talenta di rumah [Fiji]. Sayangnya kondisi mereka tidak memungkinkan untuk keluar dari pulau. Jadi akhirnya hilang saja di sana,” kata Krishna.

“Fiji memiliki potensi. Andai saja kita memiliki uang untuk mengurus sepakbola, mungkin prestasi akan lebih baik. Untuk saat ini yang paling penting adalah mencari talenta di sana agar bisa membela tim nasional,” tambahnya.

Khrisna tidak perlu pergi ke Eropa. Bersama Wellington Phoenix dirinya sudah menjadi raja. “Saya selalu menantang dia setiap latihan. Dirinya memiliki kondisi fisik dan mental yang bagus. Itu akhirnya terbayarkan di atas lapangan. Kami semua selalu percaya pada dirinya. Menanyakan segala sesuatu ke dia. Tapi dirinya juga percaya kepada kami,” kata Rudan.

Sementara di level internasional, Krishna adalah panutan. “Dulu saya melihat banyak pemain yang memilih untuk mabuk-mabukan setelah pertandingan. Tapi Krishna tidak seperti itu. Dia disiplin dan selalu fokus mengejar mimpinya. Wajar jika dia jadi bagian penting untuk Wellington Phoenix,” kata mantan pemain Tim Nasional Fiji, Esala Masi.

Krishna mungkin bisa dikatakan seperti Boaz Salossa untuk Indonesia. Sebelum Boaz masuk radar eropa, sudah ada beberapa pemain lain yang merasakan kompetisi Benua Biru. Sebelum Krishna masuk radar PSV, sudah ada Ivor Evans yang membela Vancouver 86ers -cikal bakal Whitecaps di MLS-.

Tapi barulah setelah Boaz masuk radar Eropa, barulah jalan Evan Dimas, Egy Maulana Vikri, dan lain-lain terbuka. Setelah Krishna dilirik PSV, barulah Stoke City berani berjudi dengan Scott Wara. Uniknya, Boaz dan Krishna pernah satu lapangan saat Indonesia kontra Fiji pada 2017. Keduanya legenda yang tidak memerlukan Eropa.